OKLAHOMA| DutaIndonesia.com – Dr Natarianto Indrawan, peneliti dan praktisi Energi Baru Terbarukan asal Indonesia di Amerika Serikat (AS) menyoroti masih perlu ditingkatkan secara masif peran Indonesia di dunia pendidikan negeri Paman Sam. Padahal, kerjasama di sektor pendidikan antara Indonesia dan Amerika Serikat ini sangat penting. Apalagi sekarang ada program penguatan kerja sama pendidikan tinggi yang menjadi salah satu agenda perayaan hubungan diplomasi RI-AS ke-75 tahun 2024 ini.
“Ada beberapa poin penting yang perlu kita pertimbangkan serius soal pendidikan di dua negara itu.
Pertama, jumlah mahasiswa asing asal Indonesia di Amerika Serikat, sangat sedikit, dibanding dengan dari negara lain. Padahal, jumlah populasi Indonesia lebih besar. Jangankan dengan China dan India yang sudah menguasai berbagai sektor di Amerika, sejak era 1990/2000an, sementara kita sangat minim, bila dibandingkan negara berkembang lain di Asia seperti Bangladesh dan Pakistan, kita masih kalah. Dua negara itu sudah melakukan dominasi di berbagai universitas di Amerika. Itu negara berkembang ya. Indonesia sebenarnya juga bisa, mendongkrak mahasiswa agar belajar di Amerika,” katanya kepada DutaIndonesia.com dan Global News, Rabu (27/11/2024).
Negara paling dominan di perguruan tinggi Amerika Serikat, kata dia, adalah India, China, Korea Selatan, Kanada, Brazil, Arab Saudi, Bangladesh, Vietnam, Taiwan, dan Nigeria. Jumlah mahasiswa dari empat negara itu sangat banyak yang belajar di negeri Paman Sam. Ribuan mahasiswa dari negara tersebut mendominasi kampus dan perguruan tinggi di AS.
“Paling tinggi India disusul China, kedua negara tersebut mendominasi >54% jumlah seluruh mahasiswa asing di AS. Sementara, kita sangat tertinggal di sini, di seluruh kampus Amerika hanya sekitar 8.000-an orang saja untuk S1 sampai S3 tidak sampai 10 ribu. Itu data dua tahun lalu yang saya kira masih relevan sekarang,” kata Natarianto Indrawan, PhD., Founder dan CEO FlexiH, LLC, sebuah perusahaan rintisan dalam mendukung pengembangan Hidrogen Hub (H2Hub) di Amerika Serikat.
Kedua, kata dia, soal bagaimana calon mahasiswa Indonesia lebih memilih kampus di Eropa atau negara terdekat seperti Australia dan Malaysia, antara lain karena adanya kelemahan dua sisi dan tidak pede. Kemampuan Bahasa Inggris, misalnya, di mana Indonesia mengadopsi Bahasa Inggris sebagai bahasa asing belum sebagai bahasa kedua seperti di India, Malaysia, atau Pakistan dan Bangladesh. Empat negara itu sudah menempatkan Bahasa Inggris masuk kurikulum sekolah dasar.
“Kalau kita ingin maju, Bahasa Inggris itu mutlak harus dijadikan bahasa kedua, baru bahasa daerah. Kedua, selain adanya tes TOEFL (Test of English as a Foreign Language) di kampus Amerika, juga ada test GRE dan GMAT. Namun, sejak beberapa tahun lalu, kedua test ini (selain TOEFL) sudah banyak yang dihapus atau tidak dipersyaratkan lagi di berbagai perguruan tinggi AS untuk mendorong agar calon mahasiswa non-China dan India, dapat lebih banyak lagi masuk kuliah di kampus AS. Ini harus dimanfaatkan oleh calon mahasiswa Indonesia. Jadi kendala ini sudah dikikis oleh pemerintah AS, sehingga perlu dipromosikan lagi di Indonesia,” katanya.
Ketiga, pembiayaan dari pemerintah. Khususnya LPDP, hendaknya diberikan prioritas kepada calon penerima beasiswa yang melakukan aplikasi masuk perguruan tinggi di AS. Mereka ini perlu mendapat dukungan sehingga memotivasi lebih banyak lagi calon mahasiswa Indonesia untuk belajar di kampus negeri Paman Sam. LPDP memiliki aturan main, misalnya masuk 200 universitas top dunia, namun masalahnya di AS tidak semua kampus masuk daftar itu.
“Tapi kampus yang tidak masuk 200 top dunia ini memiliki jurusan yang sesuai dengan kita, sehingga perlu negosiasi agar juga bisa mendapat beasiswa LPDP. Belum tentu bidang studi atau fasilitas yang kita inginkan itu ada di kampus-kampus top atau ternama tersebut. Padahal banyak kampus alternatif, sehingga ini pun bisa diakomodir. LPDP perlu fleksibel untuk memberikan beasiswa sehingga akan lebih banyak lagi mahasiswa Indonesia di AS,” katanya.
Selanjutnya, kata dia, pelu ada kemitraan dengan kampus-kampus di AS yang dilakukan melalui atase pendidikan di KBRI. Salah satunya untuk melakukan negosiasi guna membebaskan tuition fee bagi mahasiswa Indonesia.
“Ini pernah terjadi pada kasus kami saat studi. Saya dapat beasiswa LPDP dengan prestasi yang baik, saya mencoba melakukan negosiasi dan diterima. Artinya di tempat saya studi dulu, jumlah mahasiswa di kampus itu sangat sedikit, dengan negosiasi yang dilakukan, diharapkan dapat menambah calon mahasiswa asal Indonesia. Oleh karenanya pihak international office di kampus itu membebaskan tuition fee bagi setiap mahasiswa yang belajar di Oklahoma State University. Surat pembebasan tuition fee ini dikirim ke saya dan saya foward ke Kementerian Keuangan, pihak LPDP, agar dapat dipromosikan lebih lanjut bagi kawan-kawan yang akan studi di Oklahoma State University AS,” katanya.
Hasil negosiasi pembebasan tuition fee itu baik untuk mahasiswa dan Pemerintah RI.
“Ya ini sangat saving sekali bagi pemerintah kita. Katakan satu mahasiswa S2 sekitar 20-25 ribu dolar tuition feenya per semester hilang, kalau S3 sekitar 30-35 ribu dolar per semester hilang. Kalau 4 tahun masa studi, S3 menghemat 30 ribu x 8 sekitar 250-300 ribu dolar. Jumlah yang luar biasa, dan ini baru satu kampus dan untuk satu mahasiswa. Negosiasi ini sangat terbuka juga di kampus lain.
Apalagi di AS ada kejenuhan, apalagi sekarang era Presiden Trump mengharapkan non-China dan non-India lebih banyak lagi mewarnai kampus-kampus di AS,” katanya.
Bukan hanya sampai di kampus. Selanjutnya, kata dia, para lulusannya diharapkan mewarnai profesional karier strategis di negara ini. Seperti karier di berbagai Departemen, termasuk Departemen Energi yang membawahi 17 lembaga riset atau laboratorium nasional, yang saat ini didominasi orang yang dulu mahasiswa asal China dan India.
“Ini kesempatan bagi Indonesia, sebab jumlah mahasiswa di Indonesia sangat banyak, apalagi ada kebijakan Trump yang ingin mengerem dominasi China dan India, ” katanya.
Seperti diketahui tuition fee adalah biaya pendidikan atau uang kuliah yang harus dibayarkan untuk menempuh pendidikan di suatu perguruan tinggi Amerika Serikat. Biaya ini bisa berupa uang semester atau uang tahunan.
Sebelumnya, Pejabat Diplomasi Publik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Mary Trechock, Senin (18/11/2024) di Jakarta, mengatakan, dalam rangka perayaan hubungan diplomasi RI-AS yang ke-75, dilakukan penguatan di bidang pendidikan.
Menurutnya, hal itu diperkuat dengan mendatangkan lebih banyak universitas AS untuk bekerjasama dengan Indonesia. Kerja sama juga dilakukan dengan membantu berbagai universitas yang tergabung dalam jaringan universitas Muhammadiyah, dalam program peningkatan kapasitas untuk menampung mahasiswa AS.
Secara khusus Mary menyebut, AS berharap Presiden akan mengirimkan lebih banyak WNI ke AS. Serta, meningkatkan jumlah pelajar Indonesia untuk studi di AS.
“Tingginya minat pelajar Indonesia mendapatkan kesempatan studi di AS ditunjukkan dengan tingginya permintaan konsultasi di EducationUSA,” kata Penasihat Education USA Kedubes AS, Santika Salim dalam kesempatan yang sama.
Berdasarkan laporan Open Doors, Indonesia mengirimkan 8.348 pelajar ke AS pada 2023-2024, menjadikan negara kedua yang mengirimkan pelajar terbanyak di Asia Tenggara. Serta, peringkat ke-23 di seluruh dunia. (gas)