SURABAYA|DutaIndonesia.com – Virus Corona subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 dilaporkan sudah ditemukan di Indonesia. Sejauh ini varian baru Omicron BA.4 dan BA.5 itu disebut sudah masuk Jakarta dan Bali.
Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah Untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menjelaskan, bahwa kedua subvarian itu ditemukan pertama kali di Afrika Selatan pada awal tahun 2022.
Kemudian, WHO menyatakan BA.4 dan BA.5 sebagai variant of concern (VoC) pada 12 Mei 2022 lalu.
“Hal ini mengingat penularan cukup masif menyebabkan kenaikan kasus di negara lain,” kata Wiku dalam konferensi pers kemarin.
Pakar imunologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. dr. Gatot Soegiarto SpPD, K-AI, FINASM, mengatakan, sesuai data Kemenkes, belum ada hubungan peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia dengan temuan subvarian baru tersebut. Namun demikian, dia mengingatkan bahwa ditemukan subvarian baru ini harus tetap diwaspadai oleh masyarakat. Apalagi sekarang masyarakat sudah melakukan aktivitas sosial seperti hidup dalam kondisi normal, layaknya sebelum ada Covid-19, dengan maraknya orang berwisata.
“Selama ini masyarakat sudah bosan karena cukup lama tidak bisa bebas beraktivitas sosial, sehingga sekarang melakukan tamasya, silaturahmi keluarga dan lain-lain. Ketika angka kejadian melandai, sudah banyak yang mulai dengan kebiasaan sebelum pandemi. Apalagi Presiden Jokowi sempat memberikan ijin untuk mudik lebaran, boleh tidak pakai masker, kecuali untuk anggota masyarakat yang punya komorbid dan faktor risiko. Wajar saya kira,” katanya.
“Tetapi dengan masih adanya negara di luar sana yang masih dilanda penyebaran infeksi (biasanya dan tentunya oleh varian virus baru yang tidak lagi bisa dikekang oleh vaksinasi yang sudah dilakukan, juga karena titer antibodi pasca vaksinasi juga terus menurun setelah 3 bulan dan seterusnya, karena virus RNA yang akan terus bermutasi akibat tidak sempurnanya mekanisme copy-paste kode genetik virus saat virus bereplikasi), maka sebenarnya tidak ada satu negara pun di dunia ini yang boleh merasa bahwa pandemi ini sudah berlalu,” katanya kepada DutaIndonesia.com dan Global News, Rabu (15/6/2022).
Karena itu Dr Gatot menyarankan agar Pemerintah perlu terus menyesuaikan imbauan berdasarkan perkembangan yang terbaru. Kali ini terkait masuknya varian baru melalui pelaku perjalanan luar negeri yang entah tahu atau tidak tahu kalau terinfeksi atau OTG, saat pulang balik ke Indonesia dari luar negeri dan tanpa disadari membawa virus, lalu menularkan kepada semua kontak erat di tanah air. Hal inilah yang membuat masyarakat masih tetap harus waspada, setidaknya tetap menjalani kebiasaan baru yaitu 3M: Pakai Masker, Mencuci tangan dengan sabun, Menjaga jarak dan/atau Menghindari kerumunan.
“Khususnya untuk yang punya komorbid dan berisiko. Di sisi lain perlu tetap dilanjutkan vaksinasi booster (suntikan ketiga) sesuai target yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah,” katanya.
Daya tahan tubuh seseorang, dan dengan demikian termasuk respons terhadap vaksin, yang konsekuensinya adalah kemungkinan terinfeksi virus, kata dia, sangat ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, penyakit komorbid, dan jenis genetik terkait respons imun orang tersebut, status gizi, stress atau nggak, ada infeksi nggak, pakai antibiotika apa nggak, pakai probiotik apa nggak, pakai obat yang menekan imun apa enggak, apakah merokok, mengkonsumsi alkohol.
“Selain itu juga oleh jenis vaksin yang dipakai. Jadi semuanya harus dipertimbangkan dan diperbaiki untuk meningkatkan daya tahan tubuh (kecuali faktor usia dan jenis kelamin yang nggak bisa diapa-apakan lagi. Jadi, yang paling gampang ya itu tadi: terapkan 3 M, Tuntaskan vaksin ketiga (booster), kendalikan komorbid dan faktor risiko,” katanya.
Hipertensi & Covid-19
Sementara itu Tim Peneliti Universitas Airlangga (Unair) yang juga diketuai oleh Dr. dr. Gatot Soegiarto juga menemukan bahwa adanya komorbid hipertensi pada petugas kesehatan penerima vaksin COVID-19 jenis inactivated virus ternyata dapat menurunkan efektivitas vaksin Covid-19. Sejawatnya dari Universitas Brawijaya juga melaporkan adanya kecenderungan yang sama saat melakukan studi kohort prospektif di Rumah Sakit Umum Saiful Anwar, Malang.
Kesimpulannya, hipertensi berhubungan dengan rendahnya efektivitas vaksin pada petugas kesehatan. Subjek dengan hipertensi memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi Covid-19 meskipun sudah mendapatkan dosis lengkap vaksinasi dengan produksi antibodi yang lebih rendah.
Subyek dengan hipertensi, terutama mereka yang tekanan darahnya tidak terkontrol, memiliki insiden infeksi Covid-19 lebih tinggi dibandingkan subjek tanpa hipertensi. Karena itu kendali hipertensi perlu dioptimalkan untuk meningkatkan efektivitas vaksin dan mencegah reinfeksi. (gas)