Oleh: Ulul Albab
(Ketua ICMI Orwil Jawa Timur)
PADA panggung politik nasional, spekulasi adalah makanan sehari-hari. Saat Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, sorotan tajam datang dari berbagai penjuru. Salah satu isu yang terus bergulir adalah anggapan bahwa Prabowo sekadar “boneka” dari Jokowi, presiden yang mendahuluinya. Narasi ini, meski kerap dibantah, tak henti-hentinya mengemuka, menuntut kajian yang lebih dalam, kritis, dan ilmiah.
Sebagai Ketua ICMI Jatim, saya memandang bahwa isu ini memerlukan pendekatan kritis yang tidak hanya mengedepankan analisis, tetapi juga memberikan solusi konstruktif untuk mengatasi dampaknya terhadap stabilitas politik dan kepercayaan publik.
Apa yang Melatarbelakangi Persepsi?
Isu ini tidak muncul dalam ruang hampa. Beberapa faktor kontekstual yang memengaruhi opini public, menurut saya kira-kira seperti ini:
Pertama; Faktor Komposisi Kabinet:
Kabinet Prabowo didominasi oleh loyalis Jokowi, dengan 75% di antaranya memiliki hubungan erat dengan pemerintahan sebelumnya. Bahkan, kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden memperkuat asumsi bahwa Jokowi tetap memiliki pengaruh besar dalam jalannya pemerintahan.
Kedua; Faktor Dinamika Partai Politik:
Jokowi, dalam masa akhir pemerintahannya, dikabarkan berusaha mengonsolidasikan kekuasaan politik melalui partai-partai besar. Upaya untuk mengambil alih kendali Golkar, misalnya, dianggap sebagai strategi memperkuat posisi politik di balik layar.
Ketiga; Faktor Budaya Politik Patrimonial:
Sistem politik Indonesia yang cenderung patrimonial, di mana hubungan personal dan patron-klien mendominasi, menjadi ladang subur bagi persepsi semacam ini. Dalam konteks ini, Prabowo dianggap sebagai penerus yang “dimandatkan” untuk melanjutkan visi Jokowi.
Siapa yang Diuntungkan?
Bagi saya, penting untuk menganalisis siapa yang diuntungkan oleh narasi ini.
Pertama, kelompok oposisi tentu memanfaatkan isu ini untuk melemahkan legitimasi Prabowo. Kedua, loyalis Jokowi juga mungkin mendukung persepsi ini untuk mempertahankan pengaruh mereka di pemerintahan.
Di tengah hiruk-pikuk ini, Prabowo berada dalam posisi sulit untuk membuktikan kemandirian politiknya.
Namun, yang lebih penting adalah bagaimana narasi ini memengaruhi masyarakat umum. Dalam konteks bangsa yang sedang menuju Indonesia Emas, polarisasi seperti ini hanya akan menjadi penghambat kemajuan bersama.
Mengapa Persepsi Ini Berbahaya?
Jika dibiarkan, narasi ini berpotensi merusak kredibilitas pemerintahan Prabowo. Dalam konteks demokrasi, persepsi publik adalah modal politik yang sangat penting. Apabila masyarakat percaya bahwa Prabowo hanyalah “perpanjangan tangan” Jokowi, hal ini dapat mengurangi kepercayaan terhadap kebijakan-kebijakan strategis yang diambil.
Saya juga melihat bahwa persepsi ini dapat menciptakan polarisasi lebih dalam di masyarakat. Pendukung Prabowo dan Jokowi akan terus terpecah, menghambat upaya rekonsiliasi nasional yang sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, diperlukan strategi komunikasi politik yang mengedepankan harmoni, bukan sekadar pembelaan diri.
Bagaimana Seharusnya Prabowo Bertindak?
Dalam menghadapi isu ini, Prabowo harus mengambil langkah strategis yang tidak hanya membuktikan kemandirian politiknya, tetapi juga merebut kembali narasi publik.
Berikut beberapa rekomendasi yang konstruktif dan solutif:
Pertama; Transparansi Kebijakan.
Mengedepankan transparansi dalam pengambilan keputusan adalah kunci. Prabowo perlu menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil berakar pada visi pribadinya, bukan titipan pihak lain. Transparansi ini juga harus mencakup penjelasan langsung kepada masyarakat tentang alasan di balik setiap keputusan strategis.
Kedua; Komunikasi Politik yang Tegas dan Santun.
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo harus menegaskan komitmennya terhadap kemandirian politik. Namun, cara penyampaiannya harus tetap santun dan bijak, menghormati warisan Jokowi tanpa terkesan tunduk.
ICMI siap menjadi mitra strategis dalam merancang narasi komunikasi yang berbasis nilai-nilai dan prinsip ke-Cendekiawan-an, ke-Islam-an, dan ke-Indonesia-an.
Ketiga; Reformasi Sistemik.
Untuk membedakan dirinya, Prabowo perlu melakukan reformasi yang signifikan, terutama dalam sistem politik dan ekonomi. Langkah-langkah yang berani, seperti penguatan desentralisasi dan pemberdayaan ekonomi lokal, akan menjadi bukti nyata dari independensinya.
Keempat; Manajemen Loyalis.
Memanfaatkan loyalis Jokowi dalam kabinet untuk tujuan bersama, tanpa kehilangan kontrol atas agenda besar pemerintahannya, adalah tantangan yang harus dikelola dengan cermat. Dalam hal ini, sinergi antara berbagai elemen bangsa harus terus dijaga tanpa kehilangan identitas politiknya.
Apa Makna Semua Ini?
Saya menilai bahwa kritik dan persepsi publik adalah bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Prabowo, sebagai pemimpin yang matang, memiliki kesempatan untuk mengubah tantangan ini menjadi peluang. Dengan mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan keberanian dalam menghadapi kritik, ia dapat membuktikan bahwa dirinya bukanlah “boneka” siapa pun.
Sejarah politik Indonesia telah mengajarkan kita bahwa pemimpin besar bukanlah mereka yang menghindari kritik, melainkan mereka yang mampu menjawabnya dengan tindakan nyata. Prabowo memiliki peluang untuk mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai pemimpin yang tidak hanya melanjutkan, tetapi juga melampaui warisan pendahulunya.
Sebagai penutup, bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang tulus melayani. Dalam setiap keputusan dan kebijakannya, Prabowo memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa ia berdiri di atas kepentingan bangsa, bukan individu. Itulah ujian sejati dari kepemimpinan yang berwibawa dan bermartabat. ICMI insyaalloh siap menjadi mitra dalam mengawal agenda-agenda besar ini demi Indonesia yang lebih baik. (*)