Denny Indrayana: Cawe-cawe Presiden Jokowi Bikin ‘Wilayah Pertandingan’ Pilpres Tak Simbang

oleh
Denny Indrayana (Foto: Kompas.com)

JAKARTA| DutaIndonesia.com – Guru Besar Hukum Tata Negara dan Senior Partner Integrity Law Firm, Denny Indrayana, menanggapi pernyataan Presiden Jokowi soal dirinya ikut cawe-cawe dalam politik terkait koalisi besar parpol. Dalam wawancaranya dengan TVOne seperti dilihat Rabu (31/5/2023), Denny Indrayana mengaku mendapat dua tangkapan layar soal berita tersebut.

“Saya hari ini mendapat kiriman screenshot gambar berita Presiden ‘saya tak ikut cawa-cawe’, kemudian hari ini atau tepatnya kemarin ditulis lagi Presiden ‘saya akan ikut cawe-cawe’. Ini, satu, ada kesan tidak konsisten di situ. Kedua, bahwasannya bisa cawe-cawe itu dalam konteks apa, kalau cawe-cawe ini dalam kontestasi pemilihan presiden dan kemudian masuk ke pendukung dan melakukan preferensi ke salah satu calon dan melakukan upaya resistensi ke calon lain, ini bukan sikap negarawan, karena sikap itu justru merusak, berpotensi merusak, pemilihan presiden, yang seharusya jujur dan adil,” katanya.

Mengapa demikian? Menurut Denny, karena Presiden Jokowi memiliki infrastruktur untuk mempengaruhi proses Pemilu. “Ya namanya presiden, itu punya resources, punya perangkat, infrastruktur yang sangat bisa mempengaruhi proses pemilu, Beliau seharusya secara konstitusi kita, harusya bersikap netral. Sebagai wasit. Jadi, kalau sikap cawe-cawe itu ditunjukkan dengan mengambil langkah politik praktis, mendukung Ganjar atau Prabowo, dan kelihatan mengambil langkah-langkah tidak setuju pada bakal calon presiden Anies Baswedan, dalam tulisan saya setelah lebaran yang saya beri judul Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo, Menolak Anies, saya sudah menggunakan istilah itu, presiden jangan cawe cawe. Rupanya ini sampai juga ke Beliau, karena itu melanggar konstitusi,” katanya.

Presiden, kata pengamat politik yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini, secara pribadi bisakah memilih? Tentu bisa, bahkan dia mencontohkan Presiden Obama bisa kampanye untuk capres Hillary Clinton. “Itu bisa sebagai preferensi pribadi. Tapi kemudian presiden sebagai institusi negara, kemudian ikut cawe-cawe, itu tidak bisa. Sebab menyebabkan wilayah pertandingan tidak seimbang. Itu sebabnya pada saat presiden kampanye, dia cuti sebagai presiden. Saat Presiden Jokowi maju sebagai incumbent, dia cuti sebagai presiden. Karena tidak bisa presiden menggunakan institusi kenegaraannya untuk ikut dalam kontestasi. Tapi persoalannya memang kelihatannya Presiden Jokowi tidak terlalu tahu soal etika semacam itu. Contoh konkret adalah bagaimana dia masih mengatur dan memiliki relawan Jokowi, masih sering sering hadir dalam acara acara kerelawanan, padahal relawan itu elemen dalam kontestasi,” katanya.

BACA BERITA TERKAIT:

  1. Jokowi Akui Cawe-cawe Parpol demi Negara, Apa Presiden Tidak Konsisten?
  2. Prabowo Salip Ganjar di Survei Litbang Kompas
  3. Prabowo, Koalisi Besar, dan Perjanjian Batu Tulis

Seperti diberitakan sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengakui ikut “cawe-cawe” dalam urusan koalisi parpol menjelang Pilpres 2024. Namun Jokowi menegaskan bahwa “cawe-cawe” yang dimaksud adalah dalam urusan yang positif. Presiden berdalih bahwa apa yang dilakukannya itu untuk negara.

“Untuk negara, saya cawe-cawe,” kata Jokowi dalam pertemuannya dengan para pimpinan media nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/5/2023). Saat aktif menggalang koalisi besar, Jokowi banyak dikritik karena dinilai terlibat terlalu jauh mengurus koalisi parpol.

Saat itu Jokowi mengundang enam ketua umum partai politik koalisi pendukung pemerintah di Istana Merdeka minus Ketum Nasdem Surya Paloh. Mantan Wapres Jusuf Kalla saat menjamu Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar di kediamannya, Jakarta Selatan, Sabtu (6/5/2023) malam, meminta Presiden Jokowi tidak banyak mencampuri urusan partai politik terutama terkait Pilpres 2024 supaya lebih demokratis.

Seakan menanggapi hal itu, Jokowi pun mengaku akan “cawe-cawe” untuk memastikan perekonomian negara berjalan baik. Dia juga menyatakan harus “cawe-cawe” agar pemilu nanti bisa berjalan secara demokratis.

Jokowi mengingatkan agar pernyataannya soal “cawe-cawe” itu tidak disalahartikan. “Jangan terus dianggap saya cawe-cawe urusan politik praktis,” katanya.

Soal urusan mengundang para pimpinan parpol, ditegaskan Jokowi sebagai upaya memastikan negara ini tetap berjalan baik di masa mendatang. Hal yang disampaikannya dalam pertemuan dengan para pimpinan parpol, kata Jokowi, adalah soal kesempatan emas Indonesia yang tidak boleh dilewatkan. “Tiga belas tahun ke depan sangat menentukan,” ujar Jokowi menegaskan.

Jokowi menjelaskan, bahwa saat ini Indonesia dalam posisi mendapatkan trust dari negara-negara penting di dunia. Dia menilai, modal ini harus terus dijaga dan dikembangkan. Hanya saja, Jokowi mengingatkan, pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia selama ini tidak menjaga keberlanjutan. “Jadi ibaratnya sudah SMA, balik ke SD lagi. Silakan orang boleh mau gaya pop, gaya dangdut, gaya rock, tapi maju terus. Jangan maju mundur kayak poco-poco,” tutur dia.

Sebelumnya Jokowi membantah ikut “cawe-cawe” urusan parpol. Kemudian Presiden menyatakan bakal membisiki partai politik soal tiga nama capres hasil musyawarah rakyat (Musra) relawan jelang Pilpres 2024. Tiga nama itu yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Airlangga Hartato.

Pengamat Politik dari Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menilai pernyataan Jokowi itu membuktikan presiden tidak konsisten, sebab belum lama ini Jokowi menyatakan tak mau cawe-cawe urusan Pilpres 2024. “Di sini Pak Jokowi cermin sebagai sosok yang inkonsisten ya dalam bersikap dan bertindak, sebelumnya dia menyatakan dia tidak akan cawe-cawe,” kata Jamiluddin dikutip dari CNNIndonesia.com. Jamiluddin menilai inkonsistensi Jokowi itu bisa memunculkan penilaian negatif dari masyarakat terhadap sosoknya sebagai presiden saat ini.

Ia berpendapat ada kepentingan pribadi di balik upaya Jokowi yang seolah tampak ‘ngebet’ ikut campur urusan Pilpres 2024. Jamiluddin menilai Jokowi memiliki dua kepentingan.

Pertama, Jokowi menginginkan presiden selanjutnya menjaga ‘keselamatan’ dirinya. Jamiluddin menilai Jokowi kemungkinan berharap agar presiden setelahnya tidak mempersoalkan dirinya di kemudian hari sehingga Jokowi mencari sosok yang pro-kepadanya.

“Alasan cawe-cawe kedua, Pak Jokowi mungkin ingin memastikan proyek-proyek ambisius dia tetap dijalankan, termasuk IKN. Padahal semua tahu IKN itu kan maunya para elite, termasuk maunya Jokowi, rakyat kalau ditanya kan belum tentu mau ibukota pindah ke sana,” ujar Jamiluddin. (gas/cnni/det)

No More Posts Available.

No more pages to load.