Oleh Imam Shamsi Ali*
JUMAT 21 April disepakati oleh Komunitas Muslim Amerika sebagai hari Idul Fitri. Baik yang memakai madzhab ra’yi, lokal atau global, maupun yang memilih madzhab hisab atau kalkulasi sepakat bahwa hari itu adalah awal dari bulan Syawal. Sekaligus dipahami bahwa sehari sebelumnya adalah hari terakhir Ramadhan. Maka hari itu (Jumat) adalah hari perayaan Idul Fitri.
Sebagaimana penentuan awal Ramadhan, penentuan akhir Ramadhan juga masih menjadi objek perdebatan. Tapi kali ini tampaknya perdebatan itu hampir tidak ada. Seingat saya tidak satu pun Komunitas (masjid) di Amerika yang melakukan Idul Fitri pada hari selain Jumat.
Tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan kali ini. Justru karena ini adalah catatan terakhir dari Ramadhan tahun ini saya ingin menyampaikan beberapa kesimpulan penting dari “lessons learnt from Ramadhan” (duruus Ramadhoniyah) yang telah berlangsung selama 29 hari itu. Saya menyebutnya pelajaran karena sejatinya Ramadhan adalah madrasah totalitàs bagi kita semua. Madrasah fisikal-material, madrasah intellectual, dan yang terpenting adalah madrasah spiritualitas dan khuluqiuah.
Pelajaran-pelajaran ini sekaligus menjadi poin-poin utama yang telah saya sampaikan pada khutbah Idul Fitri di daerah Jamaica Queens, New York. Menurut catatan sebagian kalangan, Idul Fitri Jamaica merupakan salah satu Idul Fitri terbesar di kota dunia ini. Sekitar 15.000 jamaah berkumpul di lapangan Sekolah Thomas Edison pagi itu.
7 Pelajaran Ramadhan
Ada tujuh pelajaran penting yang saya sampaikan di khutbah Idul Fitri itu sebagai kesimpulan dari hasil madrasah Ramadhoniyah kali ini.
Pertama, bahwa Ramadhan telah menjadi bulan keimanan (syahrul iman). Relasi antara puasa dan iman telah kita sampaikan beberapa waktu lalu. Yang ingin saya tekankan kali ini adalah bahwa dengan puasa Ramadhan harusnya kita mampu mentransformasi keimanan kita dari keimanan yang “pasif” menjadi keimanan yang “aktif”. Keimanan yang sekedar kuat di “rasa dan emosi” menjadi keimanan yang solid membangun realita hidup.
Keimanan yang aktif itulah yang akan melahirkan berbagai karya (inovasi) kehidupan dalam berbagai bentuk dan pada segala levelnya. Baik pada aspek ritual ubudiyah maupun pada aspek mu’amalat sosial. Baik pada tingkatan personal maupun pada tingakatan kolektif (publik).
Salah satu makna keimanan yang aktif adalah kemampuan membangun rasa percaya diri (self trust) yang tinggi dalam menghadapi segala bentuk hiruk pikuk dan pergerakan kehidupan. Percaya diri seorang Muslim bukan karena perasaan superman. Tapi karena memiliki pegangan yang sangat kuat dalam menjalani kehidupan. Itulah yang disebut dengan “al-‘urwatul Wutsqo” dalam Al-Qur’an.
Dengan self trust yang dimiliki oleh umat ini akan mengurangi rasa “inferioritas” (perasaan minder) yang menjadi penyebab terjadinya ketakutan kepada selain Allah (termasuk so called world powers). Sekaligus mendorong untuk melakukan pembenahan diri dari segala ketertinggalan yang dialami umat ini dalam waktu yang sangat panjang.
Kedua, bahwa bulan Ramadhan telah menjadi bulan hidayah (syahrul hidayah). Bulan diturunkannya Al-Qur’an untuk menjadi petunjuk bagi manusia (hudan linnaas). Dengan kenyataan ini tentu Ramadhan telah mentransformasi kehidupan kita dari kehidupan yang tidak jelas menjadi kehidupan yang jelas. Dari kehidupan yang tidak menentu (confusion) menjadi kehidupan yang menentu (certainty).
Hidayah yang menjadi dasar keimanan harusnya juga tertransformasi dari “hidayah pasif” dalam hati dan rasa (emosi dan sentimen), dari tingkatan pemahaman (akal atau ilmu) menjadi “hidayah aktif” yang membawa kita kepada langkah-langkah kehidupan yang jelas.
Seperti yang pernah disampaikan, dunia kita penuh dengan paradoks. Manusia merasa pintar dan berilmu tapi semakin jahil dan bodoh dalam sikap dan perilaku. Manusia memiliki posesi (kepemilikan) yang banyak. Tapi manusia justru semakin merasa khawatir dan kurang dalam hidupnya dari ke hari. Semakin banyak rumah sakit dan produksi obat-obatan. Semakin banyak pula orang yang sakit dan semakin ragam penyakit yang timbul. Demikian seterusnya.
Dengan situasi kehidupan manusia seperti inilah sejatinya hidayah hadir untuk mengarahkan kembali ke arah yang benar dan baik. Hidayah pada esensi ini dimaknai sebagai “direction of life”. Sehingga kehidupan manusia tidak saja jelas arahnya. Tapi juga memilki makna atau nilai yang tinggi. Nilai yang akan menjadi bekal kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketiga, bahwa bulan Ramadhan telah menjadi bulan Ihsan. Ramadhan mentransformasi hidup menusia dari hidup yang bertendensi egoistik menjadi hidup yang memiliki tendensi ihsan atau nilai-nilai kebaikan.
Ihsan adalah tingkatan tertinggi dari religiusitàs seseorang. Dari kesadaran Islam, terbangun iman, dan pada akhirnya tumbuh nilai ihsan dalam kehidupan.
Ihsan itu memiliki dua sisi. Ada sisi vertikal. Yaitu terbangunnya kesadaran bersama Allah dalam setiap detak pergerakan nadi (an ta’budallah kaanaka taraahu…). Lalu ada sisi horizontalnya. Yaitu kesadaran jiwa untuk melakukan dan menyebarkan kebaikan kepada sesama makhluk Allah SWT.
Ramadan telah mentransformasi manusia menjadi insan-insan ihsan. Baik pada tataran vertikal dengan hati dan jiwa yang semakin sensitif dengan “al-ma’iyah billah” (kebersamaan dengan Allah). Dan tentunya juga pada tataran horizontal dengan terbangunnya kesadaran untuk terus berbuat baik kepada semua makhluk Allah SWT .
Keempat, bahwa Ramadhan telah mentransformasi kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu manusia, dari hawa nafsu yang merusak (destructive desires) kepada hawa nafsu yang menjadi jalan kebaikan (constructive desires). Hawa nafsu sesungguhnya adalah bagian alami bahkan mendasar dari kehidupan. Tanpa hawa nafsu hidup manusia akan terhenti. Sayangnya seringkali hawa nafsu justru berbalik menjadi jalan keburukan dan kerusakan bagi manusia dan alam sekitarnya.
Ramadhan telah hadir mentransformasi keinginan-keinginan (hawa nafsu) manusia menjadi lebih terarah, jinak dan terkontrol. Sehingga manusia menjadi tuan dari hawa nafsunya. Bukan budak-budak hawa nafsu. Berbagai kerusakan baik di darat maupun di laut (dan di udara) disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang diperbudak oleh hawa nafsunya.
Kelima, bahwa Ramadan telah hadir mentransformasi karakter manusia. Karakter manusia itu lebih dikenal dalam agama dengan akhlak. Dengan akhlak ini religiusitas seseorang terukur. Ketinggian nilai akhlak manusia menjadikannya memilki ketinggian pula dalam beragama.
Karena itu karakter atau akhlak yang mulia seolah menjadi kesimpulan dari misi dakwah Rasulullah SAW: “sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan Akhlaq manusia”. Bahkan Allah menyampaikan pujian khusus dalam Al-Quran juga karena akhlaknya: “sesungguhnya engkau wahai Muhammad memiliki akhlak yang tinggi” (Al-Qalam).
Keenam, bahwa Ramadan telah mentransformasi kemanusiaan bersama kita (our common humanity). Kemanusiaan universal kita adalah pijakan bersama inilah yang menjadi pengikat dalam relasi, menembus segala sekat-sekat yang ada. Kemanusiaan bersama manusia (common humanity) menjadi pijakan terpenting dalam membangun koneksi antar manusia. Sebuah pijakan yang menjadi tuntutan, terlebih di saat manusia tersekat oleh sekatan-sekatan sempit, termasuk ras, suku, warga kulit, budaya dan seterusnya.
Ramadan mengajarkan bahwa kemanusiaan kita tidak pada eksistensi lahir dan fisik manusia. Tapi ada pada sisi spiritualitas manusia. Dan karenanya spiritualitas ini tidak dibatasi oleh apapun pada manusia. Siapapun dan apapun latar belakangnya dapat menjadi mulia dan terhormat. Karena esensi kemanusiaan itu sama pada semua manusia. Kesadaran kemanusiaan itulah sejatinya yang dikenal dengan ketakwaan. Dan ini pula yang menjadi kriteria kemuliaan dari seseorang, sekaligus menjadi tujuan terutama dari puasa Ramadan itu sendiri (la’allakum tattaquun).
Ketujuh, bahwa Ramadhan telah mentransformasi kehidupan Komunitas atau kehidupan jama’i kita. Dengan puasa Ramadan kita semakin tersadarkan bahwa kita hidup bukan sendirian. Kita adalah makhluk sosial yang selalu terikat dengan sesama manusia, bahkan dengan alam lainnya. Dengan puasa kita meminimalisir keegoan itu demi terbangunnya kesadaran sosial (jama’i).
Berbicara tentang komunitas tentu sangat luas cakupannya. Tapi minimal di bulan Ramadan ini kita tersadarkan oleh dua hal. Pertama, bahwa fondasi kehidupan jama’i kita ada pada keluarga kita. Dan karenanya semoga selama Ramadan kita telah merekonstruksi kembali hubungan kekeluargaan kita yang tercabik-cabik justru oleh kemajuan duniawi. Kemajuan teknologi khususnya di bidang media sosial menjadikan relasi antar manusia semakin berjarak, termasuk relasi antar anggota keluarga.
Kedua, khusus dalam konteks Muslim Amerika, Komunitas menjadi sangat krusial dalam upaya memerangi Islamophobia dan kebencian kepada Islam dan pemeluknya. Membangun Komunitas Muslim yang kuat dan profesional menjadi dasar terkuat dalam melakukan perubahan persepsi terhadap agama dan Umat di Amerika dan Barat secara umum.
Karenanya bulan Ramadan bukanlah sekedar bulan dengan ragam ibadah-ibadah fardi (individual). Tapi telah menjadi bulan dengan berbagai aktifitas sosial (kolektif) yang membangun kesadaran jama’i Komunitas dan Umat.
Demikian tujuan poin yang saya simpulkan dan sampaikan pada khutbah Idul Fitri di kota New York sebagai rangkuman dari pelajaran-pelajaran (duruus) yang didapatkan dari madrasah Ramadhoniyah kali ini. Semoga bermanfaat dan memiliki nilai di sisi Allah SWT.
Terima kasih telah membaca tulisan-tulisan yang bersambung ini. Semoga Allah menerima dan memberkahi kita semua. Sampai ketemu lagi di bulan Ramadhan tahun depan, jika Allah menghendaki. Amiin! (*)
Manhattan City, 2 Mei 2023
- Presiden Nusantara Foundation