Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi*
SAYA baru saja mendarat kembali di tanah tempat tinggal, Amerika Serikat. Selama dua mingguan sebelumnya saya berada di tanah kelahiran, Indonesia. Selama saya di Indonesia saya berkesempatan berkunjung ke tanah kelahiran Sul-Sel, dan terutama berziarah ke maqam orang tua tercinta di kampung Kajang.
Sebagaimana biasanya di setiap berkesempatan kembali ke tanah air, selain sibuk dengan berbagai kegiatan, di antaranya kuliah umum di UIN Alauddin, ceramah di berbagai tempat, hingga silaturrahim dengan keluarga, kerabat dan sahabat-sahabat. Walaupun kepulangan saya tidak direncanakan secara khusus dengan jadwal-jadwal kegiatan, ternyata jadwal kegiatan itu tetap tidak bisa dibendung. Bahkan menjelang ke bandara untuk terbang kembali rumah, masih saja harus ke Bogor untuk tiga kegiatan lainnya.
Tapi yang ingin saya sampaikan kali ini adalah bahwa bersamaan dengan kepulangan saya ke tanah kelahiran, juga sedang terjadi peristiwa besar yang akan menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa minimal lima tahun ke depan. Pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya, yang diikuti dengan pemilihan calon-calon Menteri dan Wakil Menteri. Saya tentunya bergembira karena secara tidak langsung ikut merasakan suasana yang diharapkan memberi harapan baru bagi bangsa ke depan.
Dari sekian banyak perdebatan yang terjadi, baik di darat (inland) maupun di udara (online) adalah besarnya jumlah anggota kabinet Presiden Prabowo. Di Indonesia disebut dengan “kabinet gemuk) yang jumlah Menteri dan Wamen mencapai lebih seratus orang. Banyak yang mengkhawatirkan jika hal ini adalah bentuk pemborosan, karena pastinya memerlukan anggaran yang lebih besar. Selain memerlukan staf dengan jumlah besar, juga memerlukan sarana (kantor dan keperluan terkait) yang pastinya besar.
Bahkan beberapa Kementerian memiliki tiga Wakil Menteri, yang pada masa lalu Wakil pun tidak ada. Tentu semua ini memerlukan anggaran sekaligus restrukturasi Kementerian secara besar-besaran. Perkiraan saya pribadi, untuk pengaturan struktur organisasi Kementerian ini memerlukan dua tahun bahkan tiga tahun ke depan. Artinya waktu untuk bekerja secara efektif bagi pemerintahan Presiden Prabowo hanya sekitar dua tahunan.
Namun demikian, terlepas dari semua perdebatan yang ada saya melihat penting untuk mengedepankan “positive mind”. Besarnya tim atau jumlah Menteri dan Wakil Menteri maupun badan-badan setingkat Menteri dan Wakil Menteri, boleh jadi karena Presiden Prabowo sadar akan besarnya permasalahan bangsa yang harus ditangani. Sehingga memang memerlukan jumlah tenaga dan pada banyak banyak aspek kehidupan bernegara.
Sejujurnya mendengar pidato Presiden Prabowo pasca pelantikannya saya cukup optimis. Apalagi di hadapan Jokowi, Presiden Prabowo mengakui jika memang banyak permasalahan bangsa yang harus diselesaikan. Beliau nenyebutkan misalnya banyaknya “kebocoran anggaran” dan “permasalahan korupsi” yang kronis. Tentu menyebutkan hal ini secara terbuka di depan presiden sebelumnya bisa diartikan kritikan yang membangun, namun cukup vulgar dan berani.
Apalagi dalam arahan-arahan beliau kepada anggota kabinetnya yang cukup tegas. Kebiasaan seremonial yang menghabiskan dana, konferensi dan seminar, saràsehan, apalagi jalan-jalan keluar negeri untuk studi banding agar dikurangi. Kita semua tahu bahwa pada umumnya semua itu hanya untuk menghabiskan dana dan menjadi bagian dari pintu “tambahan pemasukan” bagi sebagian orang.
Terlepas dari semua gonjang ganjing yang ada saya berharap sekaligus mendoakan semoga pemerintahan Prabowo lebih baik dari sebelumnya. Kita semua sadar dan rasakan betapa sepuluh tahun pemerintahan Jokowi terlalu banyak hal yang (maaf kalau memakai kata ini) “dirusak”. Hal yang paling terasa adalah terjadinya pengangkangan hukum yang dipergunakan sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu.
Tapi hal yang paling menyedihkan juga adalah bahwa selama pemerintahan Jokowi terjadi “pengelabuan” tentang pembangunan yang nampak merakyat. Kenyataannya pembangunan itu hanyalah pembagian kapling-kapling untuk mereka yang sejalan dan mendukung kepentingan pemerintahan Jokowi. Rakyat tetap tidak kemana-mana. Mereka bagaikan dipaksa lari di tempat, lelah tapi tidak berubah. Kemiskinan dan keterbelakangan tetap menjadi wajah umum masyarakat kita.
Semoga pidato Presiden Prabowo yang berapi-api itu dapat direalisasikan dalam kenyataan. Bahwa beliau ingin menghadirkan kemakmuran dan keadilan untuk masyarakat Indonesia. Bahwa Indonesia akan menjadi negara yang kuat, bukan karena segelintir yang kuat. Tapi kekuatan yang merata untuk semua anak-anak bangsa. Semoga! (*)
New York City, 25 Oktober 2024
*Diaspora Indonesia di Kota New York.