SURABAYA|DutaIndonesia.com – Perpustakaan Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya ( ITS) dan Penerbit PT Pendar Asa Komunika menggelar peluncuran buku dan diskusi Novel Dokumenter “Ndara Mantri Guru” karya Prof. Sugimin WW di Creative Co-Working Space (CCWS) Perpustakaan ITS Lantai 1 Jl. Raya ITS Sukolilo Surabaya Sabtu (7/1/2023) pagi pukul 09.30. Selain itu juga ada peluncuran buku karya Dra Lubna Algadrie MA berjudul “From Sydney With Love”. Dalam acara ini kedua penulis buku yang juga dosen di Kampus Perjuangan –julukan untuk ITS–tersebut hadir untuk memaparkan karyanya tersebut.
Prof. Drs. Haji Sugimin WW awalnya hanya ingin menulis mengikuti dorongan hati. Mengetik tanpa pretensi, entah akan jadi apa nanti, entah dibaca siapa kelak. “Tidak dinyana ternyata kemudian terlahir menjadi novel apik dengan judul “Ndara Mantri Guru” ini. Buku novel dengan tebal 350 halaman ini disunting oleh sastrawan dan wartawan senior Imung Mulyanto serta diterbitkan oleh PT Pendar Asa Komunika.
Dulu guru besar ITS Surabaya itu mengaku benar-benar hanya ingin menuangkan gagasan yang berkumpar di benak, dengan kegairahan penuh. Mungkin itu yang disebut orang dengan istilah in the mood. Dan “kebetulan” tersedia kesempatan longgar baginya. Karena kala itu dirinya tengah menunggui sang istri yang sedang sakit.
“Saya heran. Tidak menyangka bisa jadi buku novel seperti itu. Pokoknya waktu itu saya mengetik saja. Sambil nunggui istri, saya menulis tiap hari, berturut-turut selama 42 hari tanpa putus, sampai jadi,” kata fisikawan senior ini mengenang proses menulis novel tersebut.
Namanya juga orang eksak. Tidak terpikir aspek gaya bahasa, karakter tokoh, atau dengan sengaja membangun plot agar berliku dan mengejutkan. Semua mengalir saja, yang penting pesan tersampaikan. Nyatanya, kewajaran dalam bertutur itu justru membuat jalan cerita menjadi natural dan memikat. Apalagi bahan bakunya kebanyakan dipungut dari pengalaman pribadi sendiri. Pantas jika kemudian novel ini diberi label “novel dokumenter.”
Agaknya Prof Gimin lebih mengutamakan niat untuk mengutarakan pengalaman, berbagi pesan, serta kehendak menyuarakan sikap subyektifnya terhadap kehidupan. Tetapi toh yang tersurat justru kisah inspiratif tentang lika-liku anak ndesa level bocah angon yang sukses menerobos sekat strata sosial melalui jalur pendidikan. Meski sang tokoh “aku” kelihatanya bercerita tentang diri pribadi, tetapi secara tidak langsung juga terbawa setting kondisi sosial ekonomi saat itu: era kolonial Belanda, zaman Jepang, hingga masa kemerdekaan.
Jadi tergambar bagaimana kehidupan sekolah rakyat yang diwulang ndara mantri guru, atau keluarga sugih yang jatuh miskin karena disatroni kecu dan grayak (perampok). Tentang cara hidup anak kaum abangan yang gemar puasa patigeni, rajin mengaji tetapi tidak sembahyang (salat). Falsafah melik nggendhong lali, susah payah mencari Tuhan, hingga mahasiswa yang dipaksa melamar teman wanitanya gara-gara surat cinta yang dikirim diam-diam ketahuan calon mertuanya yang tokoh ormas keagamaan.
Sungguh sebuah novel dokumenter yang menarik.
Kisah Keluarga Habaib
Sementara karya Dra Lubna Algadrie MA berjudul “From Sydney With Love” meski fiksi tapi alur cerita, konflik yang terjadi di antara para tokohnya, dibangun atas dasar pengalaman hidup penulisnya yang juga dosen ITS. Sebelumnya dosen bahasa Inggris ITS tersebut memang mengambil beasiswa S-2 di Sydney, Australia. Dia pun menyelesaikan master of arts di University of Sydney, Australia. Buku ini merupakan karya kedua dari Lubna setelah bukunya yang berjudul A Long Journey of A Single Parent Teacher.
Novel ini menarik karena mengangkat tema yang tidak mainstream. Mulai judulnya “From Sydney with Love (Syarifah What Is Bothering You)” sudah membuat pembaca penasaran. Mengutip dari adrionomatabaru.blogspot.com, masih belum banyak kisah fiksi yang mengangkat budaya dan kehidupan keluarga Arab habaib di negeri ini. Maka, melalui novel buah karya Lubna Algadrie ini kita bisa sedikit mengintipnya dan mendapatkan tambahan cakrawala pengetahuan.
Apalagi dalam buku ini, budaya tersebut diramu dalam setting dunia global di Australia, sehingga problem “cross cultural”nya jadi terasa kompleksitasnya. Kabarnya, novel ini sedang diminati seorang produser, jadi ada kemungkinan bakal diangkat menjadi film layar lebar.
Seperti diketahui, sebagian besar ulama pria Arab yang datang ke Nusantara bergelar sayid atau syarief, atau syarifah dan sayidah untuk yang perempuan. Gelar syarief/syarifah disematkan bagi keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayidina Hasan. Sedang sayid/syayidah dari jalur Sayidina Husin bin Abi Talib yang menikah Siti Fatima, putri Rasulullah.
Sebagian besar dari mereka masih berpendirian bahwa menjaga pertalian keluarga berdasar hubungan darah (nasab) merupakan kewajiban. Seorang syarifah seharusnya bersanding dengan seorang sayid. Ini pasangan yang sepadan, se’kufu’, supaya martabat keluarga sebagai habaib terpelihara. Jika melanggar, perempuan syarifah harus rela melepas nasabnya, tidak berhak lagi menyandang gelar marga di belakang nama putra-putri yang dilahirkannya.
Sikap keluarga habaib ini tergambar dalam tokoh Aba, yang senantiasa berpesan kepada putri sulungnya, Syarifah Fatima (Iffah). “Jagalah marga kita sebagai keturunan Rasulullah,” kata Aba. Demikian juga dengan Umi yang menggariskan pesan tegas, “Jangan lupa kamu seorang syarifah. Kamu harus menikah dengan seorang sayid atau syarif. Kalau tidak, apa nanti kata keluarga besar kita?” (hlm 10).
Maka Iffah, tokoh sentral dalam novel ini, menjalani hidup dalam lingkaran-lingkaran labirin yang tidak dikehendaki sekaligus sulit dihindari. Dia kadang merasa terlalu banyak dibatasi oleh aturan-aturan yang hampir sulit dicerna. Cinta pertamanya bersama Kapten Hermana pun kandas. Bahkan kemudian Iffah jadi gamang untuk memaknai apa itu cinta.
“Setiap aku menyukai seseorang ada saja penghalang yang memangkas tunas yang akan tumbuh. Cintaku tidak pernah tumbuh dengan baik. Aku jadi terbiasa belajar melupakan orang-orang yang aku sukai, karena Aba selalu mengatakan: simpan cintamu untuk seorang sayid,” katanya (hlm 63).
Iffah sudah mencoba menuruti aturan keluarga besarnya. Tetapi bagaimana seorang Syarifah Fatima, M.A. mudah mendapatkannya, ketika sayid yang dikenalinya biasanya agak alergi dengan perempuan pintar? Sementara Iffah selalu jadi juara kelas ketika sekolah. Malah ketika kuliah S2 di Universitas Sydney jurusan languistik, gadis ini masuk dalam jajaran the top five.
“Ketika begitu banyak pria mendekatiku, para sayid malah lari menghindar, atau malah pamer bahwa mereka idola para gadis, dan bisa menggaet siapa saja yang mereka sukai karena merasa cakep, keren, dan umumnya kaya,” kata Iffah curhat kepada David, teman kuliahnya, suatu ketika.
Meski berada dalam kungkungan budaya yang ketat, Iffah masih memiliki banyak relasi pertemanan, karena lingkung pergaulan yang luas. Salah satunya adalah David, teman sekelasnya di kampus Sydney. Karena sering berkegiatan bersama, tumbuhlah bibit-bibit suka di antara keduanya. David yang serius ingin meminang jadi bingung dengan sikap pujaan hatinya –yang menurutnya– very mysterious dan sulit dimengerti.
David kemudian menjadi mualaf dan mengubah nama menjadi Daffah. Tapi dia berharap Iffah tetap memanggilnya dengan sebutan David, Kenapa? Dia bilang, lafal Iffah jika menyebut namanya persis seperti mamanya memanggil dia. “Dia juga sudah sunat, lho, ” bisik Mbak Salam kepada Iffah. Masak?
Penulis Lubna Algadrie cukup cerdik dalam membina klimaks cerita. Pada setiap bab demi bab, dirinya memasukkan selapis demi selapis problem dan konflik baru sehingga pembaca menjadi kepo untuk terus mengikuti cerita hingga tamat. Gaya dan bahasa ungkapnya terasa cepat, efisien, dan khas. Ibarat musik mungkin bertempo staccato.
Tetapi dia tetap tidak abai dengan detail-detail saat menggambarkan latar belakang lokasi cerita. Dideskripsikan tentang tanaman jakaranda di sudut Quadrangle saat berbunga. Pohonnya nyaris tanpa daun, penuh dengan bunga warna ungu yang cantik sekali. Masuknya sejumlah percakapan keseharian dalam bahasa Inggris membuat dialog menjadi terasa nyata.
Boleh jadi ini karena sang penulis adalah pakar languistik, dosen bahasa inggris, dan pernah menjadi Kepala Pusat Bahasa ITS, sebelum pensiun dulu. Seringnya belajar di luar negeri kiranya juga turut mewarnani cara bertuturnya, yang tidak lagi seperti lazimnya warga Indonesia.
“Kami makan malam di restoran seafood di The Rock. Dan Kami sempat berebut untuk membayar. Tapi dia bersikeras, akhirnya aku mengalah.” (hlm 23).
“Sopir bus bertanya mau turun di mana. Aku bilang di Central Station. Sopir itu bertanya apa aku dari Filipina, aku jawab bukan, aku dari Indonesia.” (hlm 27).
Lalu bagaimana keputusan Iffah di ending cerita? Apa dia gigih memperjuangkan cintanya dengan David dengan risiko nasabnya akan terputus? Apa dia nanti sanggup mengatasi benturan budaya ketika berumah tangga dengan orang bule? Atau Iffah menurut nikah dengan Syarief Hamid, pilihan orang tuanya, meski dia juga belum yakin apa bakal mampu menoleransi tabiat calon suaminya yang sudah diketahui itu? Silakan dibaca novelnya. (gas)