Menghadirkan Tatanan Dunia yang Adil

oleh

 

Oleh Shamsi Ali*

KEMBALI saya lanjutkan catatan-catatan mengenai pikiran-pikiran Capres Anies Baswedan dalam Foreign Affairs (urusan-urusan luar negeri) Yang disampaikan pada acara dialog capres di FPCI (Foreign Affairs Community of Indonesia). Bagi kami sebagai diaspora (warga bermukim di luar negeri) isu-isu luar negeri menjadi sangat menarik dan penting. Hal itu karena seringkali berkaitan langsung dengan eksistensi kami di lapangan.

Kebijakan luar negeri pemerintah dan mindset negara dalam memandang urusan luar negeri tidak sekedar terkait dengan diplomasi yang diembang melalui Department Luar Negeri.

Tapi sesungguhnya akan banyak menentukan sikap dan cara pandang orang lain kepada negara dan warganya. Penghormatan (respek) yang diterima oleh warga Indonesia di luar negeri sedikit banyaknya akan terwarnai dengan bagaimana negara menyikapi kebijakan luar negerinya.

Satu hal yang kami rasakan selama ini adalah minimnya pemahaman orang luar akan potensi dan kebesaran Indonesia. Untuk kasus Amerika, umumnya masyarakat lebih mengenal kata “Bali“ ketimbang Indonesia. Apalagi jika dibandingkan pemahaman mereka tentang negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Philippine, bahkan Kamboja. Lebih khusus lagi, Singapura yang memang seolah menjadi perwakilan Barat di Asia Tenggara.

Hal ini kemudian berimbas kepada pengenalan tentang produk-produk
Indonesia di luar negeri. Ambillah sebagai misal Kulinari, budaya, dll. Bahkan ada kecenderungan memandang warga Indonesia dengan pandangan sebelah mata. Seolah warga Indonesia di luar negeri itu berkapasitas kurang dibandingkan dengan warga lainnya. Hal ini sering kami rasakan bahkan dalam hal keagamaan sekalipun. Seolah warga Indonesia kurang paham, bahkan kurang berkwalitas dalam beragama (Islam).

Dalam beberapa tulisan ke depan saya akan sedikit merincikan beberapa hal di atas. Kali ini yang ingin saya sampaikan adalah satu dari empat permasalahan utama dunia internasional saat ini yang perlu dipahami. Keempat hal inilah yang disampaikan secara umum dan singkat oleh Anies pada acara Dialog di FPCI pekan lalu. Kali ini yang ingin saya sampaikan adalah permasalahan pertama dunia global yang perlu dicermati. Yaitu terjadinya “power shifting” atau perubahan tatanan kekuatan dunia dari kekuatan tunggal (single power) menjadi kekuatan yang terbagi (multi-power).

Ada masa-masa di mana kekuatan dunia itu terbagi dua kepada dua kekuatan utama. Ada kekuatan Amerika dan sekutunya (mayoritas Eropa Barat) dan ada kekuatan Uni Soviet yang dikomandoi oleh Rusia ketika itu. Saat itu kita merasakan pertarungan dua kekuatan dunia yang lebih dikenal dengan “cold war” (perang dingin). Akibat dari perang dingin ini banyak menimbulkan tidak saja ketegangan di berbagai belahan dunia. Tapi letupan-letupan peperangan di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Mungkin salah satunya yang kita ingat adalah perang Afghanistan.

Setelah runtuhnya Uni Soviet dan pecah kembali menjadi negara-negara yang berdiri sendiri, bahkan satu negara pecah lagi menjadi beberapa negara (Yugoslavia misalnya) timbullah ketika itu apa yang disebut dengan negara super power tunggal. Amerika dan sekutunya menjadi kekuatan tunggal (single power) yang hampir mendominasi dan mendikte dunia. Sejak itu timbul pula apa yang disebut dengan “the new world order”. Amerika bernafsu menguasai sebanyak-banyaknya negara dunia. Bahkan timbul kecenderungan melalui lisan Bush Jr. untuk menjadikan dunia satu. Jika tidak tunduk pada keinginan Amerika dan sekutunya akan dianggap musuh dan diperangi (US vs THEM).

Dalam perjalanannya dunia kembali mengalami pergeseran. Kekuatan dunia tidak lagi terpusat pada satu kekuatan tunggal (Amerika & sekutunya). Tapi pelan-pelan kekuatan itu membagi diri menjadi beberapa pusat kekuatan dunia. Pada akhirnya terjadi perubahan yang Anies sebut dengan “shifting” dari Uni-Polar ke Multi-Polar”.

Situasi ini kemudian menimbulkan ketegangan-ketegangan yang lebih merata dan meluas. Pertarungan antara Amerika dan China di bidang ekonomi misalnya. Demikian juga antara Amerika dan Rusia di bidang militer dan politik global. Atau pada tataran kekuatan tengah juga terjadi persaingan antara India dan China, Jepang dan Korea. Demikian seterusnya. Bahkan timbul poros-poros tandingan kepada kekuatan tunggal, seperti ASEAN dan yang terakhir terbentuk BRICS.

Dalam situasi seperti ini di mana kekuatan dan persaingan dunia tidak lagi di Trans Atlantik, tapi bergeser ke Asia dan bagian dunia lainnya. Hal yang kemudian diperburuk dengan ancaman yang tidak lagi bersifat homogen dan “non conventional” (perang fisik). Tapi ancaman yang bersifat campuran (multi front) antara militer dan non militer, termasuk perang ekonomi, cyber, dll. Anies menyebutnya “grey threat” (ancaman yang abu-abu). Tidak perang tapi juga tidak damai.

Situasi tersebut menumbulkan distrust yang sangat tinggi di antara negara-negara dunia. Bahkan ada perasaan terancam yang menghantui semua negara. Akibatnya di saat negara yang seharusnya memikirkan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyatnya, banyak negara yang kemudian berlomba-lomba membeli senjata. Bahkan lebih buruk lagi keadaan dan karakter politik bangsa-bangsa dunia banyak diwarnai oleh perasaan terancam ini.

Mungkin itulah fenomena yang kita lihat secara dekat di Timur Tengah. Perasaan atau rasa terhantui oleh ancaman bahkan dari negara-negara tetangga dan Saudara (seiman atau se-ras dan etnis) sekalipun sangat dalam. Hal yang menjadikan pembangunan mereka diwarnai oleh perlombaan memperkuat alat-alat pertahanan. Walaupun diakui bahwa beberapa negara berhasil mengangkat perekonomianya untuk kemakmuran rakyat luas. Tapi perasaan terhantui oleh ancaman itu sangat nyata.

Dalam situasi dunia yang seperti ini yang perlu dipertanyakan adalah apa dan bagaimana Indonesia akan membawa diri ke depan. Peranan apa yang Indonesia akan mainkan sehingga situasi dunia yang “merasa terancam” dan memang sedang terancam dapat diminimalisir bahkan dinormalkan. Tentu semua ini merujuk kepada pesan UUD 45 yang mengharuskan Indonesia untuk ikut serta dalam menertibkan dan mendamaikan dunia.

Saya menilai pemahaman Anies tentang tatanan dunia global masa kini sangat jelas dan tepat. Dan karenanya seorang capres Anies telah memikirkan secara matang langkah-langkah kontributif Indonesia dalam gelanggang dunia ke depan. Permasalahan-permasalahan dunia sangat banyak (multi). Untuk Indonesia tentunya ada masalah-masalah dengan tetangga dekat, juga tetaggga jauh. Tapi juga Indonesia harus mampu bermain dalam menyelesaikan berbagai permasalahan global di manapun.

Dalam konteks kekuatan dunia ini, saya melihat akar permasalahannya ada pada sistem dunia yang tidak adil. Dan kanker ketidakadilan itu ada di tubuh PBB yang bernama DK (Dewan Keamanan). Di mana DK ini hanya beranggotakan 15 negara. 15 negara inilah yang bisa mengontrol dan menentukan dunia. Lebih tragis lagi karena dalam keanggotaan itu ada lima anggota disebut Anggota Tetap, yang punya hak penuh untuk meloloskan atau membatalkan sebuah kebijakan dunia.

Bisa dibayangkan dunia yang sekarang ini berjumlah 195 negara, 193 di antaranya resmi sebagai anggota PBB, tapi dikontrol oleh hanya 5 negara anggota tetap DK itu. Dan dari 5 negara itu, Amerikalah yang paling dominan. Karena hingga saat ini memang iuran terbesar ke PBB, sekitar 25 persen, masih dibayarkan oleh Amerika Serikat. Amerika bisa membangkrutkan PBB seperti yang pernah ingin dilakukan oleh Donald Trump.

Mungkin pertanyaan terpenting dari semua ini adalah akan bagaimana Indonesia memposisikan diri dan peranan apa yang akan dimainkan untuk menantang “sistem dunia” yang tidak adil itu. Saya yakin Anies yang mengusung keadilan pastinya telah memikirkan keadilan domestik Indonesia. Tapi juga memiliki ide-ide dan langkah-langkah untuk menghadirkan tatanan dunia yang lebih berkeadilan. Semoga! (*)

Manhattan, 5 Desember 2023

* Presiden Nusantara Foundation

No More Posts Available.

No more pages to load.