Oleh Imam Shamsi Ali*
“NEW Decade, making institutional peace take root”. Inilah tema dari acara pertemuan tahunan tokoh-tokoh agama di Kota New York, Minggu 28 Mei 2023 kemarin. Pertemuan ini sebenarnya adalah pertemuan tahunan. Hanya saja sejak pandemi Covid 19 merebak kegiatan ini terhenti lebih dua tahunan.
Setiap tahunnya pelaksana atau tuan rumah (host) dipergilirkan. Kebetulan tahun ini yang menjadi tuan rumah (pelaksana/organizer) adalah HWPL, sebuah organisasi yang bergerak di bidang perdamaian dunia. Organisasi ini awalnya diinisiasi oleh seorang veteran perang saudara Korea, Chairman Lee.
Saya sendiri sejak awal kegiatan ini selalu hadir tidak mewakili institusi atau organisasi tertentu. Saya justru diundang sebagai Imam atau tokoh Muslim yang mewakili Komunitas Muslim kota New York.
Tokoh-tokoh agama yang hadir di acara ini dì antaranya tokoh komunitas Yahudi, Kristiani, Hindu, Budha dan agama-agama lainnya. Namun yang berbicara kali ini, selain karena waktu yang terbatas juga karena beberapa pertimbangan lainnya, hanya dua perwakilan agama. Guru Dileepkumar, seorang tokoh Hindu/praktisi Yoga dan saya, mewakili Komunitas Muslim di kota dunia ini.
Tema yang diangkat seperti disebutkan di awal kira-kira menguatkan urgensi institusi perdamaian mengakar dalam masyarakat dan dunia. Maknanya bahwa kecenderungan masyarakat dan dunia kepada kekerasan dan peperangan (tend to violence) harus tergantikan oleh budaya damai (culture of peace) kerjasama (cooperation)!dan kebersamaan (unity). Budaya ini harus terwujud ke dalam institusi, baik formal pada level pemerintahan maupun kemasyarakatan. Termasuk di dalamnya organisasi-organisasi keagamaan.
Dalam presentasi singkat saya itu saya menyampaikan beberapa hal:
Pertama, bahwa pertemuan kali ini memiliki nilai tambah karena dilakukan pasca pandemi Covid. Juga karena berbagai ancaman kepada perdamaian dunia semakin membesar/nyata dan hampir pada semua tingkatan dan aspek kehidupan manusia.
Kedua, dengan segala optimisme yang ada, kita semua juga harus mengakui bahwa Perdamaian dunia sedang dalam ancaman (threat) yang serius. Mulai dari persenjataan yang tidak terkontrol di Amerika (uncontrollable guns), peperangan di berbagai belahan dunia termasuk Ukrain, kekerasan-kekerasan rasial kelompok minoritas seperti di India, hingga kepada kemiskinan dan ketidakadilan yang masih dominan di dunia. Belum lagi berbicara tentang ancaman climate change (lingkungan hidup) yang sangat nyata di depan mata.
Ketiga, manusia itu secara alami terlahir dengan tabiat baik dan damai (fitrah). Manusia terlahir membawa hati. Dengan hati itu manusia memiliki rasa cinta (love) dan kasih sayang. Hanya saja terjadi deviasi karena ragam faktor kehidupan dunianya.
Keempat, faktor pertama karena oleh ignorance. Ignorance sejatinya tidak dipahami sebagai ketidaktahuan saja. Tapi kejahilan yang biasanya disebabkan oleh ketidaktahuan yang menumbuhkan kejahatan. Manusia jahil itu sudah pasti bodoh. Tapi seseorang yang bodoh belum tentu jahil. Saya memberikan beberapa contoh kekerasan yang terjadi di Amerika karena kejahilan.
Kelima, faktor kedua dari kekerasan-kekerasan yang terjadi baik pada skala massal (perang misalnya) atau pada skala kecil (ragam diskriminasi, rasisme) karena kegagalan manusia mengontrol tendensi egoistiknya. Keegoan inilah yang melahirkan berbagai perilaku yang melampaui batas (huduud) yang dikenal dengan ekstremisme atau radikalisme. Termasuk yang nampak dominan saat ini adalah ekstremisme agama dan politik.
Keenam, karenanya solusi menghadapi ancaman perdamaian di atas dengan konsep Qurani. Saya mengutip Surah Al-Hujurat ayat ke 13. Bahwa manusia asalnya adalah satu keluarga besar (dari Adam dan Hawa). Tapi dengan hikmah, Allah menjadikan mereka ragam (bersuku-suku dan berbangsa-bangsa). Bukan untuk saling memusuhi dan berperang. Tapi untuk saling “mengenal”. Saya menyebut “ta’aruf” sebagai “diversity management” (cara mengelolah keragaman) yang efektif.
Ketujuh, selain saling mengenal (ta’aruf) hal lain yang perlu dilakukan untuk menjaga Perdamaian adalah manusia harus mampu mengendalikan ego hawa nafsu. Berbagai peperangan dan kerusakan semua disebabkan kegagalan manusia dalam mengontrol keegoan hawa nafsunya. Bahkan dalam beragama sekalipun tidak jarang yang dominan adalah ego dan hawa nafsu. Fenomena yang kemudian menjadikan agama nampak buruk. Seolah semakin beragama justru semakin bringas dan kehilangan etika.
Kedelapan, saya kembali menekankan sebagai penutup bahwa dunia kita adalah dunia global yang sangat ditandai oleh keterikatan satu sama lain (interconnected atau interdependent). Karenanya di hadapan kita hanya ada dua kemungkinan. Membangun kerjasama dan bersama-sama menyelamatkan dunia ini sebagai rumah bersama. Atau membiarkan mereka yang tidak bertanggung jawab merusaknya dan kita semua hancur bersama. Pilihan ada di tangan kita (the choice is un our hand)! Semoga dunia damai! (*)
Jamaica City, 29 Mei 2023
- Presiden Nusantara Foundation