NUVHA for Teenagers

oleh


Oleh Imam Shamsi Ali*

DI suatu pagi di penghujung tahun 2007 lalu, saat itu saya masih salah seorang Imam di Islamic Cultural Center of NY, saya menerima telepon dari seorang wanita, yang aksennya kental aksen Amerika. Tidak menggambarkan sama sekali jika ternyata wanita itu adalah keturunan Indonesia yang telah sukses dalam bidangnya.

Pembicaraan telepon itu pun terjadi antara saya dan wanita itu, sebut saja dengan nama “Miss”.

Miss: “Hello, is this Mr. Shamsi Ali?”

Saya: “Yes, it’s me. What I can do for you?”

Miss: “Sir, I need your help. My mom is very sick in (dia sebut nama rumah jompo di Manhattan)…would you go and see her?”

Saya: “Okay I will do my best. But do you have any specific matter for me to know?”

Miss: “Yes Sir. My mom is a Muslim. And she told us if one day she dies she wanted her funeral to be arranged according to her religion”.

Miss bahkan melanjutkan: “My mom went to Makkah. She did hajj”.

Saya mengiyakan dan berjanji akan menengok Ibu tersebut. Hingga pada tataran itu saya belum tahu kalau sang Ibu ini adalah seorang warga Indonesia. Karena dari aksen anaknya saya tidak menangkap sama sekali “Indonesian aksen”. Bahkan satu kata Indonesia dari mulutnya tak terungkap.

Di sore hari itu saya menyempatkan ke rumah jompo yang dimaksud. Setelah ke resepsionis menanyakan nama yang dimaksud, saya bergegas ke ruangan itu. Ternyata seorang Ibu Indonesia yang sudah sangat tua dan dalam keadaan sakaratul maut.

Segera saya ke kantor rumah jompo itu meminta agar anaknya ditelepon. Seorang staf di rumah jompo itu menelepon. Tapi jawaban yang didapatkan adalah, “Sorry I am still busy today. I can’t come”.

Saya tidak ingin teruskan cerita ini. Tapi ini kejadian benaran untuk memberikan ilustrasi betapa beratnya tantangan untuk mendidik anak-anak untuk memiliki “hati” di Barat. Dan untuk memiliki hati di sinilah urgensi tunas iman yang sehat.

No More Posts Available.

No more pages to load.