Oleh Imam Shamsi Ali*
ADA beberapa peristiwa global yang akhir-akhir cukup menarik perhatian kita. Selain perang Rusia vs Ukrain (baca NATO) yang masih terus berlangsung, juga isu tentang utang piutang (debt ceiling) di Amerika yang menjadi bahan “political pressure” di antara dua partai besar; Demokrat dan Republikan.
Kita juga mengikuti perhelatan akbar negara-negara besar (kaya) yang disebut G7 Group di Jepang. Indonesia dan beberapa negara “emerging economy” juga diundang hadir sebagai observer di acara yang bergengsi itu.
Tapi yang juga tidak kalah menarik untuk dibahas adalah pertemuan Liga Arab (Arab League) di Saudi Arabia dan untuk pertama kalinya kembali mengikut sertakan Presiden Basyar Al-Asad (Suriah) sejak negara itu diboikot oleh Saudi dan negara-negara anggota Liga Arab lainnya.
Tidak kalah menarik lainnya adalah tiba-tiba saja Raja Salman (Saudi Arabia) menyampaikan undangan kepada Presiden Raisi (Iran) untuk berkunjung ke negara Pelayan Dua Kota Suci Islam (Khadimul Haramain) itu. Undangan ini telah ditindaklanjuti dengan beberapa pertemuan tingkat pejabat tinggi dari kedua negara Muslim besar itu.
Diterimanya kembali Suriah atau Basyar Al-Asad untuk hadir di KTT Liga Arab maupun undangan Raja Salman ke Presiden Iran tentu cukup mengejutkan. Bahkan keterkejutan itu juga bercampur dengan kecurigaan-kecurigaan yang semoga saja tidak benar.
Madu atau Racun?
Pertemuan tingkat tinggi Liga Arab yang dihadiri oleh Basyar Al-Asad maupun rencana pertemuan antara Raja Salman atau MBS (Saudi Arabia) dan Presiden Raisi (Iran) tentu memberikan pesan positif. Bahwa semoga semua itu menjadi awal yang baik bagi Timur Tengah yang telah cukup lama berdarah-darah.
Suriah sendiri menjadi porak poranda akibat perang saudara yang melibatkan tangan-tangan luar. Tangan-tangan di sini yang tampak memang kekuatan Barat melawan rezim Basyar. Tapi ada “hidden hands” (kekuatan tersembunyi) di balik dari pertumpahan darah dan pembumihangusan kota-kota dan kampung-kampung di negara itu. Salah satu yang dicurigai dan memang nampaknya benar adalah kepentingan dominasi Saudi yang juga dikontrol oleh “invisibile power” (kekuatan yang tak nampak).
Dengan rekonsiliasi ini, khususnya antara Saudi dan Iran diharapkan menjadi titik balik untuk perdamaian dan penghentian pertumpahan darah dan pengrusakan negara-negara di Timur Tengah. Berbagai kekerasan dan pembunuhan di berbagai negara Timur Tengah, baik di Suriah, Irak dan tentunya yang paling nampak saat ini adalah perang saudara yang terjadi di Yaman. Di semua daerah konflik itu secara terbuka atau tersembunyi, langsung atau tidak langsung, diarahkan oleh dua kekuatan dominan Timur Tengah; Saudi Arabia dan Iran.
Sehingga harapan manisnya memang, dengan menormalnya hubungan Saudi dan Iran akan ikut serta menormalkan relasi antar kelompok-kelompok yang bertikai di berbagai belahan Timur Tengah. Jika ini terwujud, tentu akan memberikan ruang bagi masyarakat bawah, rakyat kecil, mereka yang paling banyak dikorbankan dengan konflik-konflik itu, untuk kembali bangkit dan hidup normal. Itulah yang kita sebut sebagai sisi madu dari rekonsiliasi ini.
Namun demikain, tidak dapat juga diragukan bahwa kemungkinan rekonsiliasi ini, baik antara Suriah dan Liga Arab maupun antara Iran dan tetangga-tetangganya khususnya Saudi Arabia, juga menyembunyikan sejumlah kecurigaan bahkan racun yang berbisa.
Disadari atau tidak, berbagai konflik di Timur Tengah bahkan dunia, melibatkan kekuatan yang saya sebut tadi “hidden power”. Karena namanya juga “hidden” (tersembunyi) tentu tidak etis kalau saya buka. Biarkanlah tersembunyi. Walau sesungguhnya seringkali menampakkan diri tanpa malu-malu.
Kekuatan yang tersembunyi inilah yang sebenarnya menggerakkan melalui “invisible hands” (tangan-tangan tersembunyi” semua geliat pergerakan dunia, baik yang putih (damai) maupun yang kelam (perang). Mereka merancang peperangan-peperangan dan sebaliknya perdamaian demi mempertahankan “status quo” dan dominasi globalnya.
Maka di balik dari semua yang indah dan manis mengenai rekonsiliasi antara Suriah dan Liga Arab maupun Iran dan Saudi Arabia, juga menyembunyikan ancaman dan racun yang mematikan. Rekonsiliasi ini bisa saja menjadi jalan bagi “hidden power” tadi untuk semakin memperlebar jalan menuju kepada apa yang diinginkan di Timur Tengah. Yaitu menancapkan kaki membangun dominasi globalnya.
Dan jangan terkejut, jika dalam waktu dekat Suriah bahkan Iran yang selama ini masih dianggap ancaman terbesar Israel, selain Turki, tiba-tiba membangun hubungan dekat dengan Israel. Apapun bentuk relasi itu. Boleh jadi hubungan ekonomi, budaya, penelitian dan keilmuan, bahkan mungkin saja hubungan diplomatik.
Kalau hal ini terjadi maka Saudi Arabia tidak lagi memiliki alasan untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Saat ini Saudi masih malu-malu kucing membuka hubungan diplomatik dengan negara penjajah Palestina itu. Salah satu pertimbangan penting adalah imej. Jika Saudi Arabia membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara Iran tidak, maka wajah Saudi Arabia akan tercoreng di mata dunia Islam. Sebaliknya Iran akan dilihat sebagai “hero” oleh masyarakat Muslim dunia.
Kesimpulannya rekonsiliasi Suriah/Iran dengan negara-negara tetangga dapat membawa madu. Tapi juga dapat membawa racun berbisa. Dan korban terbesar dari racun berbisa itu adalah saudara-saudara kita di Palestina, khususnya status Jerusalem dan Masjid al-Aqsa.
Racun rekonsiliasi ini juga dicurigai akan menjadi ancaman bagi Turki yang dianggap kekuatan besar di Timur Tengah. Walaupun Turki adalah anggota NATO dan telah membangun hubungan diplomatik dengan Israel, tetapi Turki di bawah kendali Erdogan adalah ancaman terhadap kekuatan tersembunyi (hidden power) tadi. Karenanya kalau Erdogan tidak bisa disingkirkan sacara paksa atau halus, akan ada manuver selanjutnya pasca rekonsiliasi Iran dan Saudi. Hope not! (*)
Manhattan City, 24 Mei 2023
* Presiden Nusantara Foundation