Gempa Jepang dan Hikmah di Balik Cara Manusia Hadapi Alam

oleh
Petugas kerahkan anjing pelacak untuk mencari korban. (BBC)

 

TOKYO| DutaIndonesia.com – Jumlah korban tewas akibat gempa bumi M 7,5 di Jepang meningkat menjadi 92 orang di Prefektur Ishikawa. Sementara jumlah orang yang belum ditemukan melonjak menjadi 242 orang. Namun selalu ada keajaiban dalam sebuah bencana. Dalam tragedi gempa Ishikawa, seorang wanita berusia 80-an tahun dilaporkan terjebak di lantai dasar rumahnya sejak gempa terjadi pada tahun baru 1 Januari 2024 lalu. Setelah 72 jam, peluang menemukan orang dalam keadaan hidup memang menurun drastis tapi wanita ini ternyata ditemukan selamat.

Perdana Menteri (PM) Jepang, Fumio Kishida mengatakan pada Kamis (4/1/2024) bahwa 150 orang telah berhasil diselamatkan termasuk wanita tersebut. Menurutnya tim penyelamat akan melanjutkannya guna menyelamatkan sebanyak mungkin orang.

Gempa pada Senin (1/1/2024), yang diikuti oleh serangkaian gempa susulan, melukai sedikitnya 330 orang, menurut Kantor berita AFP. Lebih dari 30.000 orang di daerah yang terdampak gempa masih berada di tempat penampungan, dan beberapa kota dilaporkan kekurangan air, listrik dan koneksi internet.

Tim penyelamat di Jepang dipaksa bergerat cepat guna menemukan 242 orang yang dinyatakan hilang setelah gempa dahsyat itu. Pada hari Jumat (5/1/2024), jumlah korban tewas akibat gempa berkekuatan 7,6 di semenanjung Noto yang lokasinya terpencil meningkat menjadi 92 orang.

Pasukan Bela Diri Jepang menggandakan jumlah pasukannya untuk ambil bagian dalam upaya penyelamatan dan bantuan menjadi 4.600, demikian Kantor berita Kyodo melaporkan.

Banyak orang diperkirakan terjebak di bawah rumah mereka yang runtuh – kebanyakan di Kota Suzu dan Wajima.

Struktur rumah yang terbuat dari kayu tidak dibangun untuk tahan gempa bumi besar yang acap melanda negara tersebut.

Puluhan ribu orang masih hidup tanpa aliran listrik dan air, sementara ratusan lainnya masih terisolasi dari bantuan karena tanah longsor dan jalan yang terblokir.

“Kami tidak akan menyerah,” kata Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida setelah pertemuan dengan para pejabat terkait pada Jumat.

Kishida mendesak para tim penyelamat dan orang-orang yang terlibat untuk menolong masyarakat yang terdampak.

Gempa pada Senin (1/1/2024) malam juga memicu tsunami kecil yang membanjiri setidaknya 120 hektare lahan, ungkap Kementerian Pertanahan Jepang.

Jepang mengatakan akan menghabiskan 4,74 miliar yen ($34 juta; Pound 27 juta) sebagai cadangan anggaran untuk membantu para korban.

Foto-foto yang diunggah oleh Pasukan Bela Diri Darat Jepang menunjukkan pasukan memuat makanan, air minum, dan perlengkapan mandi ke truk yang berjejer di jalan. Pasukan juga terlihat membersihkan lumpur dan puing-puing dari jalan yang terkena longsor.

Dalam foto lain, tentara terlihat membawa korban selamat dengan tandu melewati jalan yang tertutup salju.

BBC melihat kerusakan parah saat berkunjung ke Wajima pada hari Rabu, di mana beberapa rumah dan kendaraan hancur tertimpa beton yang runtuh. Banyak rumah kayu tradisional tua di kota itu juga runtuh.

Kota berpenduduk 23.000 jiwa ini kini menyerupai kota hantu karena sebagian besar orang mengindahkan peringatan evakuasi dini, ketika diperkirakan akan terjadi tsunami.

Di pusat kota Wajima, sisa-sisa dari pasar lama masih membara, seolah-olah baru saja terjadi ledakan, menyapu bersih area seluas lapangan sepak bola tersebut.

Kebakaran berlangsung ketika gempa terjadi pada 1 Januari 2024 atau persis di hari Tahun Baru dan langsung menyebar, membakar kios-kios kayu dan beberapa rumah di sekitarnya.

Pecahan-pecahan besi berserakan di antara hamparan abu.

Petugas pemadam kebakaran masih menyisir puing-puing yang mengeluarkan asap, memeriksa api yang belum padam.

Di seluruh kota, rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu tradisional retak bahkan ada yang runtuh lantaran tidak dibuat untuk tahan terhadap gempa bumi yang kerap terjadi di Jepang.

BBC News membutuhkan waktu dua hari untuk bisa sedekat ini ke pusat gempa, yang merupakan gempa terkuat dalam 12 tahun terakhir.

Tim pencari dengan anjing pelacak kemudian tiba di Kota Wajima. Mereka menghabiskan siang hari mencari rumah-rumah yang roboh, satu per satu, tidak tahu apakah ada orang di dalam rumah atau ada yang selamat.

Kurangnya informasi memperlambat kerja mereka untuk menemukan penyintas.

Salah satu warga, Keiko Kato, berlari menyambut tim penyelamat. Kerabat suaminya terperangkap di salah satu rumah bersama bibinya yang berusia 95 tahun, keponakan, dan putrinya.

Dia berkata belum mendengar kabar dari mereka sejak gempa terjadi dan telah mencari di sebagian besar pusat tempat evakuasi, namun sia-sia.

Sementara rumah kerabatnya itu telah hancur, anjing pelacak tidak bisa masuk ke dalam, dan tim harus melanjutkan pencarian.

“Setidaknya mereka tidak menemukan mayat,” katanya seraya menambahkan: “Masih ada harapan.”

Warga lain juga berdatangan, memohon kepada para pekerja untuk memeriksa rumah keluarga mereka.

Wajima kini menyerupai kota hantu.

Kebanyakan dari mereka mengindahkan peringatan dini untuk melakukan evakuasi dan kini rumah mereka rusak parah atau tidak aman untuk ditinggali.

Tak ada orang, mobil dan alarm rumah, kehancuran yang diakibatkan oleh gempa, menjadi satu-satunya pemandangan di sini.

Meskipun di ujung salah satu jalan, mesin penjual otomatis yang masih hidup memainkan musik riang berulang-ulang.

Cara Masyarakat Belajar dari Gempa Satu Abad Lalu

Kota Wajima memiliki angka kematian terbesar sejauh ini, dengan lebih dari 30-an kematian terkonfirmasi, namun jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat.

Beberapa bagian di kota ini masih terputus akibat jalan rusak dan tanah longsor sehingga bantuan tidak bisa menjangkau masyarakat.

Daerah lain di Semenanjung Noto yang terpencil di pantai barat Jepang lokasi gempa juga terisolasi. Lebih jauh ke wilayah utara, Kota Suzu tidak dapat diakses melalui jalan darat dan skala kerusakannya belum diketahui pasti.

Menurut Walikota Masuhiro Izumiya, hampir tidak ada rumah yang utuh. Sekitar 90% atau seluruhnya roboh, katanya. Tsunami kecil melanda kota ini satu menit setelah gempa.

Makanan dan bantuan tiba dengan perahu, tetapi pejabat setempat mengatakan kepada BBC News bahwa mereka harus pergi dari rumah ke rumah untuk mengecek korban yang selamat.

Lebih dari 30.000 orang masih berada di tempat penampungan dan beberapa kota kekurangan air, listrik, dan koneksi internet.

Seorang perempuan berlindung di pusat evakuasi di Kota Wajima bersama suaminya yang menderita luka bercerita kepada BBC News bahwa di sini tidak terdapat cukup makanan serta air. Antrean di satu-satunya toko yang buka mengular hingga ke jalanan.

Pada Rabu (03/01), Perdana Menteri Fumiko Kishida mengumumkan rencana untuk melipatgandakan jumlah personel militer dan penyelamat yang memberikan bantuan.

Dia mengakui upaya penyelamatan terhambat oleh jalan yang rusak parah.

Jepang adalah salah satu negara paling aktif secara seismik di dunia dan aktivitas di sekitar Semenanjung Noto telah meningkat sejak akhir tahun 2020.

Telah terjadi lebih dari 500 gempa kecil dan menengah di sini selama tiga tahun terakhir. Hal ini menimbulkan rasa aman yang palsu di antara sebagian orang yang tinggal di sini.

“Kami selalu mengalami gempa bumi di sini, tapi saya tidak mengira akan terjadi gempa sebesar ini,” ujar Toshio Iwahama, yang rumahnya rusak parah. “Saya tidak menganggapnya serius. Saya kira kita aman.”

Toshio berusia 82 tahun dan baru saja menjanda, dia khawatir tentang bagaimana dia akan membayar biaya perbaikan rumahnya.

Sekarang yang menjadi perhatiannya adalah gempa susulan. Sudah terjadi lebih dari 200 gempa susulan sejak gempa terjadi pada Senin kemarin.

Alarm peringatan berbunyi dari ponselnya tepat sebelum tanah berguncang dan memaksa orang keluar rumah. Beberapa merasa khawatir untuk bersembunyi di dalam rumah.

Banyak rumah dari kayu tradisional hancur dan bangunan bertingkat juga roboh di Wajima.

Namun kenangan akan gempa bumi besar di masa lalulah yang menghidupkan kembali trauma masyarakat, terutama gempa besar dan tsunami pada tahun 2011 yang memicu bencana nuklir Fukushima dan menewaskan hampir 20.000 orang.

Jepang telah menjadikan dirinya lebih tahan terhadap gempa bumi dan tsunami selama bertahun-tahun, begitu pula masyarakatnya.

Rumah, jalan, dan pembangkit listrik tenaga nuklir lebih aman, sementara warga lebih waspada dan sigap menghadapi gempa.

Akan tetapi gempa bumi yang terjadi pada Senin (01/01) menunjukkan gempa tersebut memiliki kekuatan yang mengejutkan dan menghancurkan negara tersebut.

Peristiwa ini menghancurkan harapan masyarakat di Semenanjung Noto bahwa mereka akan terhindar dari bencana besar, sehingga menimbulkan ketakutan terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya.

Toshio Iwahama tahu sekarang dia berada di bawah kekuasaan Bumi, dan sayangnya dia tinggal di puncak Lingkar Api Pasifik.

Di kota pesisir Suzu di Prefektur Ishikawa, sekitar 90% rumah di kota itu “seluruhnya luluh lantak atau nyaris semuanya”, kata Wali Kota Masushiro Izumiya kepada Kantor berita Kyodo.

Sekretaris Kabinet, Yoshimasa Hayashi, memperingatkan masyarakat agar “waspada” terhadap gempa yang lebih besar lagi “dengan intensitas hingga 7 skala Richter”, setidaknya dalam tujuh hari mendatang.

Seorang warga Nanao berusia 82 tahun, Toshio Iwahama, mengatakan kepada BBC bahwa sebagian rumah kayunya runtuh. Ia mengatakan, meski telah berkali-kali mengalami gempa, ia belum pernah mengalami guncangan sebesar ini.

Warga Inggris Emma Ward, 41, yang sedang berlibur bermain ski di desa resor Hakuba, mengatakan gempa terjadi “tanpa peringatan”, sehingga kelompoknya berlindung di bawah meja di sebuah kafe.

Dia mengatakan kepada BBC bahwa intensitas gempa telah menyebabkan orang-orang meninggalkan gedung tersebut.

“Bagian terburuk dari gempa adalah kita tidak mengetahui seberapa kuat gempa yang akan terjadi. Ini adalah pengalaman yang sangat menakutkan,” kata Ward.

Nobuko Sugimori, warga Jepang berusia 74 tahun di Kota Nanao berkata bahwa dia belum pernah merasakan gempa dengan kekuatan sebesar ini sepanjang hidupnya.

“Saya berusaha memegangi televisi supaya tidak terjatuh, tapi saya bahkan tidak bisa mempertahankan diri saya yang berayun kuat [akibat getaran gempa],” tutur Nobuko Sugimori kepada kantor berita Reuters.

Gempa Jepang ini memberi Hikmah di Balik Cara Manusia Hadapi Alam

Nasib 18 WNI

Sebanyak 18 WNI yang tinggal di Kota Suzu, Prefektur Ishikawa terpaksa bermalam di luar ruangan di atas bukit setelah gempa besar tersebut.

Bersama warga Jepang, mereka membuat api unggun untuk menghangatkan diri dari suhu musim dingin yang mencapai 0 derajat Celsius. Suhu diperkirakan akan lebih dingin lepas tengah malam waktu setempat.

Rizal Sokobiki, salah satu dari 18 WNI yang terpaksa bermalam di atas bukit setelah gempa mengatakan listrik padam dan masih ada gempa susulan sehingga mereka memilih bertahan di luar ruangan.

Belasan WNI itu bekerja di kapal perikanan dan tinggal di asrama yang terletak di tepi pantai.

“Jaraknya dari laut itu dekat sekali, cuma 200 meter keliatan laut dari asrama menuju bukit. Karena ada peringatan tsunami jadi lari semua ke atas bukit,” jelas Rizal Sokobiki, WNI asal Tuban, Jawa Timur kepada wartawan Sri Lestari yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Rizal menyebutkan lokasi pengungsian yang disediakan pemerintah berjarak cukup jauh dari tempat tinggalnya.

Ia mengatakan hanya membawa sedikit air minum dan jajanan untuk bekal bermalam. Hingga wawancara dilakukan pada Senin (01/01) pukul 22.20 waktu setempat, ia mengaku belum ada bantuan dari pemerintah Jepang.

Ketika gempa terjadi ia bersama rekan-rekannya tengah beristirahat di asrama karena tidak bertugas di laut.

“Semua anak-anak sedang istirahat di kamar masing-masing, ada yang sedang makan berhamburan lari semua.”

Selama dua tahun bekerja di Ishikawa, ia mengatakan baru kali ini merasakan gempa yang cukup besar.

Sementara itu, Wawan Supriyanto, WNI yang tinggal di Kota Kahoku di Prefektur Ishikawa merasakan guncangan gempa ketika tengah berbelanja di toko peralatan rumah tangga.

Pria berusia 41 tahun ini mengatakan guncangan gempa itu membuat rangka baja di toko tersebut jatuh.

Kahoku berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dari Kota Noto. Ia mengatakan selama lima tahun tinggal di Ishikawa baru merasakan gempa sebesar ini.

“Kaget sekali. Baru hari ini saya merasakan gempa yang cukup besar sekali, sudah terbiasa, tapi kok makin kencang dan makin menakutkan,” jelas Wawan.

“Gedung dirancang sedemikian rupa, akhirnya kita stay di sana, dan luar biasa gedenya sampai besi di atas saya itu jatuh. Kalau barang-barang sudah jatuh semua,” ujarnya kemudian.

Wawan dan keluarganya bermalam di mobil yang diparkir di service area.

Wawan mengatakan setelah gempa, pemerintah Jepang mengeluarkan peringatan tsunami melalui email, sehingga ia dan keluarganya memilih tidak kembali ke apartemen dan menuju tempat yang lebih tinggi serta menjauh dari pantai.

Ia mengatakan apartemennya terletak dekat dengan pantai sehingga berisiko tinggi.

“Kita enggak berani balik ke apartemen karena kebetulan apartemennya itu dekat dengan pantai dan kita dapat peringatan dari pemerintah kota lewat email agar mengungsi, jangan kembali ke apartemen.”

Ketika wawancara dilakukan, Wawan dan keluarganya berada di mobil yang diparkir di service area bersama dengan warga Jepang lainnya. Ia mengatakan terus memantau situasi terkini melalui radio.

Hikmah Balbeid, WNI yang tinggal di Kota Kanazawa di Prefektur Ishikawa, mengatakan merasakan guncangan gempa yang sangat besar.

“Yang kedua itu besar dan lama, sampai barang di rak itu ada yang jatuh dan ternyata setelah itu rak sepatu bergeser tempatnya.

“Sofa bergeser tempatnya, cucian piring yang sudah kami cuci itu bergeser ke tempat cucian lagi, banyak yang jatuh, dan kami merasa ini gempa tidak sama dengan kayak biasanya,” jelas Hikmah.

Ia mengatakan listrik dan gas di rumahnya masih mengalir, tetapi terjadi pemadaman listrik dan gas di rumah tetangganya. Beberapa jam setelah gempa besar, gempa susulan masih dirasakan.

Hikmah mengatakan belum akan mengungsi, tetapi malam ini tengah berada di tempat pengungsian di sebuah banguan sekolah untuk mengunjungi temannya warga negara Mesir, Nagwa Fekri.

Nagwa yang tinggal di tepi sungai merasa khawatir dan memilih menginap di tempat pengungsian yang disediakan pemerintah karena rumahnya hanya 2 lantai.

“Sejumlah orang akan pulang tapi kami akan menginap karena kami tidak yakin apa yang akan terjadi, karena setidaknya hingga 2 jam lalu masih ada gempa yang cukup kuat.

“Bahkan atap kami terbuat dari baja dan masih goyang. Saya tinggal selama 20 tahun di Ishikawa dan baru mengalami yang seperti ini.”

WNI lain yang tinggal di Prefektur Tottori, Melli Suryanty mengatakan sempat ke tempat pengungsian yang disediakan pemerintah bersama dengan keluarganya.

“Ketika bunyi sirene/alarm kami sekeluarga langsung turun bersama tetangga yang dari Ethiopia. Peringatan tsunami disampaikan melalui pengeras suara dan diminta menjauh dari bibir pantai, mencari tempat yang aman. Alhamdulillah kami aman dan selamat.”

Melly dan keluarga kembali ke apartemen setelah gempa susulan mereda.

Adapun saat ini Kementerian Luar Negeri Indonesia sedang berkoordinasi dengan KBRI Tokyo dan KJRI Osaka untuk mengetahui dampak gempa dan tsunami di Jepang.

KBRI Tokyo mencatat terdapat 1.315 warga negara Indonesia yang menetap di Prefektur Ishikawa, 1.344 di Prefektur Toyama dan 1.132 di Prefektur Niigata, menurut Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial Budaya KBRI Tokyo, Meinarti Fauzie.

KBRI Tokyo dan KJRI Osaka telah mengeluarkan imbauan agar warga negara Indonesia tetap waspada atas gempa susulan dan tsunami dan selalu memantau informasi dan arahan otoritas setempat. Gempa Jepang dan Hikmah di Balik Cara Manusia Hadapi Alam.

(det/BBC World)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.