Menakar Keberhasilan dan Tantangan Pariwisata Indonesia 2024: Membangun Wisata Halal Sebagai Identitas Global

oleh
Ulul Albab Ketua ICMI Jatim
Ulul Albab Ketua ICMI Jatim

 

Oleh Ulul Albab

(Ketua ICMI Orwil Jatim)

 

PADA 2024, sektor pariwisata Indonesia kembali menjadi sorotan, baik melalui keberhasilan yang membanggakan maupun tantangan yang masih menghantui. Dalam setahun terakhir, berbagai pencapaian berhasil diraih, seperti peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang melebihi 10 juta orang hingga triwulan ketiga.

Selain itu, pengembangan destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo, Danau Toba, dan Borobudur terus menggeliat, meneguhkan posisi Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Asia.

Namun, di balik keberhasilan tersebut, masih ada pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Tantangan utama adalah ketimpangan infrastruktur di luar Jawa dan Bali, yang seringkali menjadi kendala bagi pengembangan destinasi wisata lain. Tidak kalah penting, isu keberlanjutan lingkungan juga menjadi sorotan. Kasus overkapasitas di Pulau Komodo serta kerusakan terumbu karang akibat aktivitas wisata menjadi pengingat bahwa pengelolaan pariwisata harus berpijak pada prinsip keberlanjutan.

Keberhasilan: Mengoptimalkan Potensi Wisata Nusantara

Keberhasilan pariwisata Indonesia pada 2024 tidak lepas dari upaya kolaboratif antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Salah satu pencapaian besar adalah penguatan citra wisata premium di destinasi seperti Labuan Bajo. Penyelenggaraan acara internasional, seperti ASEAN Tourism Forum, berhasil mendongkrak citra Indonesia sebagai tuan rumah yang kompeten.

Di sisi lain, kemajuan teknologi juga mendukung sektor ini. Implementasi e-visa serta digitalisasi layanan tiket masuk ke destinasi wisata membuat pengalaman wisatawan lebih efisien dan nyaman. Sektor pariwisata domestik pun tak kalah menggeliat, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan keindahan lokal, dari Sabang hingga Merauke.

Kegagalan: Ketimpangan dan Ketidakselarasan Kebijakan

Namun, di tengah gemilangnya keberhasilan, tantangan besar masih membayangi. Ketimpangan pengembangan destinasi wisata menjadi salah satu masalah klasik. Bali, misalnya, tetap mendominasi kunjungan wisatawan dengan kontribusi lebih dari 50%, sementara destinasi lain seperti Kalimantan, Maluku, dan Papua masih terpinggirkan dari arus wisatawan global.

Selain itu, kebijakan promosi wisata seringkali tidak konsisten.

Pada awal tahun, pemerintah gencar mempromosikan wisata halal, tetapi kurangnya edukasi dan pemahaman mengenai konsep ini menyebabkan resistensi di beberapa daerah. Padahal, wisata halal memiliki potensi besar untuk menarik wisatawan dari negara-negara mayoritas Muslim seperti Timur Tengah dan Asia Selatan.

Wisata Halal: Tantangan dan Harapan

Indonesia, dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam wisata halal. Namun, pengembangan sektor ini masih menghadapi tantangan.

Salah satunya adalah pemahaman masyarakat yang cenderung menyamakan wisata halal dengan Islamisasi pariwisata. Padahal, wisata halal sejatinya adalah konsep inklusif yang mengakomodasi kebutuhan wisatawan Muslim tanpa mengesampingkan keragaman budaya lokal.

Pemerintah telah mengidentifikasi beberapa destinasi, seperti Lombok dan Aceh, sebagai ikon wisata halal. Sayangnya, pengembangan infrastruktur pendukung seperti sertifikasi halal untuk hotel dan restoran masih minim. Selain itu, promosi wisata halal seringkali tidak menyentuh segmen pasar internasional secara maksimal.

Refleksi dan Rekomendasi

Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, diperlukan langkah strategis yang terukur. Pertama, penguatan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengembangkan destinasi wisata.

Ketimpangan pembangunan harus diminimalisir dengan alokasi anggaran yang adil serta program pelatihan bagi pelaku pariwisata di daerah terpencil.
Kedua, pendekatan wisata halal harus dilakukan dengan cara yang bijak dan inklusif.

Edukasi kepada masyarakat serta pelaku industri menjadi kunci, agar konsep ini dipahami sebagai peluang, bukan ancaman. Promosi yang intensif ke pasar internasional juga harus diprioritaskan, mengingat potensi wisatawan Muslim yang terus meningkat.

Ketiga, keberlanjutan lingkungan harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan pariwisata. Pemerintah dan pelaku industri harus berani menetapkan batas kapasitas kunjungan di destinasi tertentu demi menjaga kelestariannya. Program eco-tourism perlu diperkuat untuk memastikan bahwa pariwisata Indonesia tidak hanya menjadi mesin ekonomi, tetapi juga pelindung alam.

Penutup

Pariwisata Indonesia memiliki masa depan yang cerah, namun keberhasilannya tidak akan bertahan tanpa pengelolaan yang bijak dan berkelanjutan. Dengan menjadikan wisata halal sebagai salah satu identitas global,

Indonesia dapat memperluas jangkauan pasarnya sekaligus mengangkat citra sebagai negara yang ramah bagi semua wisatawan. Kini, saatnya kita bergerak bersama, memastikan bahwa pariwisata Indonesia tidak hanya menjadi kebanggaan nasional, tetapi juga menjadi inspirasi dunia. (*)

Oleh:Ulul Albab – Ketua ICMI Jawa Timur

No More Posts Available.

No more pages to load.