Oleh Imam Shamsi Ali*
MANUSIA itu lemah dan terbatas. Lemah dan terbatas dalam fisiknya, akalnya, imajinasinya. Bahkan terbatas dalam ajalnya, bukan? Yang benar dan baik terkadang dilihat salah dan buruk. Dan terkadang juga sebaliknya.
Salah satu kelemahan dahsyat manusia adalah terombang-ambing oleh tiupan angin keadaan sekitarnya. Jika angin meniup sepoi-sepoi dia pun hanyut dalam kesenangan yang sangat. Tapi jika angin bertiup kencang dia pun goncang segoncang-goncangnya. Seolah langit segera roboh. Dunia bagaikan segera hancur berkeping.
Manusia yang ditentukan dan terhanyut oleh keadaan sesaat itu biasanya dikenal dalam dunia ilmu jiwa dengan manusia yang mengalami keterkejutan sosial. Bahasa kampung saya menyebutnya dengan “social shock”.
Jika keterkejutan itu ada kaitannya dengan budaya disebut “cultural shock”. Tapi Jika itu kaitannya dengan mentalitas atau suasana kejiwaan disebut “psychological shock”. Tapi keduanya jatuh di bawah kategori “social shock” atau keterkejutan sosial tadi.
Baik cultural shock maupun mental shock merupakan “undetected sickness” (penyakit tak terdeteksi) atau penyakit yang tidak disadari yang kerap menimpa manusia. Penyakit ini membawa konsekwensi yang tidak kecil dalam kehidupan manusia. Baik pada tataran individu. Lebih-lebih lagi pada tatanan komunal (Komunitas atau publik).
Dalam situasi dunia yang serba kompetitif, disadari atau tidak, semua pasti “merasa sedang berkompetisi” dengan alam sekitarnya. Berkompetisi dengan saudara, teman, bahkan sesama Muslim dan sekomunitas.
Perasaan kompetisi ini sebenarnya dalam pandangan Al-Quran bukan sesuatu yang asing, apalagi aneh. Karena sejatinya dalam hidup seorang Mukmin, semangat kompetisi harus selalu terbangun. Itulah yang dibahasakan oleh al-Quran dengan “fastabiqul khaerat”. Atau “falyatanaafisul mutanaafisuun”.
Dilemanya memang ada pada:
Satu, situasi batin atau mentalitas seseorang. Kalau bisikan batinnya penuh polusi, penuh kotoran hati yang tidak perlu saya rincikan, hilang integritas karakternya. Hal itu karena kompetisi itu dianggap ancaman. Dan karenanya dia akan melakukan segala hal untuk “menang dan mengalahkan” siapapun yang dianggap pesaingnya.
Akibatnya tumbuh rasa “insecurity”. Merasa tidak aman dengan kemajuan atau prestasi, bahkan apa yang diasumsikan keberhasilan orang lain. Keberhasilan orang lain tidak akan pernah positif di matanya. Sebaliknya justeru dilihat sebagai ancaman yang mengintainya setiap saat.
Dua, masalah sosial shock tadi. Orang yang terkejut karena sesuatu yang dianggap menjadikannya “upper hand”. Merasa memiliki sesuatu atau mungkin perasaan ada kelebihan.
Perasaan ini paling rentan terjadi kepada orang yang secara “kebetulan atau tiba-tiba” ada sesuatu yang terjatuh dalam genggamannya.
Tiba-tiba kaya bisa menjadikan seseorang terkejut secara sosial. Seseorang yang dapat lotto misalnya pada umumnya berakhir tragis. Entah itu bangkrut pada akhirnya. Atau terlibat dalam gaya hidup yang tidak terkontrol.
Bahkan anak-anak orang kaya yang jadi kaya karena sekedar kayanya orang tua. Umumnya mereka menjadi orang-orang spoiled yang kurang bertanggung jawab dalam hidupnya.
Contoh lain yang sering terjadi dalam masyarakat adalah ketika seseorang secara tiba-tiba diangkat jadi RT di sebuah kampung.
Kerap pak RT ini bergaya. Merasa memiliki dunia. Padahal otoritasnya hanya RT. Itupun terpilih karena dadakan. Terpilih karena situasi dan keadaan tertentu. Bukan karena punya kapasitas dan kemampuan.
RT seperti ini memasang dada. Merasa segala sesuatu ada dalam otoritasnya. Seolah nengatakan: “I am the RT man!”.
Keadaan ini menjadikannya melihat segalanya dalam batas dan wawasan matanya. Yang dianggap dari luar dari “inner circle”nya, walau baik bagi kampung itu akan dihalangi. Bahkan lebih buruk lagi dianggap “threat” alias ancaman.
Maka berhati-hati dengan social shock (keterkejutan sosial) ini. Sikapi segala hal dalam hidup secara alami saja. Jangan berlebihan, dan kehilangan keseimbangan. Hindari keterkejutan-keterkejutan. Walau hidup kadang penuh surprises bukan?
Dan yang terpenting jangan lupa lakukan introspeksi atau muhasabah alias kalkulasi-kalkulasi diri. Siapa saya, kapasitas saya, baiknya saya di mana dan bersikap bagaimana?
Yang lebih berbahaya lagi adalah jika “social shock” ini menyebabkan seseorang mengalami tekanan darah, bahkan serangan jantung. Kalau itu sampai terjadi maka itulah yang disebut “death shock” alias kematian mendadak.
Semoga Allah menjaga kita! (*)
NYC Subway, 16 Juli 2021
* Putra Kajang/Penduduk New York