Sejarah Berdirinya PKB, Apa Peran PBNU?

oleh
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf

 

SURABAYA| DutaIndonesia.com – Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan menggelar Muktamar di Bali pada 24-25 Agustus 2024. Menjelang Muktamar, terjadi konflik antara PKB dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menilai PKB yang dipimpin Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sejak 2005 atau sudah sekitar 19 tahun telah melenceng dari tujuan awal pembentukan partai oleh NU. Gus Yahya juga menilai PKB di bawah Cak Imin seperti dipimpin oleh raja.

Konflik semakin menajam saat Gus yahya mengungkap adanya “Mandat Tebuireng” yang diklaim sebagai aspirasi dari para kiai PBNU. Intinya, salah satu mandat itu mendorong PBNU membenahi PKB.

Gus Yahya menegaskan tidak ingin mencampuri urusan PKB. Namun demikian, dia dan tim ingin meminta keterangan dari elite PKB soal adanya permintaan kiai membenahi PKB tersebut.

Namun Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin akan menolak hadir jika PBNU memanggilnya untuk menindaklanjuti “Mandat Tebuireng” terkait upaya pembenahan PKB.Hal ini dia katakan merespons pernyataan Gus Yahya yang ingin mengundang Cak Imin untuk menindaklanjuti “Mandat Tebuireng” untuk membenahi PKB.

Petinggi PKB memang menilai PKB tak ada urusan dengan PBNU sebab entitasnya berbeda. Keterkaitan PKB dengan NU adalah bersifat aspiratif, secara kultural dan sejarah. Karena itu Cak Imin menuding elite PBNU memiliki ambisi dan nafsu berkuasa sehingga telah meninggalkan karakter yang seharusnya dimiliki oleh PBNU.

Dia yang juga turut menyinggung masih berstatus sebagai warga NU dan Syuriyah di salah satu ranting NU, merasa sedih dengan kelakuan oknum yang membawa-bawa nama lembaga dan mengatasnamakan kiai. “Secara kelembagaan PBNU dan PKB tidak ada hubunganya,” kata dia.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ning Eem Marhamah Zulfa Hiz mengatakan, hubungan PKB dan PBNU adalah hubungan historis dan aspiratif. Sementara secara organisatoris benar-benar berbeda dan tidak saling terkait.

“PKB dan PBNU itu keduanya diatur dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) masing-masing yang tidak saling berhubungan. Jadi, PBNU tak punya legal standing untuk mengintervensi PKB,” kata Neng Eem dalam Diskusi Mingguan MPR bertajuk UU Ormas dan UU Parpol, Bisakah Saling Mengintervensi? di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/8/2024).

PBNU Banjir Usulan Parpol

Lalu apa benar PBNU tak ada hubungannya dengan PKB? Ya, memang bisa dilihat dari sejarah berdirinya PKB. Dikutip dari kompas.com, usai Presiden Soeharto lengser dari jabatannya pada 21 Mei 1998, lahirlah era baru yang disebut Reformasi. Ketika era baru Indonesia dimulai, ada salah satu partai politik yang lahir, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB didirikan pada 23 Juli 1998 oleh para kiai dari Nahdlatul Ulama (NU), seperti KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruchiyat, KH Abdurrahman Wahid, KH Mustofa Bisri, dan KH A. Muchith Muzadi.

Setelah era Orde Baru berakhir, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok Tanah Air. Ada yang mengusulkan agar PBNU membentuk partai politik (parpol), mengusulkan nama parpol, lambang, hingga nama-nama pengurusnya.

Tercatat, terdapat sekitar 39 usulan nama parpol, termasuk Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat, dan Kebangkitan Bangsa. PBNU menyikapi usulan-usulan tersebut dengan sangat hati-hati, karena berdasarkan hasil Muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984, NU dinyatakan sebagai organisasi yang tidak melakukan kegiatan politik ataupun terkait dengan parpol. Karena PBNU dianggap belum bisa memenuhi keinginan masyarakat, sejumlah kalangan NU mulai mendeklarasikan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi masyarakat setempat.

Partai yang lahir seperti Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Ummat di Cirebon.

Merespons hal itu, pada 3 Juni 1998, PBNU melakukan Rapat Harian Syuriyah, yang hasilnya dibentuk Tim Lima dengan tugas untuk memenuhi berbagai aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh KH Ma’ruf Amin, dengan anggota, KH M Dawam Anwar, Dr KH Said Aqil Siroj, HM Rozy Munir, dan Ahmad Bagdja.

Seiring derasnya keinginan masyarakat NU untuk membentuk parpol, maka dalam Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada 29 Juni 1998, Tim Lima diperkuat dengan dibentuk Tim Asistensi. Tim Asistensi yang diketuai Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU), ditugaskan membantu Tim Lima. Pada 22 Juni 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi melakukan rapat untuk mengelaborasikan tugas-tugas mereka.

Kemudian antara 26-28 Juni 1998, kedua tim kembali melakukan rapat untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur prihatin bahwa kelompok-kelompok NU ingin mendirikan partai politik NU, karena terkesan mengaitkan agama dan politik partai. Oleh karena itu, Gus Dur bersedia menginisiasi kelahiran parpol berbasis ahlussunah wal jemaah.

Keinginan Gus Dur diperkuat dukungan deklarator lainnya, yaitu KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruchiyat, KH A. Mustofa Bisri, dan KH A. Muchith Muzadi. Usai pembentukan partai dan pemilihan nama, maka pada 23 Juli 1998, deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dilaksanakan di Jakarta. Pemilihan nama tersebut sesuai dengan sifat yang dijunjung dari parpol ini, yaitu kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis.

Pada 1999, PKB dalam pemilu perdananya berhasil mendapat perolehan suara sebanyak 13.336.982 atau 12,61 persen. Kemudian, pada pemilu 2004-2009, PKB kembali menduduki peringkat lima besar dengan perolehan suara 12.002.885 atau 10,61 persen. Sayangnya, pada pemilu 2009-2014, perolehan suara PKB mengalami kemerosotan. Hanya meraih 5.146.302 suara atau 4,95 persen. * kcm/nas

No More Posts Available.

No more pages to load.