Oleh Imam Shamsi Ali*
SATU hal yang mengejutkan saya pribadi sebagai anak bangsa, seorang Muslim, yang kebetulan saja ditakdirkan hidup di luar negeri adalah di saat dunia mulai pulih dari hantaman badai Covid 19, Indonesia justeru semakin kritis. Di New York biasanya hal seperti ini diekspresikan dengan “Whassup man!”
Ada apa gerangan? Apa yang salah dengan kita?
Saya tidak bermaksud melemparkan tuduhan kepada siapapun atas kenyataan ini. Tapi pastinya ada yang salah dan perlu dibenahi. Jika anda melihat asap, pastinya api itu ada. Mungkin saja anda tidak lihat, tidak tahu, atau pura-pura tidak lihat dan tidak tahu.
Atau lebih tegasnya harus ada yang bertanggung jawab dengan keadaan ini. Jangan ribuan rakyat meninggal, ribuan lagi sakit, jutaan kehilangan pekerjaan dan sumber kehidupan, lalu seolah semua biasa saja. Itu namanya kebal muka. Tiada malu lagi.
Dalam kehidupan publik, bernegara misalnya, pastinya setiap peristiwa apakah itu baik atau buruk, nyaman atau sebaliknya, pastinya harus ada yang mengambil alih tanggung jawab itu.
Mengambil alih tanggung jawab alias bertanggung jawab itu menjadi bagian dari karakter keamanahan dalam kehidupan publik. Itu yang menjadikan di India misalnya dua belas Menteri yang mengundurkan diri akibat peristiwa Covid 19 varian Delta baru-baru ini.
Apakah mereka salah? Belum tentu. Mereka tidak sampai mengkorupsi dana Covid yang diperuntukkan untuk masyarakat luas. Tapi rasa tanggung jawab itulah yang menjadikan mereka secara batin merasa bersalah, dan pada tingkatan tertentu merasa tertekan akibat banyaknya warga India yang meninggal baru-baru ini.
Semoga hal ini bisa menjadi renungan para pejabat di negeri Indonesia tercinta. Syukur-syukur mereka menjadikannya dorongan untuk membangun “sense of responsibility” (rasa tanggung jawab) sebagai pengejewantahan dari karakter amanah atas tanggung jawab publik yang diembannya.
Di sisi lain kita akui bahwa upaya melawan Covid 19 ini memerlukan upaya menyeluruh (comprehensive efforts). Dan karenanya semua pihak harus mengambil tanggung jawabnya masing-masing pada kapasitasnya. Termasuk di dalamnya tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara umum. Masing-masing bisa memainkan peranan yang signifikan dalam upaya tersebut.
Dan karenanya kedisiplinan warga dalam menjalankan segala protokol kesehatan, termasuk menghindari kerumunan untuk sementara, harus diikuti. Dan semua ini dilakukan tidak dengan mental “kucing-kucingan”. Jika ada petugas nampak taat. Setelah itu dilanggar seolah biasa saja.
Demikian juga para tokoh agama dan para Ulama. Mereka memiliki peranan yang cukup menentukan. Bahwa tokoh agama harus menyadarkan jamaahnya (pengikutnya) untuk ikut memainkan peranan melawan Covid ini. Tidak justeru sebaliknya jamaah disuguhi ragam teori yang menjadikan mereka ragu, bahkan memandang enteng bahaya Covid ini.
Hentikan Membisniskan Covid 19
Salah satu faktor krisis utama dan masalah terbesar dalam penanganan Covid 19 di Indonesia adalah kuatnya tendensi “egoisme ketamakan” hampir semua pihak. Dalam upaya penanganan, illa man rahima Rabbuh (kecuali siapa yang dirahmati Allah), semuanya mengedepankan apa keuntungan yang akan didapatkan dari penanganan Covid 19 ini.
Hal itu terlihat dan terasa dengan jelas melalui berbagai pelayanan yang terkait dengan Covid. Dari test Covid, dana sosial Covid, hingga ke Karantina dan vaksinasi. Semuanya ada “transaksi bisnis” yang luar biasa. Dan luar biasanya lagi semua itu dilakukan dengan “so called prosedur” yang telah ditetapkan/diadakan.
Ini biadab. Dan saya tidak perlu merincikan lagi semua kebiadaban itu. Karena siapapun yang punya hati dan secuil kejujuran akan mengakui dan menyadari bahwa semua ini adalah tidak manusiawi (inhumane) dan harus dihentikan. Jelas merugikan negara dan rakyat, bahkan tidak berperikemanusiaan.
Setiap hari ribuan orang meninggal. Ribuan lainnya yang harus dirawat. Belum lagi begitu banyak yang terpaksa tidak dilayani di rumah-rumah sakit karena keterbatasan fasilitas. Ribuan bahkan jutaan yang kehilangan dan sumber penghasilan.
Dan dengan semua itu “sense of responsibility” tidak terusik? What s shame!!! (*)
New York, 8 Juli 2021
* Diaspora Indonesia di New York