JAKARTA|DutaIndonesia.com – Pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) akhirnya mencabut izin Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Bukan hanya itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menghentikan sementara transaksi atas 60 rekening Yayasan Aksi Cepat Tanggap yang terdapat di 33 penyedia jasa keuangan.
Kemensos mencabut izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang telah diberikan kepada ACT karena dugaan pelanggaran aturan yang dilakukan oleh pihak yayasan. Pencabutan izin itu tertuang dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi pada Selasa, 5 Juli 2022. Keputusan diteken Muhadjir karena Menteri Sosial Tri Rismaharani sedang menunaikan ibadah haji.
“Jadi alasan kami mencabut (izin), dengan pertimbangan karena adanya indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Sosial, sampai nanti menunggu hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut,” kata Muhadjir Effendi lewat keterangan yang dikirimkan Sekjen Kemensos kepada wartawan di Jakarta Rabu, 6 Juli 2022.
Muhadjir menjelaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan berbunyi “Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan”.
Selasa kemarin Kementerian Sosial telah mengundang pengurus Yayasan ACT yang dihadiri oleh Presiden ACT Ibnu Khajar dan pengurus yayasan untuk memberikan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan pemberitaan yang berkembang di masyarakat. Dari hasil klarifikasi, kata Muhadjir, Presiden ACT lbnu Khajar mengatakan bahwa menggunakan rata-rata 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai dana operasional yayasan.
Angka 13,7 persen tersebut dinilai tidak sesuai dengan ketentuan batasan maksimal 10 persen. Sementara itu, pengumpulan uang dan barang untuk bencana, seluruhnya harus disalurkan kepada masyarakat tanpa ada biaya operasional dari dana yang terkumpul.
Muhadjir menyebut, langkah pencabutan izin ini diambil sebagai bukti pemerintah responsif terhadap hal-hal yang sudah meresahkan masyarakat dan selanjutnya akan melakukan penyisiran terhadap izin-izin yang telah diberikan kepada yayasan lain. Hal ini untuk memberikan efek jera agar tidak terulang kembali.
Dugaan Penyelewengan
Heboh ACT terjadi setelah Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022 dengan judul “Kantong Bocor Dana Umat” mengungkap dugaan penyelewengan dana yang dilakukan oleh ACT. Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar mengatakan sebagian dari laporan itu benar.
“Kami mewakili ACT meminta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat, mungkin beberapa masyarakat kurang nyaman terhadap pemberitaan yang terjadi saat ini,” kata Ibnu dalam konferensi pers di kantor ACT, Menara 165, Jakarta Selatan pada Senin, 4 Juli 2022. “Kami sampaikan, beberapa pemberitaan tersebut benar, tapi tidak semuanya benar,” katanya lagi.
ACT merupakan salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia. Pada 2018 hingga 2020 lalu, lembaga ini disebut mengumpulkan dana masyarakat sebesar Rp 500 miliar. Sebagai pembanding, lembaga lain seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat mengumpulkan dana sebesar Rp 375 miliar dan Rp 224 miliar.
Dana ratusan miliar tersebut digunakan untuk berbagai program. Mulai dari membantu korban bencana alam hingga pembangunan sekolah, atau pun tempat ibadah. Akan tetapi pengelolaan dana ratusan miliar tersebut juga diduga bermasalah. Mantan Presiden ACT, Ahyudin, disebut terseret dalam masalah penyelewengan dana masyarakat tersebut.
Dugaan penyelewengan dana oleh pendiri sekaligus pimpinan lembaga filantropi ACT Ahyuddin yang mengundurkan diri pada Januari lalu itu muncul dalam berita investigasi di Majalah Tempo Edisi Sabtu, 2 Juli 2022, bertajuk “Kantong Bocor Dana Umat”
Menurut laporan berjudul “Aksi Cepat Tanggap Cuan” itu, Ahyudin diduga menggunakan dana lembaganya untuk kepentingan pribadi. Mulai dari membeli rumah dan perabotannya hingga transfer bernilai belasan miliar.
Ada sejumlah fakta soal dugaan penyelewengan di ACT ini. Sejumlah pendiri komunitas Surau Sydney Australia misalnya menyatakan dari dana Rp 3,018 miliar yang terkumpul, mereka hanya mendapatkan Rp 2,311 miliar. Artinya, ada potongan sekitar 23 persen dari total donasi. “Pemotongan donasi ini terlalu besar,” ujar Meilanie Buitenzorgy, keluarga salah satu pendiri surau tersebut.
Lalu terjadi pemborosan duit di ACT. Ahyudin memberikan dirinya gaji jumbo yang mencapai Rp 250 juta. Selain itu, berbagai fasilitas mewah, kendaraan mulai dari Toyota Alphard, Mitsubishi Pajero Sport hingga Honda CRV. Ahyudin juga disebut menggunakan dana masyarakat tersebut untuk membeli rumah dan perabotan dengan nilai yang fantastis.
Membantu Teroris?
Bukan hanya itu, PPATK juga mencurigai uang donasi untuk kegiatan yang melawan hukum. Karena itu per Rabu 6 Juli 2022 PPATK menghentikan sementara transaksi atas 60 rekening atas nama entitas yayasan ACT di 33 penyedia jasa keuangan. “Jadi ada di 33 penyedia jasa keuangan sudah kami hentikan,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam konferensi pers, Rabu (6/7/2022).
Ivan menyebut pihaknya telah melakukan analisis terkait Yayasan ACT sejak 2018-2019 sesuai kewenangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Perpres Nomor 50 Tahun 2011. Aktivitas dana masuk dan dana keluar atas entitas tersebut nilainya mencapai hingga triliunan per tahun.
“Jadi dana masuk dana keluar per tahun itu perputarannya sekitar Rp 1 triliun, jadi bisa dibayangkan itu memang banyak,” ujarnya.
Selain itu, PPATK juga menjelaskan hasil pendalaman terkait bagaimana struktur kepemilikan yayasan ACT, serta bagaimana pengelolaan dana dan segala macamnya. “Memang PPATK melihat bahwa entitas yang kita lagi bicarakan ini terkait dengan beberapa kegiatan usaha yang dimiliki langsung oleh pendirinya. Ada beberapa PT di situ, itu dimiliki langsung oleh pendirinya dan pendirinya termasuk orang yang terafiliasi karena menjadi salah satu pengurus,” jelasnya.
Kemudian ada yayasan-yayasan lain tidak hanya terkait dengan zakat, ada juga terkait dengan kurban dan tentunya terkait dengan wakaf. Lalu di bawahnya lagi ada lapisan perusahaan yang terkait dengan investasi. “Lalu di bagian bawah itulah kemudian ada yayasan yang kita sebut dengan Yayasan ACT,” tambahnya.
PPATK menduga transaksi yang dikelola oleh Yayasan ACT bersifat business to business. Jadi tidak murni penerima menghimpun dana bantuan lalu disalurkan, tetapi dikelola terlebih dahulu dalam bisnis tertentu.
“Di situ tentunya ada revenue, ada kentungan dan ini PPATK terus melakukan penelitian,” imbuhnya.
PPATK juga menemukan adanya transaksi keuangan dari karyawan ACT ke negara-negara yang berisiko tinggi. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan dari hasil koordinasi dan hasil kajian, penerima dari transaksi keuangan yang dilakukan oleh karyawan ACT itu terindikasi berafiliasi dengan organisasi terorisme, Al-Qaeda. Sang penerima, kata dia, pernah ditangkap oleh Pemerintah Turki.
“Beberapa nama yang PPATK kaji, berdasarkan hasil koordinasi dan hasil kajian dari database yang PPATK miliki itu ada yang terkait dengan pihak yang… Ini masih diduga ya, patut diduga terindikasi. Dia yang bersangkutan pernah ditangkap menjadi salah satu dari 19 orang yang ditangkap oleh kepolisian di Turki karena terkait dengan Al-Qaeda, penerimanya,” katanya.
PPATK masih mendalami lebih lanjut perihal temuan ini. Apakah transaksi keuangan yang dilakukan untuk aktivitas lain selain donasi. “Tapi ini masih dalam kajian lebih lanjut, apakah ini memang ditujukan untuk aktivitas lain atau kebetulan. Selain itu ada yang lain yang secara tidak langsung terkait dengan aktivitas-aktivitas yang patut diduga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan,” ungkapnya.
Selain transaksi dilakukan atas nama Yayasan, ada juga kiriman dana melalui individu, mulai dari pengurus hingga karyawan ACT. Ivan menjelaskan salah satu pengurus ACT pernah mengirim dana Rp 500 juta ke sejumlah negara. Transaksi itu dilakukan periode 2018 hingga 2019.
“Misalnya salah satu pengurus itu melakukan transaksi pengiriman dana periode 2018 ke 2019 hampir senilai Rp 500 juta ke beberapa negara, seperti ke Turki, Kyzikstan, Bosnia, Albania dan India,” katanya.
Ivan juga mengatakan karyawan ACT melakukan transaksi ke luar negeri dengan nominal mencapai Rp 1,7 miliar. Ivan menerangkan dana itu dikirim ke negara-negara berisiko tinggi.
“Antara Rp 10 juta sampai dengan Rp 552 juta. Jadi kita melihat masing-masing (pengurus atau karyawan) melakukan kegiatan sendiri-sendiri ke beberapa negara,” kata Ivan. (tmp/det)