
Oleh Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
MIKROFON itu tiba-tiba mati saat Presiden Prabowo masih bicara. Mulutnya bergerak. Tangannya tetap menekankan kalimat. Tapi suaranya menjadi kurang keras, meski masih terdengar oleh para peserta KTT di ruang Sidang Umum PBB itu. Di podium PBB di New York, Amerika Serikat, Senin 22 September 2025 itu, suara Presiden Prabowo memang tetap menggelegar seperti biasanya.
Karena kejadian itu publik menjadi geger.
“Disabotase!” kata sebagian orang.
“Konspirasi!” kata yang lain.
Benarkah demikian?
Ternyata… tidak. Mic itu memang otomatis mati. Aturan sidang PBB: lima menit. Lebih sedikit boleh. Tapi kalau lebih banyak maka lampu merah otomatis nyala, mic pun putus. Dan Itu berlaku untuk semua. Termasuk Amerika. Termasuk Tiongkok. Termasuk Indonesia.
Yang menarik sebetulnya bukan soal teknisnya. Tapi momennya. Mic mati saat Prabowo sedang masuk ke inti pidato. Tentang tawaran Indonesia. Tentang pasukan perdamaian. Tentang keadilan untuk Palestina. Kalimatnya terpotong. Menggantung. Hanya bisa didengar oleh delegasi yang ada di dalam ruangan itu.
TV yang melakukan siaran langsung tidak bisa mendengar. Maka dunia dibuat penasaran: “Apa tadi katanya Prabowo?” begitu kira-kira banyak orang yang bertanya.
Tapi justru di situlah dramanya. Isi pidato Prabowo sebenarnya sederhana. Meski harus diakui tegas. Tentang Palestina:
“We call for justice for the Palestinian people. Their suffering has been too long ignored”
(Kami menyerukan keadilan bagi rakyat Palestina. Penderitaan mereka sudah terlalu lama diabaikan).
Lalu tentang standar ganda sejumlah negara: “This double standard is dangerous” (Standar ganda ini berbahaya). Dan tentang aksi nyata: Indonesia siap kirim pasukan perdamaian.
Tiga pesan. Singkat. Padat. Tapi mic mati membuatnya jadi berita besar. Viral. Dibicarakan. Dicari. Kalau mic tidak mati? Mungkin hanya jadi berita rutin sidang umum PBB. Dibaca sekilas. Lalu hilang. Karena mic mati membuat pidato itu hidup.
Saya jadi teringat rapat atau hajatan di kampung. Mikrofon sering mati juga. Tapi bukan karena aturan lima menit. Karena kabel longgar. Atau listrik byar-pet. Kadang bukan hanya mic, seluruh lampu mati.
Tapi yang ini beda. Mati bukan karena teknis. Mati karena aturan. Tapi efeknya sama: membuat suasana berubah. Bedanya, kalau di kampung, rapat jadi gaduh. Orang menunggu teknisi memperbaiki. Tapi di PBB, justru tepuk tangan panjang menggema.
Presiden Prabowo berdiri tegak. Tidak terlihat marah. Tidak terlihat tersinggung. Ia tetap tersenyum kecil. Seperti sudah terbiasa. Wajar, karena Prabowo bukan orang baru di panggung politik. Sudah puluhan tahun bicara dengan atau tanpa mic.
Mic mati, tapi pesan tetap hidup. Bahkan, lebih keras. Lebih menggema. Politik memang begitu. Kadang hal kecil jadi besar. Kadang hal besar jadi kecil. Prabowo menyampaikan pidato yang banyak pemimpin lain juga sampaikan, yaitu tentang: keadilan, dua negara, perdamaian. Tapi mic mati membuatnya berbeda.
Sejarah kadang tidak ditentukan oleh paragraf panjang. Tapi oleh satu momen yang terputus. Mikrofon itu mati. Tapi justru menghidupkan diskusi baru: tentang Palestina, tentang standar ganda, tentang sikap Indonesia.
Dan publik dunia akhirnya tahu: Indonesia tidak hanya datang untuk hadir. Indonesia datang untuk bersuara.
Mungkin ini yang disebut “blessing in disguise”. Mic boleh mati, tapi pesan Prabowo justru jadi lebih hidup. Bukan sekadar menyuarakan simpati. Tapi justru menawarkan solusi konkret. Untuk Palestina, Indonesia siap, tidak hanya bicara tapi juga bertindak.
Isi pidato Prabowo sendiri sebetulnya cukup padat. Ada tiga hal menonjol. Pertama, soal Palestina. “We call for justice for the Palestinian people. Their suffering has been too long ignored” (Kami menyerukan keadilan bagi rakyat Palestina. Penderitaan mereka sudah terlalu lama diabaikan). Kalimat ini bukan basa-basi. Dari dulu Indonesia memang konsisten, tapi kali ini nadanya terasa lebih tegas, lebih personal.
Kedua, soal perdamaian dunia. Prabowo menegaskan Indonesia siap mengirim pasukan perdamaian. Ia ingin Indonesia bukan hanya moral force, tapi juga physical presence di lapangan. Sejalan dengan tradisi panjang Indonesia sebagai salah satu kontributor terbesar pasukan PBB.
Ketiga, soal standar ganda internasional. Ia mengkritik cara dunia melihat konflik. Yang satu dianggap tragedi besar, yang lain diabaikan begitu saja. “This double standard is dangerous,” katanya (Standar ganda ini berbahaya).
Dengan gaya lugasnya, Prabowo seperti ingin mengatakan: cukup sudah diplomasi basa-basi. Saatnya bicara apa adanya. Dan dengan kejadian Mic mati itu, pesan ini sekarang menjadi lebih menggema. (*)