Oleh Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
DI hari Minggu yang damai dan santai ini, ide dan pikiran saya justru tidak mau diam. Pagi hari setelah olahraga ringan dan menyantap buah-buahan segar hasil tanaman lokal, secara refleks tangan ini menggapai laptop dan jemari saya lincah menari-nari mengekspresikan pikiran yang berkecamuk.
Ada banyak hal yang memenuhi kepala, namun yang kemudian keluar menjadi ide tulisan adalah Meilanie Buitenzorgy — nama yang beberapa hari terakhir berseliweran di layar laptop saya. Lalu meluncurlak kata demi kata, kalimat demi kalimat berikut ini.
Dosen IPB Sebut Ijazah Gibran Setara SD, Ini Respon IPB
Di tengah riuh rendah politik dan perdebatan publik Indonesia, nama Meilanie Buitenzorgy mendadak menjadi sorotan. Seorang dosen IPB University yang selama ini lebih dikenal dalam dunia akademik ekonomi sumberdaya dan lingkungan, tiba-tiba muncul di ruang publik dengan satu pernyataan yang ternyata membuat heboh.
Kira-kira seputar keabsahan pendidikan seorang wakil presiden. Seketika, ia menjadi viral, dipuji sebagai intelektual berani sekaligus dihujani kritik keras.
Fenomena ini memperlihatkan betapa rapuhnya ruang kebebasan akademik di negeri ini.
Apa yang dilontarkan Meilanie sebenarnya adalah sebuah analisis. Mungkin bisa diperdebatkan secara akademis, bisa benar bisa salah. Tetapi resonansinya menjadi jauh lebih besar karena menyentuh figur politik. Di sinilah dilema intelektual publik muncul: ketika pikiran kritis tidak lagi diperdebatkan dalam kerangka argumentasi, tetapi ditarik masuk ke arena politik penuh bias dan prasangka.
Meilanie, pada titik ini, bisa dibaca bukan hanya sebagai pribadi, tetapi sebagai simbol keberanian untuk bersuara di tengah kultur yang sering menekan suara berbeda.
Intelektual Publik dan Risiko Bicara
Dalam sejarah dunia, kita melihat pola yang sama. Mereka yang memilih jalan untuk mengungkap hal-hal kontroversial sering berhadapan dengan risiko sosial, bahkan ancaman nyata.
Noam Chomsky, profesor linguistik MIT, dikenal sebagai intelektual publik yang tak henti mengkritik kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Ia sering dicap “anti-Amerika”, padahal kritiknya adalah wujud cinta tanah air melalui nurani akademik.
Edward Snowden, mantan kontraktor NSA, membocorkan data penyadapan global oleh pemerintah AS. Ia menjadi buronan, kehilangan tanah air, hanya karena memilih kebenaran di atas kenyamanan.
Di Indonesia, kita mengenang Munir Said Thalib, aktivis HAM yang berani membuka praktik pelanggaran hak asasi manusia. Ia membayar dengan nyawanya, tetapi namanya tetap menjadi simbol moral bangsa.
Nama-nama ini, tentu, tidak identik dengan Meilanie. Namun, pola yang terlihat serupa: orang-orang yang berani keluar dari zona aman demi menyampaikan kebenaran yang diyakininya, sering kali diperlakukan tidak adil, bahkan dipinggirkan.
Keberanian yang Perlu Dijaga
Pertanyaan mendasar yang muncul dari kasus Meilanie adalah: apakah kita masih menyediakan ruang aman bagi para intelektual untuk berbeda pendapat? Atau, justru setiap suara kritis harus siap ditarik ke ruang pengadilan opini, dihujat, lalu dilabeli macam-macam?
Dalam tradisi universitas, perbedaan adalah energi. Diskusi, kritik, bahkan kontroversi adalah bagian dari mesin pencarian kebenaran. Tanpa itu, kampus hanya akan menjadi pabrik gelar, bukan rumah intelektual.
Meilanie, suka tidak suka, telah mengingatkan publik tentang fungsi intelektual sejati: bukan sekadar mengajar di kelas, tetapi ikut menjaga nurani publik.
Dari Meilanie untuk Kita Semua
Mungkin analisis Meilanie soal ijazah seorang pejabat bisa terbukti benar, bisa juga keliru. Tetapi esensinya bukan pada “benar atau salah”, melainkan pada hak setiap intelektual untuk bicara, tanpa takut dimatikan karier atau reputasinya.
Kasus ini seharusnya membuka refleksi lebih luas: bagaimana Indonesia memperlakukan suara-suara kritis? Apakah kita hanya ingin akademisi yang diam, patuh, dan tunduk, ataukah kita berani memberi ruang bagi intelektual yang berbeda, yang kadang membuat kita tidak nyaman?
Karena sejarah membuktikan: bangsa yang maju selalu melindungi suara minoritas, menghormati pendapat berbeda, dan menjadikan kritik sebagai vitamin, bukan racun.
Penutup
Nama Meilanie Buitenzorgy mungkin akan terus dikenang dalam catatan publik kita, entah sebagai “dosen yang bikin gaduh” atau sebagai “intelektual yang berani.” Tetapi bagi kita yang mau belajar lebih dalam, sosoknya mengingatkan bahwa keberanian berbicara adalah syarat agar bangsa ini tetap sehat.
Seperti kata seorang filsuf: “Kebenaran tidak selalu menang dengan cepat, tapi ia tidak akan pernah mati selama masih ada yang berani mengucapkannya.”
Dan akhirnya, izinkan saya menutup refleksi ini dengan sebuah catatan personal. Saya mengenal baik Rektor IPB University. Beliau adalah sahabat, mentor, sekaligus ketua umum saya di organisasi cendekiawan muslim Indonesia.
Dari lubuk hati, saya ingin menitipkan apresiasi: selamat, IPB memiliki akademisi yang berani, yang bersuara tanpa takut kehilangan kenyamanan. Saya juga ingin menitipkan harapan: semoga Meilanie tidak disanksi hanya karena tekanan pihak yang tidak suka. Cukup dengan menegaskan bahwa pendapat Meilanie adalah pandangan pribadi. Cukup. (*)