Oleh Imam Shamsi Ali*
UNTUK kesekian kalinya, kalau tidak salah, ini yang keempat kalinya, saya dimasukkan ke dalam deretan tokoh-tokoh yang berpengaruh. Baik itu pada tingkatan lokal New York, Amerika, hingga ke deretan 500 tokoh berpengaruh dunia.
Sejujurnya saya tidak mengetahui sama sekali semua penyebutan sebagai tokoh berpengaruh atau paling berpengaruh itu. Selain memang tidak diberitahu, juga tidak merasa pernah ada sesuatu yang saya lakukan dan pantas mendapatkan pengakuan itu.
Dengan kata lain, segala gerak-gerik dan langkah-langkah di jalan juang di kota dunia ini biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dan rasanya pantas untuk diakui. Saya hanya melakukan semaksimal sebatas kapasitas yang saya miliki. Apalagi penyebutan atau pengakuan itu datangnya dari pihak Institusi non Muslim.
Di tahun 2002 lalu misalnya karena keterlibatan saya di berbagai perhelatan besar di US khususnya di kota New York pasca 9/11, terkhusus dalam upaya membangun kerjasama antar agama, saya dinobatkan sebagai “Ambassador for Peace” oleh “International Interreligious Federation”.
Dialog-Dialog antar agama saya, termasuk dengan Komunitas Yahudi di kota New York, disoroti oleh New York Magazine. Maka di tahun 2006 saya masuk sebagai satu dari 50 Tokoh paling berpengaruh (Most Influential Leaders) di kota New York. Tentu di bidang agama dan Komunitas agama (most influential religious leaders). Ada tujuh tokoh agama NY yang dianggap paling berpengaruh di NY versi Majalah New York.
Selanjutnya di tahun 2009 Komite Ellis Island Honor Award, sebuah Komite yang menyeleksi calon penerima Ellis Island Honor Award memilih saya sebagai satu dari 100 tokoh Amerika yang berhak menerima penghargaan itu. Sebuah penghargaan tertinggi non militer yang diberikan kepada immigran di Amerika atas kontribusinya kepada Amerika dan dunia. Sekali lagi penilaian terhadap saya ketika itu masih di seputar dialog antar agama.
Lalu berturut-turut empat tahun, dari tahun 2014 hingga 2017, saya dimasukkan ke deretan 500 tokoh Muslim dunia. Kali ini oleh George Town University and Islamic & Strategic Studies of Jordan University. Alasannya masih karena keaktifan saya membangun dialog dan kerjasama antar Komunitas agama di US.
Berlanjut kemudian di tahun 2019 dan tahun ini sebuah institusi yang memiliki publikasi khusus seputar New York State dan New York City kembali memasukkan saya di urutan tokoh berpengaruh di kota New York dengan istilah “2019 Queens Power” di tahun 2019. Dan “2021 Queens Power” di tahun 2021 ini.
Di tahun 2020 mereka tidak menerbitkan urutan tokoh berpengaruh New York. Nampaknya karena dampak Pandemi Covid 19. Lalu pada pertengahan 2021 ini mereka kembali merelease (menerbitkan) nama-nama tokoh yang dianggap berpengaruh di kota New York.
Di tahun 2019 saya dimasukkan ke dalam list tokoh berpengaruh di New York selain karena alasan seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu Dialog antar agama. Juga karena dalam penilaian mereka saya dianggap termasuk tokoh yang berani mengkritik Presiden Donald Trump ketika itu.
Saya memang cukup vokal mengkritisi Donald Trump, baik karena karakter pribadinya yang rasis, juga karena berbagai kebijakannya yang anti minoritas khususnya anti Islam. Satu di antaranya adalah “Muslim Ban” di tahun 2017 lalu.
Hal ini tentu penting untuk dicatat dan dijadikan pelajaran bahwa dalam dunia Demokrasi kritis tapi positif dan bertanggung jawab kepada kekuasaan adalah suatu hal yang lumrah, bahkan diapresiasi. Jangan pernah tabu apalagi alergi kritikan. Karena itu pertanda kegagalan sikap Demokrasi.
Akhirnya di tahun 2021 ini saya kembali dimasukkan ke urutan tokoh berpengaruh di New York sekali lagi karena alasan yang sama. Yaitu keaktifan saya dalam membangun kerjasama antar agama. Tapi satu hal lagi adalah karena saya salah seorang yang berada di garda terdepan memerangi kebencian dan kekerasan kepada Komunitas Asia (Asian hate) yang menguat tahun ini.
Di bulan April lalu misalnya saya menginisiasi beberapa kegiatan demonstrasi lintas agama dan Komunitas menentang Asian hate tersebut. Bahkan bersama dengan pemerintahan kota New York dan Queens Borough, dan didukung oleh Congresswoman Grace Meng, kami membentuk koalisi antar agama against Asian Hate.
Saya tentunya bersyukur dan bangga dengan pengakuan ini. Namun saya ingin menegaskan bahwa pengakuan ini harusnya menjadi bahan perenungan (introspeksi) untuk saya pribadi. Mengingatkan diri sendiri jika perjuangan itu masih panjang. Sehingga “acknowledgement” (pengakuan) atau apapun namanya, tidak dijadikan tujuan berjuang. Sebaliknya justeru menjadi bahan introspeksi sekaligus motivasi untuk berbuat yang lebih baik lagi.
Dan lebih penting dari semua itu, sebagaimana dalam sebuah pepatah disebutkan: “betapa banyak yang dikenal di bumi, tapi tidak dikenal di langit. Dan betapa banyak yang tidak dikenal di bumi namun terkenal di langit”.
Semoga para malaikat lebih mengenal kita ketimbang kemasyhuran di mata manusia, yang terkadang penuh rekayasa dan kepura-puraan.
Allah SWT mengingatkan:
وَمَا لِاَ حَدٍ عِنْدَهٗ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزٰۤى ”dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya”اِلَّا ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْاَ عْلٰى ”tetapi (semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.”وَلَسَوْفَ يَرْضٰى”Dan niscaya kelak dia akan ridho.”
Dengan pengakuan atau tanpa pengakuan, langkah juang terus berlanjut. Pujian atau cacian bukan alasan untuk berkarya. Tapi li wajhillah demi meraih mardhotillah…
Semoga Allah menjaga kita semua. Amin! (*)
New York, 8 Juni 2021
* Presiden Nusantara Foundation