Oleh Syaifullah Mahdi*
PELANTIKAN Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada Minggu (20/10/2024) besok diiringi harapan besar warga desa agar bisa semakin maju, mandiri, adil, makmur, dan sejahtera. Saat ini sebagian desa memang sudah mulai maju. Bahkan mandiri. Tapi harus diakui, masih lebih banyak lagi desa yang statusnya berkembang. Bahkan tertinggal.
Ambil contoh di Jawa Timur (Jatim). Berdasarkan Keputusan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) No. 400 Tahun 2024, ada sebanyak 4.019 desa mandiri di wilayah ini. Tahun lalu tercatat ada 2.800 desa mandiri atau sekarang naik 43,54 persen sebanyak 1.219 desa. Itu dalam setahun. Sebuah capaian yang menggembirakan. Dan jumlah ini merupakan tertinggi di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah desa di Indonesia sebanyak 83.763 desa. Dan Jatim menjadi provinsi dengan desa dan kelurahan paling banyak mencapai 8.493 desa/kelurahan sesuai data BPS Jatim tahun 2023. Artinya masih separo lebih desa belum mandiri. Bisa jadi desa maju. Atau desa berkembang. Jatim disebut-sebut sukses menghapus desa tertinggal. Dan tentu saja tak ada desa sangat tertinggal.
Bila melihat fakta perkembangan desa mandiri di Jatim, maka sudah selayaknya Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu mengakselerasi semua desa agar mandiri dalam satu tahun masa pemerintahannya. Selanjutnya menjadikan desa menjadi salah satu pusat pertumbuhan new centre of growth perekonomian provinsi maupun nasional di masa depan.
Desa juga sudah terbukti sebagai ujung tombak pemerataan pembangunan. Desa bisa menggerakkan perekonomian warga secara langsung. Desa memiliki potensi ekonomi beragam seperti pertanian, perikanan, kerajinan, dan pariwisata. Bila dikelola secara serius, desa pasti menjadi kekuatan ekonomi lokal. Selanjutnya desa bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif yang tidak akan goyah oleh krisis ekonomi global sebab mampu menopang kehidupan warganya dengan cara mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam yang disediakan oleh Allah SWT secara baik dan benar serta proporsional.
Ya, kearifan lokal desa, menjaga kekayaan alam yang melimpah, dari eksploitasi secara berlebihan. Karena itu, desa menjadi sangat strategis, terutama untuk misi pemerataan pembangunan mulai dari bawah. Apalagi kondisinya sekarang masyarakat masih merasakan dampak pandemi Covid-19. Seperti munculnya kesenjangan sosial ekonomi yang semakin serius menyebabkan bertambahnya jumlah rakyat miskin dan juga jumlah pengangguran.
Dalam Buku Pedoman Membangun Desa Inovasi untuk Indonesia Maju dan Sejahtera, R. Siti Zuhro, peneliti
Badan Riset dan Inovasi Nasional, menawarkan desa inovasi sebagai solusi menghadapi dampak Covid-19.
Lesunya perekonomian Indonesia sejak 2020 menyebabkan banyak orang yang dirumahkan atau terkena PHK sehingga mereka harus pulang ke desa masing-masing. Pulang sebagai pengangguran. Mereka bisa menjadi peluang dan tantangan untuk ikut membangun desa inovasi.
Melalui Program Desa Inovasi diharapkan desa-desa di Indonesia mampu mandiri dalam mengatasi permasalahan yang muncul, khususnya terkait dengan masalah literasi dan kemampuan mendinamisasi perekonomian di desa. Desa yang notabene merupakan aras terdepan dan utama bagi pembangunan Indonesia sudah saatnya menjadi simpul penggerak pembangunan yang ditopang oleh nilai-nilai budaya dan potensi lokalnya yang variatif, spesifik, dan prospektif.
Maka, desa wajib maju dan mandiri. Dan itu diharapkan segera bisa diwujudkan dalam Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sukses desa mandiri dan desa inovasi bisa mencegah arus deras urbanisasi yang seringkali memicu masalah di kota.
Salah satu alat ukur menilai kemajuan pembangunan desa adalah Indeks Desa Membangun (IDM). IDM terdiri atas tiga komponen utama yakni Indeks Ketahanan Sosial (IKS), Indeks Ketahanan Ekonomi (IKE), dan Indeks Ketahanan Lingkungan (IKL). Berdasarkan IDM, desa-desa diklasifikasikan ke dalam lima status kemajuan dan kemandirian yang berbeda.
Pertama, Desa Mandiri (Desa Sembada) memiliki kemampuan luar biasa dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan IDM lebih besar dari 0,8155, Desa Mandiri mampu mempertahankan ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi secara berkelanjutan.
Kedua, Desa Maju (Desa Pra-Sembada) memiliki potensi besar dalam hal sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi. Sekaligus mampu mengelola potensi ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Desa Maju memiliki IDM lebih dari 0,7072 tetapi kurang atau sama dengan 0,8155.
Ketiga, Desa Berkembang (Desa Madya) memiliki potensi yang belum sepenuhnya dioptimalkan tapi dalam perjalanan menuju kemajuan dengan IDM lebih dari 0,5989 namun kurang atau sama dengan 0,7072.
Desa Tertinggal (Desa Pra-Madya), menghadapi tantangan mengelola sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi. Memiliki potensi tetapi kesulitan dalam mengelola, sehingga kesejahteraan masyarakatnya terbatas. Desa Tertinggal memiliki IDM lebih dari 0,4907 tetapi kurang atau sama dengan 0,5989.
Desa Sangat Tertinggal (Desa Pratama) sangat rentan terhadap bencana alam, goncangan ekonomi, dan konflik sosial. Mengalami kesulitan besar dalam mengelola sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, sehingga kemiskinan merajalela. Desa Sangat Tertinggal memiliki IDM kurang atau sama dengan 0,4907.
Tumpang Tindih Kewenangan
Lalu bagaimana menggapai desa mandiri atau setidaknya maju? Tentu saja harus melibatkan semua pihak secara kolaboratif.
Pertama, kepemimpinan yang kuat sesuai UU No.3 Tahun 2024 masa jabatan kepala desa kini diubah menjadi 8 tahun. Maka kades harus mumpuni baik terkait integritas, moral, maupun sikap profesionalnya. Kepala desa yang tidak mumpuni seringkali menghambat. Misalnya saat merumuskan dan mengesahkan RPJMDes, menyusun RKP Desa setiap tahun, dan mengesahkan APBDes setiap tahun.
Selain soal rekrutmen pemimpin desa melalui Pilkades harus dijaga prosesnya agar jujur adil dan demokratis, perlu juga ada pendampingan, baik oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) maupun oleh Pendamping Desa.
Kedua, kades mumpuni saja tidak cukup. Harus dibarengi partisipasi masyarakat yang tinggi dalam membangun desa. Ketiga, tersedianya infrastruktur dan teknologi yang memadai, serta keempat inovasi yang berkelanjutan. Bila sebaliknya, desa itu akan tetap tertinggal cenderung stagnan, minim inovasi, dan kurang terlibat dalam kolaborasi.
Maka untuk menjadi desa mandiri atau setidaknya maju bukan perkara mudah. Meski sudah ada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang kini telah memasuki usia 11 tahun dan mengalami perubahan menjadi UU Nomor 3 Tahun 2024, tapi desa toh belum luluasa membangun dirinya sendiri. Ada yang menilai karena paradigmanya salah kaprah.
Abdul Malik Haramain, mantan anggota Pansus RUU Desa DPR RI, menyebut penggunaan istilah Membangun Desa menempatkan desa hanya sebagai objek pembangunan. Artinya, semua konsep pembangunan desa didesain dari pusat, provinsi, atau kabupaten. Desa hanya diam menerima titah dari atas.
Padahal banyak kebijakan dari atas itu tidak sesuai dengan kebutuhan desa yang memang beragam, sesuai lokasi geografis, sosial ekonomi maupun tradisi budaya. Hal itu terjadi karena dulu ada pemikiran keliru bahwa warga desa belum mampu. Belum “pinter” dan belum “bener”, untuk diberi kepercayaan membangun desanya.
Tapi baiklah, itu dulu. Sekarang kondisi warga desa sudah berubah. Sudah berkemajuan, sehingga perlu diberi kepercayaan secara bertahap dan bertanggung jawab untuk menentukan bagaimana mereka membangun desanya agar bisa bergerak maju sesuai semangat UU Desa. Dari sini muncul istilah Desa Membangun. Bukan Membangun Desa.
Dana Desa
Sebagai subjek, desa membangun membutuhkan anggaran yang cukup. Untuk itu UU Desa memerintahkan Pemerintah Pusat mengalokasikan anggaran 10% dari Dana Transfer yang bersumber dari APBN. Besaran DD fluktuatif tergantung postur APBN dan dana transfer ke daerah.
Saat ini dana transfer berkisar Rp700 – 800 triliun. Artinya besaran DD secara nasional di angka Rp70 – 80 triliun. DD ini ditransfer langsung oleh Kementerian Keungan RI ke rekening 83.763 desa di Indonesia.
Alokasi DD mempertimbangkan jumlah penduduk, jumlah warga miskin, luas daerah dan lain-lain. Sehingga besaran alokasi DD di masing-masing desa tidak sama, mulai dari Rp700 juta hingga Rp1 miliar lebih. Alokasi DD itu sebagai upaya membantu desa dalam melaksanakan pembangunan.
Saat memberikan catatan soal pelaksanaan UU Desa, Presiden Jokowi pernah mengingatkan empat hal terkait DD. Pertama pengelolaan DD yang belum sepenuhnya dinikmati oleh warga. Kedua, DD belum mampu membangkitkan perekonomian desa.
Ketiga DD belum maksimal memberdayakan kapasitas masyarakat desa. Dan catatan itu seolah untuk presiden baru penggantinya.
Di sinilah Prabowo Subianto perlu mengkaji lebih mendalam kendala apa saja hingga DD belum bisa dikelola maksimal untuk mewujudkan Desa Mandiri Membangun guna memakmurkan warganya.
Salah satu yang perlu dikaji mendalam adalah masih banyak program titipan yang membebani DD. Baik titipan Pemerintah Pusat sendiri melalui Kementerian terkait, titipan di tingkat provinsi maupun kabupaten. Artinya, paradigma membangun desa masih memakai cara-cara lama dari atas ke bawah. Masih membangun desa. Belum ikhlas memberikan kesempatan kepada desa untuk membangun dirinya sendiri.
Kita sadar proses ini tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Banyak kendala harus diurai. Baik dari sisi ekonomi, sosial budaya, dan juga politik. Presiden Prabowo beserta jajarannya perlu mengurai benang kusutnya sekaligus memberikan solusinya.
Benang kusut itu,dalam catatan Abdul Malik Haramain, antara lain soal kewenangan Pemdes yang seringkali dibatasi (distortif) oleh kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal ini Bupati/Walikota. Hal ini terkait proses pencairan DD tergantung pada hasil evaluasi APBDes oleh kepala daerah yang selanjutnya mengeluarkan Peraturan Bupati tentang APBDes dan menerbitkan Surat Kuasa pencarian.
Proses-proses ini menimbulkan banyak masalah, terutama kewenangan evaluasi seorang kepala daerah. Praktik “titip program dan proyek” sering mewarnai proses ini. Akibatnya, banyak kepala desa harus menuruti kemauan kepala daerah, meski titipan program itu tidak sesuai kebutuhan desanya. Maka perlu dikaji ulang tentang kewenangan kepala daerah terutama yang berkaitan kewenangan “evaluasi” terhadap APBDes.
Belum lagi program pusat yang dititipkan ke desa yang menggunakan DD, seperti BLT dan sejenisnya. Padahal, masalah BLT sudah ditangani Kementerian Sosial. Selain itu perlu sinkronisasi program dan anggaran dengan Kementerian Desa dan PDTT.
Artinya, jangan sampai program Kementerian Desa PDTT juga dititipkan ke desa menggunakan DD. Bila program titipan ini jumlahnya banyak, tentu saja DD tidak bisa maksimal bagi desa untuk membangun dirinya sendiri.
Selain itu juga terkait kemampuan SDM desa sendiri. Sebenarnya penggunaan dana desa harus mengacu pada Permendes No. 8 tahun 2022. Namun sering terjadi kekeliruan.
Misalnya Permen tersebut tidak mengatur pelaksanaan bimbingan teknis (bimtek) untuk aparatur desa. Yang dibolehkan, adalah pengembangan kapasitas masyarakat seperti pengembangan ekonomi desa melibatkan masyarakat melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Untuk itu program yang dirancang tidak boleh lahir di tengah jalan atau program titipan, tetapi harus melalui musyawarah desa dan dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes) sekaligus Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBdes). Kades yang mumpuni didukung SDM desa yang berkualitas dipastikan akan mampu menggerakkan desa dalam membangun dirinya menjadi mandiri.
Dalam prosesnya, masyarakat harus pula turut memantau pengelolaan dana desa agar diterapkan sesuai dengan Permendes. Dan jika ditemukan adanya penyelewengan serta penyimpangan, agar segera melapor kepada Inspektorat Daerah untuk segera dievaluasi.
Dan Presiden Prabowo Subianto yang pernah bergelut dengan permasalahan desa sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) hasil Munas VI HKTI dan Kongres V Tani 2004, pasti tahu kebutuhan desa. Dan pasti segera pula mencarikan solusi untuk mengatasinya. Semoga! (*)
* Penulis adalah Kades Pangkahwetan Kec. Ujung Pangkah Kab Gresik. KOORDINATOR PAGUYUBAN KEPALA DESA (PKD) JATIM DAN MAHASISWA PROGRAM DOKTORAL UHT SURABAYA.