PAMEKASAN| DutaIndonesia.com – Jika tidak ada perubahan pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) hanya tinggal beberapa bulan saja. Pilpres mendatang tampaknya diwarnai dengan suasana yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Bagaimana dinamika percaturan ideologis politik maupun strategi yang dijalankan oleh tiap partai politik maupun pasangan Capres-Cawapres dalam Pilpres mendatang? Berikut analisa guru besar politik Islam IAIN Madura Prof Dr Zanuddin Syarif MAg.
POLITIK itu adalah tegaknya aturan atau regulasi untuk kemaslahatan umat, masyarkat. Jadi apakah itu politik berdasarkan Islam atau tidak, sejatinya adalah penegakan regulasi hukum untuk kemaslahatan masyarakat.
Indikator kemaslahatan itu, pertama, adalah penegakan hukum, persamaan hak. Kedua, peningkatan SDM melalui pendidikan, kemudian bagaimana meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat. Itu yang terpenting ekonomi. Kemudian menjaga wibawa system bangsa dan negara, mengangkat harkat martabat bangsa.
Soal kontestan Pilpres mendatang, semakin menarik karena kini kita tidak terjebak dalam ideologi partai nasional, Islam atau lainnya. Misalnya saat ini Capres yang sudah pasti Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Mencari target kemenangan dalam pasangan bukan hanya di capresnya, tapi di cawapresnya juga, sehingga hal itu menjadi strategi yang tepat untuk mendulang kekuatan massa.
Sementara Prabowo masih bingung, termasuk Ganjar, tetapi ketiganya Capres ini sudah masuk kelompok Islam di dalamnya. Pertama misal PKB berjasa dalam koalisi perubahan, walaupun sudah ada partai Islam PKS, tapi PKS mendapatkan stigma partai konservatif walaupun itu perlu kajian ulang lagi. Sehingga khawatir menjadi sektarian hanya kelompok tertentu sehingga ketika PKB masuk itu menjadi kekuatan baru bahwa kelompok Anies yang didukung oleh kelompok Islam bisa masuk pada kelompok Islam moderat.
Sementara PPP yang bergabung dengan PDIP, walapun kecil itu berjasa juga kepada Ganjar dengan tidak menjadi stigma jelek bahwa Ganjar yang diusung partai besar PDIP dinilai sebagai kelompok nasionalis, bahkan dianggap kurang merangkul kelompok Islam, walaupun partai nasionalis sangat intens masuk pada wilayah pemilih kelompok Islam.
Di kelompok Prabowo, juga ada PAN, dan tetap tak bergeser istiqomah ada Golkar. Itu berarti bahwa Prabowo yang sekarang seakan ditinggal oleh kelompok Islam konservatif yang dukung pemilu tahun kemarin karena kekecewaan misalnya. Tapi paling tidak , ada yang mewakili PAN. Mengapa karena PAN walaupun partainya nasionalis kebangsaan tapi didirikan didukung sepenuhnya oleh umat Islam.
Sehingga ini sangat menarik, di satu sisi politik Pilpres kedepan kalau dilihat dari sudut pandang ideologi, memang terjadi peleburan ideologi. Tidak lagi penting memperdebatkan adanya konservatif liberalis yang kemudian terjebak dengan kelompok sektarian, ada cebong, kampret dan kadrun, ini semakin hilang.
Prof Amin Abdullah mengatakan walaupun parpol itu berusaha untuk mendapatkan kemenangan, agar representative menjadi penentu kebijakan, tapi tetap harus kembali pada makna politik awal yakni tegaknya regulasi aturan untuk kemaslahatan masyarakat. Mereka berebut ingin menjadi penentu kebijakan, yang tentunya kebijakannya tidak lepas dari kepentingan kelompoknya nanti, tapi paling tidak jadi nilai nilai universal yang memang dimiliki oleh tujuan utama sebuah Parpol yaitu menegakan kemaslahatan umat.
Dengan masuknya beberapa partai Islam di tiga capres itu, menunjukkan Islam berkontribusi dengan model ijtihadnya masing-masing. PPP punya kontribusi pahala karena mewarnai bahwa Ganjar yang diusung PDIP tidak hanya sekterian liberal, nasionalis yang liberal. Kemudian dengan masuknya PKB sebagai partai kultural dan moderat menyelamatkan stigma Anies hanya didukung kelompok sectarian konservatif. Termassk Prabowo itu yang juga didukung partai nasional besar, juga masih bercokol PAN yang dikenal partai berbasis Islam moderat.
Strategi yang terpenting itu adalah bagaimana menguasai kelompok generasi Z dan milenial. Itu penting sekali jangan dilupakan. Sementara keberadaan mereka pemilih pemula justru semakin punya stigma jelek, misalnya, mengangggap pemilu tidak berkontribusi kepada generasinya. Mereka yang terlibat hanya kelompok dan bukan perwakilan mereka. Hanya sedikit perwakilan anak muda.
Pemilih perempuan lebih banyak dari pemilih laki laki. Wanita sangat fanatik itu penting untuk dikuasai oleh kelompok Islam. Sebetulnya cara itu disebut dengan membangun sanat politik. Selama ini parpol Islam hanya terjebak dengan kelompok Islam sendiri, tetapi tidak berupaya masuk pada kelompok pemilih nasional atau rasional. Sementara parpol nasional sudah merambat pada kelompok Islam.
Jadi umat Islam hanya bertahan dengan pemilih tetap yang fanatic, seperti Ponpes, akademisi, kenapa tidak masuk ke wilayah lain membangun tanah politik baru.
Tiga calon yang akan banyak diterima milenial dan generasi Z sebetulnya tergantung dari bagaimana memainkan dan menguasai marketing politik. Marketing politik saat ini adalah digital, sementara digital itu biasanya generasi z dan milennial. Misal anak kecil , seneng dengan Ganjar karena tiktokers. Itu marketing pemasaran. Awal orang gak mau beli, karena tiktok juga mau beli.
Semua orang dan kelompok ingin ada perubahan, perubahan pada aspek pendidikan yang bisa merata, kedua rendahnya biaya pendidikan, ketiga ekonomi , lalu keamanan. Ada tiga hal yang dibutuhkan manusia yang tidak akan pernah ada ujungnya, kesehatan, keamanan, kesejahteraan. Indicator yang akan dipilih oleh masyarakat, jika ada kepastian kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan.
Yang terpenting lagi bahwa politik untuk perubahan pendidikan, ekonomi, kemudian perlakuan sama di mata hukum, juga kehadiran pemerintah bahwa politik sebagai menjaga kelestarian agama dan siasat politik. Dengan demikan maka pemerintah harus melindungi menjamin keamanan bagi pemeluk agama dalam menjalankan ajaran masing masing dan tidak dibatasi, sebagai pengamalan keyakinan agamanya.
Jadi tidak lagi nantinya orang dengan agamanya kemudian dinilai secara negatif dianggap mengganggu ketahanan negara atau persekusi. Jadi dengan Pilpres nantinya pemerintah harus beri perhatian kebebasan pada agama dalam amalkan ajaran agama, terutama tidak lagi ada benturan antara ormas agama tertentu, tetapi harus diberi kebebasan jalankan ajaran agamanya, yang terpenting mereka tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. (Masdawi Dahlan)