Banyak orang kehilangan saat Dokter Lo Siauw Ging wafat. Sang dokter yang menghembuskan napas terakhirnya dalam usia 90 tahun di RS Kasih Ibu, Solo, Jawa Tengah, Selasa (9/1/2024) pukul 14.00 WIB itu, dijuluki pahlawan bagi pasien wong cilik. Orang-orang miskin.
ISAK tangis mewarnai pemakaman Dokter Lo Siaw Ging. Banyak mantan pasien Dokter Lo yang datang melayat berderai air matanya saat mengenang betapa sang dokter begitu baik merawat para pasien miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Bahkan untuk menebus obat, pasien miskin ini pun tak mampu. Tapi semua kesulitan pasien miskin itu akhirnya bisa diselesaikan berkat bantuan dr Lo Siaw Ging.
Salah satu mantan pasien Dokter Lo Siauw Ging yang datang melayat adalah Rini Eiawati (45). Perempuan ini menyebut Dokter Lo sebagai pahlawan bagi dirinya dan anaknya. Sebab dirinya pernah diobati almarhum sewaktu kecil.
“Waktu kecil saya sakit-sakitan. Diantar kakak sama ibu. Dan ketika Pak Dokter tanya punya uang atau tidak, langsung memberikan amplop berisi uang untuk membeli obat. Ini nanti buat beli obat. Dijaga anaknya jangan sampai sakit,” katanya mengenang Dokter Lo. “Bapak itu sangat berarti sekali bagi kami,” ungkapnya sambil menahan tangis.
Beberapa kali dia juga diberi resep dengan kode khusus sehingga saat ke apotek, petugas tidak menagihkan biaya obat kepadanya. “Waktu kecil belum ada BPJS. Kalau nggak punya uang di resepnya itu ada tanda ditujukan di mana tempat saya menebus obat,” terangnya.
Begitulah banyak orang mengenang dr Lo yang keberadaannya sebagai dokter sepenuhnya untuk melayani umat. “Aku datang untuk melayani, bukan dilayani..” Itulah semangat dr Lo Siaw Ging yang populer di Solo bukan hanya karena diagnosanya, tapi juga karena dia tidak pernah minta bayaran ke pasien bahkan biaya beli obat-pun terkadang dibayari oleh dr Lo sendiri.
Lo terlahir di Magelang Jawa Tengah pada 16 Agustus 1934 dari keluarga pengusaha tembakau moderat bernama Lo Ban Tjiang & Liem Hwat Nio. Setamat SMA di Semarang, Lo ingin kuliah kedokteran. Saat itu ayahnya berpesan: “Jika ingin menjadi dokter jangan berdagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi dokter!”
Memaknai pesan sang ayah bagi dr Lo adalah bahwa seorang dokter tidak boleh mengejar materi semata karena tugas dokter adalah membantu orang. Kalau hanya ingin mencari untung, lebih baik jadi pedagang. Jadi siapa pun pasien yang datang, miskin atau kaya, harus dilayani dengan baik. Ikhlas. Profesi dokter itu menolong orang sakit bukan menjual obat!
Lo menjadi dokter sejak 1963 di poliklinik Tsi Sheng Yuan milik Dr Oen Boen Ing (1903-1982). Saat Orde Baru, poliklinik ini menjadi RS Panti Kosala dan sekarang menjadi RS Dr Oen.
Selain dari ayahnya, Lo banyak belajar dari Dr Oen. Dia tidak hanya pintar mengobati tapi sederhana dan jiwa sosialnya luar biasa. Selain tidak minta bayaran, Lo juga membantu pasien yang tidak mampu menebus resep, juga pasien rawat inap di tempatnya bekerja, RS Kasih Ibu. Ia akan menulis resep dan meminta pasien mengambil obat ke apotek tanpa harus membayar. Pada akhir bulan, pihak apotek yang akan menagih uang kepada dr Lo.
Alhasil, Lo harus membayar resep antara Rp 8-10 juta per bulan. Jika biaya rawat besar, misalnya harus operasi, Lo turun sendiri mencari donatur. Bukan sembarang donatur, sebab hanya donatur yang bersedia tidak disebutkan namanya yang akan didatangi Lo.
“Beruntung, masih banyak yang percaya saya! Saya tahu pasien mana yang mampu bayar dan tidak. Untuk apa mereka bayar ongkos dokter dan obat kalau setelah itu tidak bisa beli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak bisa makan!” kata dr Lo, yang adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Manajemen Administrasi Rumah Sakit dari UI.
Gaya bicaranya tegas. Kadang, dia memarahi pasien yang menganggap enteng penyakit: “Sampai sekarang masih banyak yang bersikap kayak gitu. Memangnya penyakit itu bisa sembuh sendiri. Kalau sakit ya harus segera dibawa ke dokter. Jangan bikin diagnosa sendiri..” kata anak ke-3 dari 5 bersaudara itu.
Saat kerusuhan Mei 1998, Lo tetap buka praktik dan menerima pasien di rumahnya, Kampung Jagalan, Jebres. Orang banyak yang khawatir akhirnya beramai-ramai menjaga rumah Lo. “Banyak yang butuh pertolongan, termasuk korban kerusuhan, masak saya tolak. Kalau semua dokter tutup siapa yang nolong mereka?” ujarnya kala itu.
Saat itu, meski usianya sudah 89 tahun dan bertongkat, Lo tidak banyak mengurangi waktunya untuk melayani pasien dari pagi sampai malam. “Selama saya kuat, saya belum mau pensiun. Menjadi dokter itu baru pensiun kalau sudah tidak bisa apa-apa. Kepuasan bagi saya bisa membantu orang dan itu tidak bisa dibayar dengan uang..” katanya.
Puluhan tahun menjadi dokter, bahkan menjabat direktur rumah sakit, hidup Lo tetap sederhana. Bersama Maria Gandi, istrinya, dia tinggal di rumah tua yang relatif tidak berubah sejak awal dibangun, kecuali hanya diperbarui catnya. Bukan rumah megah dan bertingkat seperti umumnya rumah dokter.
“Rumah ini sudah cukup besar untuk kami berdua. Kalau ada penghasilan yang lebih, biarlah untuk mereka yang lebih membutuhkan. Kebutuhan kami hanya makan. Bisa sehat sampai usia sekarang ini saja, saya sudah sangat bersyukur. Semakin panjang usia, semakin banyak kesempatan untuk membantu orang lain,” jelasnya.
Menurut Lo, istrinya memiliki peran besar terhadap apa yang dia perbuat. Tanpa perempuan itu, kata Lo, dia tidak akan bisa melakukan semuanya. “Maria itu perempuan luar biasa. Saya beruntung menjadi suaminya,” ujar Lo tentang Maria Gan May Kwee (Maria Gandi), perempuan yang dia nikahi di tahun 1968.
Pada tahun 2020, dr Lo mendapat penghargaan MURI. “Sebenarnya banyak dokter bisa melakukannya. Untuk semua apalagi dokter muda, gimana pun di sini jika menjadi dokter tidak akan kelaparan. Tidak ada salahnya sedikit berbuat sosial untuk orang lain,” katanya.
Di usia tuanya, dia jatuh sakit dan dirawat di ruang Wirata Rumah Sakit Kasih Ibu di Solo. Beberapa tahun lalu juga dirawat karena gejala stroke. Konon, sampai sebelum jatuh sakit, dokter Lo masih praktik melayani banyak pasien.
Namun akhirnya hari Selasa (9/1/2024) lalu dr Lo Siauw meninggal di RS Kasih Ibu Solo. Tuhan yang memberi Tuhan pula yang mengambil dr Lo. Selamat jalan dr Lo, pahlawan orang miskin. (*)