SURABAYA| DutaIndonesia.com –Bagi umat muslim, ibadah haji merupakan suatu ‘kewajiban’ bagi yang telah mampu secara materi dan fisik. Dan termasuk tiga amalam utama yang dianjurkan Rasulullah.
Hal ini dijelaskan oleh Prof DR KH Asep Saefuddin Chalim MA, Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah, pada Ngaji Subuh untuk para santrinya, Rabu, 12 Februari 2025.
Dijelaskan Kiai Asep, Rasulullah pernah menjawab pertanyaan sahabatnya, yang menanyakan soal apa sajakah amalan utama. Amalan utama yang pertama adalah beriman kepada Allah SWT. Amalan utama kedua adalah berjuang di jalan Allah. Dan amalan utama ketiga adalah menunaikan ibadah haji.
Tentang haji, Allah Ta’ala berfirman dalam Qur’an Surat Ali Imron 97, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan lagi pada akhir ayat (yang artinya), “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu atau tidak butuh) dari semesta alam”.
Di sini, Allah menjadikan lawan dari kewajiban dengan kekufuran. Artinya, meninggalkan haji bukanlah perilaku muslim, namun perilaku non muslim.
“Jadi kalau nanti kalian sudah mampu secara fisik dan biaya, namun tidak mau menunaikan ibadah haji, maka yang rugi kalian. Allah tidak butuh apa pun dari kalian,” tegas Kiai Asep.
Sedang hadist-nya adalah:
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari).
Syarat Wajib
Syarat wajib haji antara lain; Orang tersebut harus ber agama Islam, Berakal, harus sudah Baligh, harus kondisi Merdeka dan harus kondisi Mampu, baik secara fisik mau pun ekonomi.
Dijelaskan oleh Kiai Asep, seandainya ada anak kecil berhaji (diajak orang tuanya), maka hajinya sah. Namun hajinya tersebut dianggap haji tathowwu’ (sunnah). Jika sudah baligh, ia masih tetap terkena kewajiban haji.
Sedang syarat mampu bagi laki-laki dan perempuan adalah: (a) mampu dari sisi bekal dan kendaraan, (b) sehat badan, (c) jalan penuh rasa aman, (d) mampu melakukan perjalanan.
Dan yang dimaksud mampu dari sisi bekal mencakup kelebihan dari tiga kebutuhan: (1) nafkah bagi keluarga yang ditinggal dan yang diberi nafkah, (2) kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan pakaian, (3) penunaian utang.
Selain itu, Syarat mampu yang khusus bagi perempuan adalah: (1) ditemani suami atau mahrom, (2) tidak berada dalam masa ‘iddah.
Syarat Sah Haji
Orang bersangkutan harus beragama Islam, ber akal (tidak terganggu ingatan / gila). Ambil Miqot sesuai ketentuan.
1. Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu (pada bulan-bulan haji), tidak di waktu lainnya. Yakni bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan sepuluh hari (pertama) dari bulan Dzulhijjah.
2. Miqot makani, artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat tertentu yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya. Wukuf dilakukan di daerah Arafah. Thowaf dilakukan di sekeliling Ka’bah. Sa’i dilakukan di jalan antara Shofa dan Marwah.
Ada Pembimbing
Agar hajinya bisa mabrur (diterima Allah) Kiai Asep menyarankan punya pembimbing haji, sejak belajar dan Latihan di tanah air, hingga berangkat ke tanah suci.
“Bagi anak-anak dan keluarganya nanti yang akan menunaikan ibadah haji, Pak Kiai Asep bisa menjadi pembimbing. Sehingga, ibadahnya insyaAllah mabrur,” kata Kiai Asep yang memiliki traveli haji Aufa Tour.
“Untuk menjadi mabrur itu gampang nak,” sambung Kiai Asep. Antara lain niatnya hanya karena Allah (Lillahita’alla), uangnya (biaya yang dipakai) halal, ambil miqot yang teoat, ada khotbah haji yang menjelaskan siapa Rasulullah, tak melakukan persetubuhan dan maksiat.(Moch. Nuruddin)













