Oleh Dr Fatimatus Zahra*
SALAH satu kebijakan revolusioner Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim adalah program Merdeka Belajar yang dicanangkan pertama kali pada akhir tahun 2019. Program Merdeka Belajar merupakan langkah untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Indonesia yang memiliki Profil Pelajar Pancasila. Sampai saat ini program merdeka belajar tersebut sudah mengeluarkan 22 episode.
Episode pertama Merdeka Belajar salah satunya tentang penghapusan ujian nasional. Kebijakan itu selanjutnya tertuang pada PP No. 43 Tahun 2019 tentang Ujian yang diselenggarakan oleh sekolah dan ujian nasional. Dengan regulasi itu mulai tahun 2020 di sekolah dasar sudah tidak mengenal lagi ujian yang sifatnya nasional seperti USBN.
Sebagai gantinya, penilaian akhir sekolah menerapkan sepenuhnya pelaksanaan Ujian Sekolah.
Ditinjau dari pihak yang melaksanakan, penilaian hasil belajar dibedakan menjadi dua macam yaitu internal dan eksternal. Penilaian oleh guru atau sekolah disebut penilaian internal, sedangkan penilaian oleh pihak di luar sekolah disebut penilaian eksternal.
Penilaian yang bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran (formatif) paling tepat dilakukan oleh guru di kelas, dengan kata lain penilaian formatif bersifat internal.
Penilaian eksternal dilakukan pihak di luar sekolah. Biasanya dilakukan oleh pemerintah. Penilaian eksternal menggunakan tes standar dan berfungsi sebagai sumatif dengan menggunakan ujian atau tes yang standar. Penggunaan tes standar selain untuk menjamin objektivitas, juga memungkinkan dilakukannnya perbandingan antarsekolah dan antardaerah.
Dengan program merdeka belajar tersebut, Ujian nasional seperti halnya USBN resmi dihapus. Tujuan penghapusan ujian standar itu tentu sudah melalui pertimbangan-pertimbangan baik dari sisi teknis maupun teoritis, seperti disampaikan oleh Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim bahwa penghapusan ujian nasional tersebut untuk memberikan atau mengembalikan kewenangan penilaian dan kelulusan kepada sekolah.
Selain itu agar siswa terhindar dari stres yang berlebihan. Sementara itu guru lebih fokus dalam pembelajaran karena sudah tidak terbebani dengan perolehan nilai ujian nasional para siswanya. Dengan demikian guru punya waktu yang banyak untuk mendesain model penilaian yang holistik, penilaian yang berpusat pada pengembangan kompetensi siswa. Penilaian yang holistik berpusat pada pengembangan siswa sesuai aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Terlepas pro dan kontra, asumsi tersebut sebuah keniscayaan. Materi USBN memang terlalu padat sehingga cenderung mengajarkan materi dan menghafal materi, bukan kompetensi. USBN juga membuat peserta didik berpotensi mengalami anxietas (kecemasan) dan hal itu mengubah indikator keberhasilan siswa sebagai individu.
Namun demikian menghapus USBN juga bukan jaminan untuk mengubah mutu pendidikan menjadi lebih baik. Sejak diberlakukan perubahan tersebut pada tahun 2020 sampai saat ini pelaksanaan penilaian melalui ujian sekolah masih jalan di tempat. Ini terbukti dengan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan secara sampling, pelaksanaan masih berkutat pada teknik penilaian tulis dan praktik, belum ada perkembangan teknik penilaian ke arah penilaian lain seperti portofolio, penugasan, projek dan lainnya. Justru yang terjadi pelaksanaan ujian sekolah terkesan seadanya, memenuhi unsur kewajiban administratif saja.
Jika USBN dianggap sarat materi sehingga hanya fokus pada pencapaian kompetensi kognitif mengabaikan afektif dan psikomotor, ternyata pelaksanaan ujian sekolah tidak jauh berbeda. Bahkan pada pelaksanaan USBN sangat memungkinkan terlaksananya manajemen penilaian secara utuh dengan memasukkan unsur perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Dalam USBN pihak sekolah mempunyai perencanaan berupa persiapan-persiapan fisik dan psikis siswa. Penambahan jam efektif, drill, tryout, menjadi perencanaan wajib di sekolah. Pelibatan orang tua juga intens dilakukan dengan harapan mereka juga mendukung dan memotivasi para putera-puterinya agar belajar.
Beberapa sekolah juga gencar memasukkan unsur spritualitas dengan istighatsah, berdoa bersama demi kelancaran ujian mereka. Pelaksanaan di-setting layaknya ujian nasional.
Dan setelah hasil penilaian dikeluarkan oleh pemerintah, sekolah ramai-ramai untuk mengevaluasi hasil prestasi siswanya.
Ada berbagai ragam dalam mengevaluasi hasil USBN, mulai dari sekedar memberikan reward pada peserta terbaik, sampai juga mengadakan analisis soal yang dianggap sulit untuk perbaikan di tahun-tahun berikutnya.
Bandingkan situasi tersebut dengan tiga tahun terakhir, ketika sekolah melaksanakan ujian sekolah, yang semua menjadi kewenangan sekolah mulai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tidak ada lagi persiapan yang matang untuk mengasah kemampuan siswa-siswanya. Tidak ditemukan lagi sekolah berlomba-lomba memberikan perhatian yang lebih agar siswa-siswanya belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh demi suksesnya menghadapi ujian mereka.
Demikian juga belum ada gejala peningkatan yang signifikan tentang perubahan model penilaian menuju arah penilaian holistik seperti yang dijelaskan di atas.
Sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi hal ini dengan melaksanakan penilaian eksternal berupa Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Asesmen secara nasional ini diperuntukkan untuk siswa kelas lima. Materi penilaian berupa literasi dan numerasi.
Penilaian eksternal ini sifatnya sampling dan hasilnya bukan berupa penilaian pribadi siswa, tetapi untuk menentukan nilai sekolah. Oleh karena itu efek penilaian ini belum mampu memotivasi sekolah untuk mempersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Seiring dengan perubahan regulasi penilaian hasil belajar ini, ada banyak kekhawatiran jika situasi ini terus berlangsung, kualitas SDM bukan semakin membaik. Oleh karena itu beberapa hal yang perlu kita pertajam adalah:
Pertama, kita masih membutuhkan penilaian eksternal seperti ujian nasional. Seperti disampaikan (Volante dan Jaafar, 2010; Nagy, 2000; Shepard, 2000) penilaian eksternal digunakan untuk menjamin mutu pendidikan dan pertimbangan akuntabilitas. Hal ini dimungkinkan karena karakteristik penilaian eksternal yang dilakukan pihak luar sebagai penilai dan menggunakan tes standar, sehingga perbandingan yang objektif antarsekolah atau antar daerah dapat dilakukan.
Dengan demikian penilaian eksternal memberikan informasi sekolah-sekolah yang perlu mendapat perhatian atau bantuan. Hal tersebut merupakan kelebihan penilaian eksternal yang tidak dimiliki oleh penilaian internal.
Menurut Nagy (2000), penilaian eksternal menjadi pilihan populer pemerintah ketika kontrol terhadap proses pembelajaran masih sulit dilakukan, misalnya karena kurang memadainya jumlah guru yang berkualitas dan terbatasnya jumlah sekolah dengan peralatan lengkap.
Di negara-negara maju yang selama ini dikenal tidak menggunakan Ujian Nasional dalam sistem pendidikannya dasar seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis, bukan berarti betul-betul tidak ada pengujian nasional sama sekali. Seperti yang dipublikasikan oleh INTO (Irish National Teachers’ Organization) dalam Discussion Document and Proceedings of Consultative Conference on Educational 2008, dinyatakan bahwa negara-negara maju tersebut justru sangat intens dalam memantau pelaksanaan standardisasi penilaian di sekolah dasar. Amerika Serikat mengadakan penilaian berskala besar secara berkala yang memungkinkan kinerja siswanya diukur dengan norma eksternal dan dilaksanakan secara suka rela.
Demikian juga di Perancis, tes diagnostik massal pada usia 8 tahun dan 11 tahun sangat dibutuhkan guru sebagai titik awal yang berguna untuk berdiskusi dengan orang tua, untuk menentukan setiap tindakan perbaikan yang perlu diambil untuk mendorong orang tua melibatkan diri dengan pembelajaran anak mereka.
Sedangkan di Jerman penilaian adalah fitur umum. Walaupun tidak ada sistem penilaian nasional tetapi pemantauan terus menerus sepanjang tahun adalah wajib bagi semua siswa di Jerman.
Dengan demikian sejatinya ujian nasional masih diperlukan, tinggal konsep pelaksanaannya disesuaikan dengan meminimalisir beberapa kekurangan-kekurangan yang selama ini terjadi.
Kedua, sudah saatnya pelaksanaan ujian sekolah ditinjau ulang. Ujian sekolah merupakan penilaian internal yang dilakukan oleh pendidik. Penilaian oleh pendidik merupakan penilaian yang dilakukan secara terencana yaitu menyatu dengan kegiatan pembelajaran, berkesinambungan, berimbang antara kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta memotivasi siswa dan pendidik.
Teknik dan instrumen penilaian oleh pendidik disesuaikan dengan ranah kompetensinya. Penilaian kompetensi sikap bisa dilakukan melalui observasi, penilaian diri, peer assessment, dan jurnal. Penilaian kompetensi pengetahuan melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan. Pendidik melakukan penilaian kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja dalam bentuk tes praktik, projek, dan penilaian portofolio.
Namun dalam perkembangannya, tiga tahun berjalan, ujian sekolah lebih pada pemenuhan administratif. Penilaian yang digunakan sebatas tes tulis dan praktik. Jauh dari harapan bahwa penilaian ini berlangsung menuju terjadinya penilaian yang lebih berkualitas.
Butuh komitmen semua pihak agar kewenangan yang diberikan pemerintah betul-betul dimanfaatkan guru untuk berbenah, mempelajari dan melaksanakan konsep penilaian yang lebih baik. Semakin paham guru dalam memahami konsep penilaian yang holistik, semakin baik dalam melaksanakan penilaian. Dan hal itu akan berdampak terhadap kualitas proses serta hasil pembelajaran.
Ketiga, percepatan digitalisasi. Digitalisasi pendidikan pada saat ini sedang gencar dilaksanakan. Bantuan sarana berupa chrombook sudah banyak dikucurkan pemerintah ke sekolah-sekolah. Sarana tersebut saat ini dimanfaatkan untuk pelaksanaan Asesmen Kompetensi Berbasis Komputer (ANBK).
Namun seperti yang penulis sampaikan di atas, penilaian itu hanya bersifat sampling dan lebih untuk menilai performan literasi dan numerasi sekolah. Hal ini akan lebih efektif jika dipadukan untuk penilaian hasil belajar siswa secara eksternal. Ini tentu juga efisien karena berbasis komputer yang tidak membutuhkan biaya yang banyak.
Apalagi jika ujian secara online ini dilaksanakan sejak dini, sejak siswa di kelas empat dan tidak menunggu siswa berada di kelas enam atau lima. Situasi ini membuat ujian eksternal berupa ujian nasional dianggap hal biasa dan bukan sesuatu yang menakutkan.
Tiga hal di atas sangat mungkin dilakukan dan tidak butuh biaya yang banyak. Tinggal komitmen pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan merdeka belajar ini dengan melihat beberapa kelebihan dan kekurangan. Sebuah referensi sederhana berupa analisis tentang sebuah efektifitas peraturan dengan menggunakan Regulatory Impact Analysis (RIA) sudah dilakukan dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan tiga konsep yang dibahas pada tulisan ini. (*)
*Penulis adalah Kepala Bidang Pendidikan SD Dinas Pendidian dan Kebudayaan Pamekasan.