KH Choirul Wahyudi, Pencipta “Budidaya Lele ala Pesantren”: Lebih Higienis, Segar, dan Menyehatkan

oleh

Adalah KH Choirul Wahyudi, kiai mudah yang berjiwa entrepreneur. Rumahnya masih di lingkungan perkotaan kota Mojokerto, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Banjaragung, Kecamatan Puri, Kota Mojokerto. Di daerah sekitarnya Sang Kiai dijuluki Pencipta Budidaya lele ala pesantren.

Laporan Moch. Nuruddin

DI kiri kanan rumahnya, masih banyak kebun dengan pepohonan beraneka ragam. Terkesan asri pedesaan.Di depan rumah samping kiri, ada bangunan semi permanen, tempat menumpuk gas LPG 3 kg-an, dan garasi mobil pikap. Tak ada tulisan sebagai agen gas LPG, namun tampaknya masyarakat lingkungan seputar desa Banjaragung sudah mengetahuinya.Sementara di ruang tamu, di tembok yang menghadap ke pintu, dipasang banner warna orange, berlogo dan bertuliskan Agen Resmi: PT Pos Indonesia.

Selain untuk melayani para santrinya, juga masyarakat sekitar. 

Di belakang rumahnya, ada bangunan pondok pesantren dua lantai, letter L, yang dibagi beberapa ruang kamar, untuk para santrinya. Mereka sekolahnya di sebuah Madrasah Tsanawiyah (setingkat SLTP), yang jaraknya sekitar 300 meter dari pondok. 

Di dekat madrasah itu, kolam-kolam ikan lele Kiai Choirul, berada. 

Siang itu, pertengahan November 2021, penulis dengan ramah diterima Kiai Choirul dengan tangan terbuka. Meski para santri di pondok pesantrennya sedang libur, namun orang berdatangan, silih berganti. Ada yang membeli gas LPG, ada yang kirim paket dokumen, dan ada yang mengambil pesanan abon lele.

Transaksi, yang kebanyakan para tetangga tersebut, berlangsung gayeng dan penuh keceriaan, ya mereka saling mengenal. Tawa dan senyum selalu tersungging menyambut pelanggan-pelanggan tersebut. 

Penulis pun, akhirnya harus bisa menerima, wawancara disela-sela kesibukan KH Choirul, Bu Nyai Hj. Nurul (istrinya) dan beberapa pegawainya, melayani para pelanggan. 

“Ya usaha-usaha inilah yang membuat kami sekeluarga selalu tersenyum dan bersyukur. Betapa tidak, kami dapat memenuhi kebutuhan keluarga tanpa harus terlalu susah seperti orang kebanyakan. Bahkan di musim pandemi melanda,” kata Kiai Choirul memulai pembicaraan.

Tak hanya keluarga Kiai Choirul yang tersenyum, namun juga para pembudidaya lainnya, para pengepul hingga para konsumen lele, juga banyak menebar senyum. 

Kok bisa ? Apa ikan lelenya memiliki keistimewaan ? 

Jawabnya, ya …! Berikut penjelasan Kiai Choirul, kepada penulis. 

Budidaya Lele

Semakin populernya kuliner penyetan asal Kabupaten Lamongan, Jawa Timur di seluruh Nusantara saat ini, semakin meningkat kebutuhan ikan lele di pasaran. Maka semakin banyak pembudidaya ikan lele bermunculan. Dampaknya, tingkat kompetisi diantara pembudidaya, pengepul, hingga pedagang eceran, membuat harga ikan lele menjadi ikut kompetitif. Keuntungan diantara pelaku tata niaga lele pun, semakin menipis.

Namun, KH Choirul Wahyudi, tetap mencoba keberuntungan dengan membudidayakan ikan lele pada tahun 2012, tentunya dengan teknik budidaya konvensional.  Alasannya, karena masyarakat di desanya, sudah banyak yang ber-budidaya ikan air tawar, termasuk lele. Sehingga tenaga kerja, serta jaringan pasar, telah siap. 

Setelah tiga tahun berjalan, tepatnya pada tahun 2015, Kiai Choirul mendapatkan informasi bahwa perusahaan multinasional Astra memiliki program CSR (Corporate social responsibility / kepedulian sosial perusahaan), dan siap mendukung para UKM (Usaha Kecil – Menengah). Maka dengan penuh semangat, Kiai Choirul mendaftarkan diri. Setelah melalui proses dan seleksi, ia lolos dan mendapatkan kesempatan dari Astra. Ia pun mendapat pelatihan wirausaha dan dukungan modal sebesar kurang lebih Rp 215 juta-an yang diturunkan dalam 2 tahap. 

Dari jumlah tersebut, diinvestasikan untuk asset kolam, sebesar Rp 100 jutaan. Mendapat 10 kolam lele, model terpal bulat, dengan diameter 4 meter-an. Sedang sisanya untuk membeli bibit dan pakan, serta fasilitas lainnya.

Masing-masing kolam yang berdiri di atas lahan sewa tersebut, sama Kiai Choirul diserahkan pada dua orang penanggung jawab. Dan masing-masing kolam, diisi antara 5 ribu hingga 8 ribu bibit. “Belum berani banyak, jadi yang standar segitu dulu,” kata Kiai Choirul.

“Meski teman-teman sudah biasa budidaya ikan air tawar, termasuk lele, namun masih terjadi kesalahan manusiawi (human error), hingga modal berjalannya hampir ludes,” kenang Kiai Choirul. “Ibaratnya, modal Rp 20 juta, jadi uang hanya Rp 12 juta-an saja,” katanya lagi. “Maklum, style budidaya konvensional, seringkali masih masuk,” sambungnya.

Akibat kerugian tersebut, ia pun dipanggil oleh Tim CSR Astra Jakarta. Setelah dilakukan tanya jawab apa kendala dan permasalahannya, akhirnya Kiai Choirul disarankan untuk mengikuti diklat atau magang ke pembudidaya lele di Bandung yang sudah berhasil. 

“Waktu itu, di Bandung lagi trend budidaya lele jenis Sangkuriang,” katanya.

Setelah digembleng beberapa bulan oleh pembudidaya Bandung, Kiai Choirul pulang dengan memiliki semangat yang tinggi untuk Kembali berbudidaya lele di kampungnya.

Ala Pesantren

Berbekal ilmu baru, akhirnya dilakukan perubahan system. Dari sistem budidaya konvensional, menjadi budidaya modern ala pesantren. Yakni setiap tindakan budidaya harus ada dasar ilmiahnya, intensif, bersih dan penuh kasih sayang (memahami perilaku dan karakter lele). 

Pertama, Kiai Choirul membuang ‘asumsi’ bahwa keuntungan berternak lele / ikan, terletak pada kepandaian mencari makanan yang murah namun berprotein tinggi. Toh lele kategori ikan pemakan segala.

Asumsi ini membuat para pembudidaya ikan lele selama ini memiliki ‘kebiasaan’ berlomba mencari pakan limbah yang dinilai kandungan protein (baik hewani mau pun nabati) cukup tinggi. Seperti ayam tiren (mati kemarin/bangkai), limbah jeroan hewan, dede (darah sapi yang disembelih), telur busuk, dan lain sebagainya. Termasuk limbah sayur-sayuran dari pasar.

Menurut Kiai Choirul, makanan limbah tersebut meski berprotein tinggi, lele juga mau memakannya, namun kurang higienis. Bahkan untuk ayam tiren, telur busuk, dan darah hewan, di Islam hukumnya haram. 

Dan kalau pun dimakan lele, selanjutnya lele tersebut dikonsumsi manusia, maka dalam jangka menengah – panjang, akan menimbulkan masalah pada kesehatan manusia yang mengkonsumsi lele tersebut.

Akhirnya semua makanan dia ganti dengan makanan poor /konsentrat (produksi pabrik). Dimana komposisi nutrisinya, telah disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan lele. 

Kedua, digunakan nitrobacter. Sehingga, air kolam menjadi berwarna kehijau-hijauan (muncul ganggang & lumut hijau). 

Fungsi nitrobacter adalah, untuk mengurangi peningkatan senyawa ammonia dan nitrit di perairan, sehingga dapat menghasilkan kandungan nitrat yang tinggi, untuk diserap akar tanaman, seperti ganggang dan lumut. Juga menciptakan PH air menjadi seimbang, hingga ikan tumbuh dengan optimal. Nitrobacter yang seimbang, juga mampu mengurangi stress pada ikan lele.

Ketiga, kalau di pondok pesantren, para pengasuh, ustad dan santri, terbiasa ibadah puasa sunah hari Senin dan Kamis (2 hari dalam seminggu), maka lele peliharaan Kiai Choirul, juga di wajibkan puasa sehari penuh (24 jam), yakni pada hari Minggu. Bahkan, dalam kondisi tertentu, manakala kandungan air kolam nitrobacter-nya banyak, lele bisa puasa 2-3 hari.

Dalam hal ini, Kiai Choirul menjelaskan. Ketika lele tidak diberi makan (diistilahkan berpuasa) sehari penuh (24 jam), sebenarnya lele akan memakan ganggang atau lumut.

Kelima, tidak lupa Kiai Choirul melakukan do’a bersama dengan para santrinya agar selalu mendapatkan perlindungan dari segala macam penyakit, dan keberkahan dari Allah SWT. Dan bila saat panen, tak lupa Kiai Choirul juga mengeluarkan sebagian keuntungannya untuk disedekahkan. 

“Hal ini penting, karena sektor pertanian, baik tanaman maupun perikanan, hasilnya selain berdasarkan teknik budidaya yang benar, faktor cuaca, juga keberkahan dari Allah SWT,” katanya sambal bertaushiyah. 

“Nah pola ini saya sebut dengan ‘budidaya lele ala pesantren’. Sehingga menghasilkan lele yang higienis, segar, halal dan  berkah,” tegas Kiai Choirul.

Dengan berkurangnya pemberian pakan, berkurangnya tingkat kematian  ikan lele, keuntungan pun mulai bertambah. Teman-teman pembudidaya lainnya bilang, dengan hanya  memberi makan poor, sama artinya bunuh diri karena merugi. Ditambah lagi, Tim CSR Astra memberi tantangan, agar secara bisnis dapat mencapai titik zero (tidak rugi dan tidak untung).

“Dengan budidaya ala pesantren, kekhawatiran teman-teman menjadi tak berlaku. Sementara tantangan dari Tim CSR Astra saya sanggupi. Bahkan, setelah tercapai titik zero, titik ini saya buat titik kebangkitan,” kata Kiai Choirul mantap.

Dan betul, sejak itu, mulai ada keuntungan, dari setiap musim panen, semakin meningkat. “Saya pelajari terus perilaku ikan lele dengan seksama, lalu saya lakukan efisiensi,” jelasnya.

Namun masalah baru timbul. Manakala harga pakan pabrikan naik sedikit, keuntungan menjadi menipis atau bahkan tidak ada. Demikian dengan komposisi nitrobacter pabrikan, aturan pakai yang tertera di botol, seringkali hasilnya tidak sesuai dengan harapan. 

Dari masalah tersebut, Kiai Choirul akhirnya mendapatkan ide, yakni membeli pakan pabrikan yang afkiran atau juga yang kadaluwarsa. Sehingga mendapatkan harga murah. Setelah itu, dia fregmentasi (salah satunya berfungsi untuk membunuh jasad renik, bakteri dan jamur yang ada). Hasilnya, lele tidak bermasalah. Tidak kembung, sakit cacar, atau sakit belang. Maka satu masalah terselesaikan.

Bahkan berikutnya, Kiai Choirul berhasil bekerjasama dengan pabrikan pakan ikan lain (merek Bima). Dari sini ia mendapatkan pakan baru, dengan harga relative murah. 

Untuk nitrobacter, Allah SWT mempertemukan Kiai Choirul dengan seorang peternak lele dari Malang, Pak Heri namanya. Setelah diskusi panjang lebar, dan uji coba beberapa bulan, akhirnya ditemukanlah formula baru, nitrobacter yang komposisinya terukur. Setelah merasa menguasai teknik budidaya lele ala pesantren, kini Kiai Choirul menapak lebih berani. Yakni dengan menambah isi ikan lele dari 5.000 – 8.000 bibit lele per kolam, menjadi dua kali lipat hingga 10.000 – 16.000 bibit per kolam. Dan berhasil. 

“InsyaAllah ke depan, saya akan mencoba lagi, 20.000 per kolam,” katanya mantap. Tentunya dengan penyesuaian, volume air, jumlah pakan, jumlah nitrobacter per kolamnya, dan pola budidayanya. 

Selain melayani penjualan untuk konsumsi (lele ukuran 10-12 ekor / kg), Kiai Choirul juga  membudidayakan lele dengan ukuran besar, yakni (size) 6-8 ekor/kg, 4-7 ekor/kg dan 2-3 ekor/kg dengan catatan, tanpa merubah rasa dagingnya. 

Karena biasanya, semakin besar lele, maka rasa dagingnya semakin hambar (sepoh – Bhs Jawa). 

Ini dilakukan Kiai Choirul, karena hasil panen ikan lele, diperuntukkan untuk dua kebutuhan. Pertama untuk dijual ke pasaran langsung, kedua untuk diproses menjadi falet atau abon.

“Kalau mem-falet ikan ukuran kecil, tangan bisa luka semua terkena duri. Kalau mem-falet lele besar, tangan dan jemari nggak akan luka,” jelas Kiai Choirul. Untuk itulah, ia membudidayakan ikan lele dengan ukuran besar.

Untuk ikan lele yang diproses sendiri, hampir tidak ada bagian yang terbuang. Karena dagingnya bisa dijual dalam bentuk falet, atau dibuat abon lele. Kulitnya bisa untuk kerupuk rambak, durinya bisa untuk abon duri (banyak mengandung kalsium), dan kepalanya untuk bahan utama kecap. 

Namun untuk yang terakhir, kepalanya, Kiai Choirul belum bisa memproses sendiri menjadi kecap, maka kepalanya dihancurkan, dan dijadikan pakan lele lagi. Sedang untuk daging, kulit dan duri, sudah diproses sendiri. Hasilnya, dikemas dalam puck, dan diberi label “Abon Yuk Kaji.”

Berbagi Senyum

Dari upayanya yang gigih tanpa putus asa, dan berkat motivasi dan kesabaran dari Tim Astra dalam membimbingnya, Kiai Choirul mulai memanen hasil. “Terus terang, bangunan dua lantai dengan beberapa ruangan kelas, di belakang rumah itu, kami bangun dari hasil budidaya ikan lele, secara bertahap,” aku Kiai Choirul sambal menunjukkan bangunan di belakang rumah, yang dipakai untuk santri-santrinya belajar.

Bahkan, berkat pamornya sebagai pembudidaya lele dan pengasuh Pondok Pesantren, ia juga bisa membuka agen elpiji dan agen Pos Indonesia.Tak hanya dari hasil penjualan lele, namun teman-teman seprofesi, juga banyak yang membeli pakan serta nitrobacter dari dia. 

“Saya terbuka dengan teman-teman soal teknik budidaya lele ala pesantren. Saya dapat modal, ilmu, dan motivasi dari Astra, maka saya pun selalu mengatakan pada teman-teman, bahwa ini ilmu dari Astra. Dan akan saya tularkan, agar teman-teman bisa berhasil dan tersenyum seperti saya,” katanya tulus.Bukankah nanti setelah diajari dan berhasil, mereka bisa menjadi kompetitor Pak Kiai ? 

“Ya nggak apa-apa. Toh rezeqi sudah ada yang mengatur. Tapi yang pasti, teknik budidaya lele sistem pesantren ini, harus disosialisasikan. Sehingga lele yang beredar di masyarakat adalah lele yang segar, sehat, berkah dan halal,” jawabnya enteng.

Ia juga mengingatkan, mengamalkan ilmu pada sesama, sama pentingnya dengan mengejar keuntungan. “Yang satu keuntungan di dunia, yang satu keuntungan di akherat nanti,” jelasnya. Tak kurang dari 40-an teman dan mitra usaha dari umum dan pesantren yang telah menerima sosialisasi budidaya lele ala pesantren dari Kiai Choirul.

Efek sampingnya, sebagian dari ke 40 pembudidaya tersebut, akhirnya membeli pakan dan nitrobacter pada Kiai Choirul. “Saya nggak mensyaratkan, harus beli ke saya. Bebas saja, cuma mereka merasa lebih mantap beli ke saya, karena sudah melihat bukti hasil panennya,” jelas Kiai Choirul.

Terapi Kesembuhan 

Dari sisi tampilan, lele hasil budidaya ala pesantren, dengan hasil budidaya konvensional, bila dicermati, memang lelenya lebih bersih hasil budidaya ala pesantren. Namun harga jualnya pun, sedikit lebih mahal.

Dari segi rasa, lebih ber-asa hasil budidaya ala pesantren. Kelebihan ini, bertular dari mulut ke mulut.

Dan yang ‘di luar dugaan’ Kiai Choirul, banyak masyarakat yang menggunakan produknya sebagai terapi penyembuhan. Misalnya, makan lele produk Kiai Choirul, baik lele segar, lele falet atau lele abon daging, dapat untuk meningkatkan selera makan. Terutama pada anak-anak yang sulit makan. 

Sedang untuk abon duri, dipakai masyarakat untuk menambah volume kalsium tulang. Khususnya orang tua yang mengalami ostheoporosis (pengeroposan tulang).   Untuk kulit rambak ikan lele, Kiai Choirul mengatakan, belum mendengar dipakai untuk terapi apa.

“Kayaknya belum, hanya untuk terapi orang yang pingin camilan,” katanya sambal tertawa lepas.

Namun yang paling mengagetkan, saat pendemi Covid ’19 kemarin, masyarakat Mojokerto banyak yang menggunakan ikan lele Kiai Choirul untuk terapi penyembuhan Covid ’19. 

Bagaimana penjelasan ilmiahnya ? “Saya sendiri tidak tahu mas. Baik penjelasan dari kacamata medis kesehatan, maupun dari non medis. Mungkin, ikan lele ala pesantren ini, karena higienis dan nutrisinya imbang, maka mampu meningkatkan selera makan manusia. Sehingga pasien menjadi banyak makan, sehingga daya tahan tubuhnya menjadi meningkat, lebih kuat dibanding virus Corona. Tapi itu hanya perkiraan saya lho. Belum ada hasil uji laborat yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Kiai Choiri.

Apa karena dido’ain kiai ? Kiai Choiri hanya tersenyum. “Ya tiap hari kita selalu berdo’a untuk kemaslahatam keluarga, tetangga, ummat dan negeri tercinta ini,” kata kiai.

Bahkan, ada beberapa petugas medis puskesmas atau rumah sakit, yang berdatangan membeli ikan lele. “Saya coba, harga saya naikkan sedikit. Lha .. kok ya tetap dibeli. Berarti apa ada khasiat beneran atau sekedar sugesti, saya juga nggak tahu,” jelas Kiai Choirul.

Ibu Nur’aini, seorang pensiunan guru dari tetangga desanya, Desa Pekayun,  sempat diwawancarai penulis. Ia katakan, pesanan 25 pak abon lele Yuk Kaji, selain untuk stok kunsumsi rumah, juga untuk dikirim ke adiknya yang sedang mondok di sebuah pesantren di Jombang. 

“Rasanya sih nggak jauh beda dengan lele lainnya. Namun lebih hygiene dan menyehatkan. Adik saya selera makan jadi meningkat,” jawabnya. 

Terlepas dari itu, menurut Kiai Choirul, dengan dipakainya ikan lele-nya untuk terapi kesembuhan penyakit, dan ternyata sembuh karena langsung atau tidak langsung atau hanya sugesti, yang jelas, konsumennya tersenyum lega. 

Banting Stir

Namun manakala pendemi Covid ’19 yang menyerang hampir setahun (Maret – September 2019) kemarin, diakui Kiai Choirul, permintaan lele konsumsi dan abon lele, mengalami penurunan drastis. Tak hanya itu, para pengepul pun mengurangi pembelian. 

Selang berjalannya waktu, anggota Kiai Choirul, satu per satu protol dan mundur. Mereka, banting stir usaha, yang sekiranya masih bisa untuk bertahan. Ada yang banting stir budidaya ikan gurami, karena ada pasar yang menjamin pembeliannya. 

Bahkan ada yang berganti budidaya ikan koi dan ikan hias. Karena yang sehat warnanya baik, ada eksportir yang mau membeli. Dan banyak juga yang berganti usaha, tidak lagi berbudidaya ikan tawar, namun usaha lainnya, seperti jual bahan bangunan, usaha kuliner dan lain-lainnya.

“Dari kelompok teman-teman kami, hanya saya yang istiqomah pada ternak ikan lele. Karena kami yakin, setelah pendemi, kebutuhan ikan lele akan naik lagi,” kata Kiai Choirul, sambil mengatakan, sayang untuk meninggalkan ilmu budidaya ikan lele ala pesantren, yang ia dapatkan dengan penuh perjuangan selama ini.

“Sekarang pun, saya masih pelihara ikan lele, stok pakan masih saya siapkan hingga 3 ton. Ya semoga, setelah ini, kondisi pasar bisa pulih kembali.” Kata Kiai Choirul. 

Ia informasikan juga, pihak Astra juga membantu memasarkan melalui beberapa pusat perbelanjaan, yang menjual produk-produk hasil UMKM binaannya. Untuk di Jawa Timur, ada toko di Surabaya.

Tersenyumlah Semua

“Saya akan tebarkan senyuman bisa tersungging lagi di para mitra usaha, bahkan ke konsumen,” tekatnya. Tekat Kiai Choirul, tampaknya tak berlebihan. Karena hikmah dari budidaya ikan lele ala pesantren, ia dan keluarganya tersenyum, meski harus terjungkal-jungkal dulu sebelumnya. Dan manakala ‘Teknik Budidaya Ikan Lele ala Pesantren’ ia tularkan pada teman-teman dan mitra pembudidaya ikan lele lainnya hingga berhasil, maka mereka dan keluarganya juga ikut tersenyum, senang dan bahagia.

Termasuk para pengepul, pedagang dan pengecer ikan lele di pasar, juga puas.Tak berhenti di situ, para konsumen, baik yang memanfaatkan untuk terapi kesembuhan, mau yang untuk konsumsi biasa, juga puas dan senang. Karena tidak ada rasa was-was setelah mengkonsumsi lelenya Kiai Choirul, sebaliknya merasakan badan makin sehat.

Ya, rasa senang, tertawa, bahagia dan puas, oleh Kiai Choirul cukup diwakilkan dengan kata ‘tersenyum’.

Bahkan, bila berdasarkan website “Astra, Satu Indonesia”, (CSR) Astra sudah berhasil membina 133 Kampung Berseri Astra, 930 Desa Sejahtera Astra dan 397 penerima SATU Indonesia Awards (70 penerima tingkat nasional & 327 penerima tingkat provinsi) yang tersebar di seluruh Indonesia. Atau semua berjumlah 1.460. 

Nah, dari 1.460 UMKM binaan Astra itu, adalah UMKM dan orang-orang pilihan, yang mampu menebar senyuman, di lingkungannya, dan ke-seantero Nusantara. 

Maka tak berlebihan dengan kalimat terakhir KH Choirul Wahyudi yang terkesan promosi, namun ber-fakta, “Bersama Astra, Indonesiaku akan tersenyum terus…” (*)

Keterangan Foto:

KH Choirul Wahyudi, sang pencipta “Budidaya Lele ala Pesantren” sedang mengontrol volume air dan kandungan Nitrobacter kolam lelenya. (Foto: Moch. Nuruddin)

No More Posts Available.

No more pages to load.