Oleh Imam Shamsi Ali*
SEBAGAI bagian dari mengingatkan diri sendiri di awal tahun 2022 ini, saya ingin menafsirkan sebuah kata Inggris yang mungkin belum populer di tengah masyarakat. Kata itu adalah “headtrash” yang secara literal bermakna “sampah kepala”.
Kata ini sesungguhnya menggambarkan ragam negativity di kepala manusia. Sebagai misal saja dan tentunya masih banyak yang lain, ada benci, dendam, dengki, cemburu, sedih, kecewa, dan seterusnya.
Semua hal di atas ternyata sejak lama ditemukan sebagai penyebab serius dari ragam penyakit yang berdampak pada tubuh manusia. Semuanya bisa menjadi penyebab penyakit kanker, diabetes, sakit jantung, dan lain-lain.
Sayangnya manusia biasanya mengatasi semua itu dengan solusi medical seperti operasi, kemo, radiassi, juga dengan obat herbal bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Semuanya justeru membuat sel-sel tubuh manusia luluh lantak.
Sementara akar masalahnya terlupakan bahkan tidak menjadi perhatian dalam penyelesaian.
Akar masalah sesungguhnya ada pada hati yang sakit. Atau dalam bahasa Al-Qurannya: “fii quluubihim maradhun”. Di hati mereka itu ada penyakit. Yang kemudian merusak seluruh jaringan tubuhnya.
Ketika darah tetap asam. Kondisi tubuh asam. Pikiran tetap stress, jiwa tak tenang. Dendam menumpuk. Kecewa terus berlanjut. Perasaan galau menggeluti. Kebencian menyelimuti, dan seterusnya.
Sesungguhnya dengan keadaan itu secara tidak langsung seseorang sedang melakukan bunuh diri secara pelan-pelan.
Benarkah? Masa’ Iya….!?
Sang tauladan, baginda Rasul SAW mengingatkan: “Ada segumpal daging dalam tubuh manusia, yang jika baik, maka seluruh tubuh akan baik. Tapi jika buruk maka seluruh tubuh akan buruk.”
Itulah HATI….
Ragam penyakit yang menjangkiti hati manusia tidak semudah untuk diatasi. Bahkan dzikir-dzikir yang menjadi rutinitas pun hanya akan jadi bak nyanyian bersama yang tak efektif jika hati terpenjarakan oleh penyakit itu.
Ragam ritual jadi aktifitas yang seolah hanya seremoni-seremoni yang dipertontonkan. Tak jarang jadi “bingkai” yang nampak indah untuk tujuan yang entahlah…(hanya Dia sang Khaliq yang Maha Tahu).
Di sinilah diperlukan belajar untuk jujur pada diri sendiri. Walau terkadang kejujuran itu pahit dan terasa pedih. Kata orang, jujur pada orang lain harusnya dianggap tidak biasa. Tapi tidak jujur pada diri sendiri menjadi sesuatu yang “sangat luar biasa”.
Kejujuran pada diri itu adalah keinginan untuk menghadirkan kesadaran tentang “man ana?” (Siapa saya)?
Ada sebuah pernyataan ahli hikmah: “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (siapa yang kenal dirinya, akan kenal Tuhannya).
Apa relasi antara keduanya?
Mengenal diri dengan segala kehinaan, kelemahan, keterbatasan, dan ragam penyakit-penyakit tadi menjadikan seseorang untuk membangun “kesadaran” akan realita dirinya.
Dalam bahasa agama, kesadaran itu disebut “i’tiraf” atau pengakuan akan keterbatasan dan kelemahan diri sendiri. Pengakuan ini sejatinya menjadi langkah awal dari “self correction” (perbaikan diri).
Self correction inilah yang biasa disebut dengan “taubat”. Di mana esensi terutama dari taubat adalah melakukan perbaikan (ishlah) dari kesalahan/kekurangan diri sendiri.
Masalahnya memang ada pada hati. Kalau hati penuh dengan “penyakit-penyakit” (amradh) pastinya akan melahirkan “trashhead” atau kepala yang penuh sampah alias “negative mind”.
Jangankan kesadaran akan terbangun untuk melakukan “self acknowledgement” dan “self correction”. Termasuk mengubah pandangan dari penglihatan negatif ke penglihatan positif.
Bahkan seperti yang disebutkan tadi, lebih buruk lagi, ragam ritualitas agama sekedar akan menjadi tameng (bingkai) untuk tujuan-tujuan memenuhi “syahwat” pribadinya. (*)
* Presiden Nusantara Foundation