SURABAYA | DutaIndonesia.com – Selama masih memakai baju politik identitas, rasanya sulit Islam di Indonesia ini bersatu. Hal ini disebabkan politik identitas menyebabkan umat islam “terpecah-pecah”. Karena itu, politik identitas tersebut harus dijauhkan baru Islam di Indonesia bisa bersatu.
“Saya kira kalau ingin Islam di Indonesia bersatu, hilangkanlah politik identitas,” kata Prof Dr KH Said Aqil Siroj, MA, mantan Ketua Umum PBNU, kepada Global News, ketika melakukan silaturrahim dengan jajaran pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia (YHMCHI), Yayasan Pendidikan Cheng Hoo Indonesia (YPCHI) serta tamu lainnya di Hotel Paragon, Surabaya, Selasa (5/3/2024) siang.
Hadir dalam acara tersebut sesepuh Cheng Hoo Surabaya H Djoko Widjaja, Ketua Umum YHMCHI H.A. Nurawi, Ketua Pelaksana Harian YHMCHI Ustadz Hasan Basri, Humas PITI Surabaya Bapak Yen. Selain itu juga hadir Siti Fatimah Sukri Ketua YPCHI serta undangan lainnya.
Lalu Kiai Said Aqil mengatakan, seharus kita ini bisa mencontoh Cheng Hoo Surabaya. Di mana semua golongan ada di situ. Bahkan, agama di luar Islam pun di Cheng Hoo bisa menyatu. “Inilah yang kita harapkan. Semua menyatu untuk sebuah kebaikan. Semuanya menyatu untuk persatuan dan kesatuan,” kata Kiai Said Aqil Siroj.
Politik identitas selalu muncul di perhelatan Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, maupun Pilkada. Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria mengungkap politik identitas dan hoaks selama masa kampanye Pemilu 2024 menurun. Karena itu, Pemilu 2024 dinilai berlangsung aman lancar dan damai.
“Meskipun tak sepenuhnya menghilang, namun kita juga mencermati ada penurunan pemakaian politik identitas. Dan kita apresiasi hal itu,” kata Nezar. “Masyarakat kita juga semakin dewasa dengan pengalaman Pemilu dua kali dan Pilpres sebelumnya,” katanya.
Politik identitas sempat memuncak saat Pilkada DKI 2017, terutama imbas kasus penodaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, untuk kemudian tetap kuat di Pemilu 2019 hingga membagi dua masyarakat alias terpolarisasi. Media sosial, lanjut Nezar, secara masif memungkinkan penyebaran hoaks berlangsung dengan sangat cepat. Ia menduga hoaks mempengaruhi persepsi masyarakat dalam kontestasi politik yang masih berlangsung sekarang.
“Kita bersyukur kali ini kelihatannya politik identitas tidak lagi menjadi wacana dominan dalam perbincangan-perbincangan atau persaingan-persaingan di tengah pilpres ataupun pileg kali ini,” tuturnya.
Nezar menilai saat ini masyarakat sudah banyak yang memetik pelajaran. Menurutnya perbedaan pilihan politik merupakan sesuatu yang wajar dalam iklim demokrasi. Sejak 1 Juli 2023 hingga 24 Januari 2024, Kominfo telah mengidentifikasi sebanyak 195 temuan isu hoaks terkait pemilu yang tersebar pada 2.825 konten. Dari jumlah tersebut, 1.546 konten telah ditindaklanjuti. “Sedangkan sisanya masih dalam proses,” katanya.
Walau ada kecenderungan menurun, Nezar mewanti-wanti agar semua pihak mewaspadai narasi hoaks yang mengarah ke black campaign dengan menggunakan berbagai macam medium. Salah satunya penggunaan kecerdasan buatan (AI) yang memungkinkan pembuatan dan penyebaran konten hoaks lebih mudah dan cepat.
“Dulu (Pemilu 2019) ada beberapa hoaks menggunakan AI, tetapi waktu itu masih mudah dikenali. Sekarang, jauh lebih smooth karena generative AI yang mampu menghasilkan teks juga suara serta gambar sangat coherence, smooth, sehingga kita agak sulit membedakan dengan yang asli,” jelas dia.
Nezar berujar pemanfaatan AI untuk pembuatan dan penyebaran hoaks di Indonesia masih relatif baru. Kendati begitu, menurut Nezar pemanfaatan teknologi AI seperti deepfake juga patut diwaspadai pada pemilu kali ini. “Pemanfaatan AI seperti deepfake untuk pembuatan konten hoaks menjadi salah satu hal yang perlu diantisipasi dan ditanggulangi bersama,” ucap dia.
Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo menilai gesekan yang terjadi karena politik identitas selama pemilu 2024 bisa diminimalisir. Menurutnya, pemilu kali ini berjalan damai dan menyenangkan.
“Saya kira residu atau perpecahan akibat perbedaan dan politik identitas pada pesta demokrasi kali ini sangat kecil. Pada tahun ini saya lihat baik-baik saja, tidak ada yang signifikan dalam menggunakan identitas keagamaan,” ungkapnya saat menjawab pertanyaan wartawan pada media gathering Balitbangdiklat di Jakarta, seperti dikutip dari laman kemenag.go.id, Rabu (6/3/2024).
Menurut Wibowo, konsep moderasi beragama sudah menyatu dengan masyarakat Indonesia. Masyarakat dinilai sudah semakin dewasa. Sehingga imbauan yang telah disampaikan Menteri Agama terkait tidak menggunakan politik identitas pada pesta demokrasi kali ini sampai pada masyarakat.
Ia mencontohkan, bahwa Menag juga mengeluarkan surat edaran terkait khatib Jumat yang diimbau untuk menyebarkan pesan-pesan kedamaian menjelang pemilu. “Itu salah satunya dari Bimas Islam, bimas-bimas yang lain juga melakukan hal yang sama guna menjaga kedamaian saat pemilu,” kata Wibowo.
“Imbauan yang disampaikan Pak Mentari saya rasa mengena di masyarakat. Buktinya tidak ada satu pun yang perlu dikhawatirkan, dan saya rasa semuanya masih dalam batas normal,” ungkapnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Amien Suyitno. Ia mengatakan bahwa sejak 2022 Menag sudah mengimbau kepada seluruh jajarannya agar bersuara tunggal melawan politik identitas.
“Akhirnya kita membuat outlook yang salah satunya adalah bagaimana menekan politik identitas dengan program yang beringan dengan apa yang sudah dilakukan Balitbang Diklat. Suka tidak suka terbukti, tahun 2024 nyaris tidak ada satu pun politik identitas. Artinya, gerakan Gus Men itu berdampak terhadap suasana pemilu 2024. Kondisi ini jauh berbeda dengan 2019. Saya yakin ada korelasinya kebijakan Menteri dengan suasana 2024 dan kegiatan moderasi beragama yang sedang terjadi,” ujarnya. * fan