Money Politic Pilkada dan Hancurnya Peradaban

oleh

 

Oleh Masdawi Dahlan*

Pelaksanaan Pilkada serentak tinggal dalam hitungan jari, tepatnya 27 Nopember2024 mendatang. Suasana masa kampanye mulai memanas. Pemasangan poster dan baliho banyak ditemukan di pinggir jalan dan di berbagai tempat strategis lainnya, dilakukan besar besaran terutama bagi pasangan calon yang berduit besar.

Di jalur media sosial khususnya Tiktok dan diberbagai komunitas group WA, ‘’pertengkaran’’ justru lebih dahsyat lagi. Di ruang itu masyarakat pendukung saling hantam dengan berbagai ungkapan untuk memojokkan calon pasangan lainnya.

Tak terhitung lagi kekuatan tim dari pasangan calon tertentu yang berusaha untuk mempengaruhi masyarakat dengan menaburkan uang sogokan agar memilih calon pasangan yang diusungnya.

Praktek money politik ini dilakukan dengan vulgar dan hampir dengan terang terangan.

Mengapa berbahaya ? Karena politik transaksional atau pembelian suara itu benar benar menjadi momok yang sangat membahayakan negeri. Money politik membuat masyarakat tidak menganggap penting kualitas figur yang akan dipilihnya, yang penting bagi masyarakat adalah uang.

Dalam perspektif ajaran agama kini masyarakat sudah tidak lagi melihat apakah money politik itu haram atau halal. Karena dianggap sebagai sebuah kebiasaan dan rejeki lima tahunan. Sementara kalangan tokoh agama dan tokoh masyarakat dan orang yang memahami tentang hal itu juga diam tak kuasa karena begitu masifnya money politik tersebut. Akibatnya ‘’perang’’ benar benar terjadi. Para calon bersama timnya saling menunjukkan kekuatan uangnya untuk mendekati masyarakat pemilih.

Berbagai elemen masyarakat juga dikerahkan, kalangan pemuda, aktifis LSM, tokoh masyarakat hingga kalangan tokoh agama dan sebagian oknum wartawan atau media juga diterjunkan untuk menggaet dukungan pemenangan pasangan calon yang diusungnya.

Kalangan pengusaha juga tak luput dimanfaatkan oleh pasangan calon. Tak mengherankan jika dalam berbagai poster pasangan calon banyak digandengkan dengan foto pengusaha kaya yang ada didaerahnya. Khususnya pengusaha kaya yang selama ini dikenal baik terhadap masyarakat.

Misalnya foto pengusaha tembakau sukses asal Pamekasan H Hairul Umam atau yang lebih dikenal dengan nama H Her, kini banyak dipasang mendampingi pasangan calon untuk menjadi vote gatter meraup suara masyarakat. Foto H Her ini bukan hanya dipakai oleh satu calon pasangan saja, namun juga dipakai oleh pasangan calon lainnya.

Juga ada kreasi dengan menyandingkan pasangan calon Bupati dan Wabup dengan pasangan calon Gubernur dan Cawagub di Jatim. Di Pamekasan misalnya pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak ditampilkan dalam satu baliho dengan pasangan Cabup-Cawabup tertentu. Begitu juga di Sumenep pasangan Cagub-Cawabup Tri Rismaharini disandingkan dengan pasangan Cabup-Cawabup tertentu disana.

Merusak Peradaban Bangsa

Memancing dukungan masyarakat dengan money politik benar benar membahayakan. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang tidak berkeadaban. Sikap jujur dan ksatria dalam pemilu, sudah tidak ada, karena semuanya terukur dan bisa diatur dengan uang. Ajaran agama dikesampingkan, mereka tidak lagi mengenal halal haram dan perbuatan dosa dalam pemilu.

Masyarakat Pamekasan, misalnya, sebelumnya dikenal dinamis dan religius dalam politik dibandingkan dengan daerah lainnya di Madura, kini tampaknya mulai ada tanda tanda mulai rusak. Masyarakat dan para aktifis Pamekasan yang sebelumnya dikenal doyan berdemonstrasi jika melihat tanda tanda ketidakberesan, kini mulai diam dan tengah menikmati enaknya menjadi tim sukses.

Para aktifis yang sebelumnya bersuara keras mengkritik dan berunjuk rasa atas kasus kasus korupsi dan ketidakadilan, kini malah ditengarai masuk dalam tim pasangan calon tertentu karena tergiur dengan dana besar yang disiapkan untuk pemenangan calon pasangan tertentu.
Di Pamekasan sebelumnya masyarakat dikenal melek politik, selama ini sering muncul demonstrasi sebagai protes terhadap kebijakan yang dinilai salah dan tidak pro rakyat.

Pemerintah sendiri memberi ruang terhadap para aktifis untuk berdialog menyelesaikan masalah. Kini sikap kritis itu menghilang. Dalam momentum Pilkada ini banyak para aktifis tergabung dalam tim pasangan calon yang dinilainya paling kuat kemampuan kapitalnya.

Begitu pula dengan partai politik, yang sebelumnya mengaku sebagai partai berasas agama, kini sudah mulai membangun koalisi dengan partai politik yang sebelumnya dinilai sebagai partai sekuler. Demi sebuah kekuasaan mereka bisa berkoalisi untuk memenangkan persaingan dalam Pilkada mendatang.

Semua persoalan diatas, money politik, lemahnya daya kritis para aktifis, hingga tumpulnya ideologi sebuah partai, terjadi akibat serangan besar besaran dari kekuatan kapital yang belakangan mendekati para tokoh partai, tokoh agama hingga para aktifis. Pilkada diangap tak lebih hanya rutinitas belaka, yang paling utama adalah keuntungan capital yang bisa diraih.

Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan merupakan jalan menuju hilangnya sebuah peradaban dan mengundang murka tuhan, yakni masyarakat penjudi. Masyarakat yang sebelumnya dikenal jujur, kesatria dan teguh mempertahankan etika harga diri dan ajaran agama, kini menjadi lemah dan materialistis mudah dibeli dengan uang.

Para tokoh agama dan tokoh masyarakat tampak diam. Bahkan dalam kasus tertentu juga diduga ada yang terlibat dalam aksi money politik. Kondisi ini akan membuat masyarakat kehilangan arah, tidak ada panutan yang bisa mengantarkannya ke arah jalan politik yang benar. Akibat gempuran uang mereka lunglai tak berdaya terbawa arus menuju hancurnya peradaban sebagai manusia dan sebagai bangsa. (*)

*Penulis adalah wartawan DutaIndonesia.com dan Global News Biro Pamekasan

No More Posts Available.

No more pages to load.