LOS ANGELES| DutaIndonesia.com – Kebakaran dahsyat di Los Angeles, negara bagian California, Amerika Serikat, hingga Rabu (15/1/2025) belum sepenuhnya bisa dipadamkan. Sebanyak 24 orang tewas dalam tragedi kebakaran yang kali ini juga melahap permukiman elite termasuk properti milik selebriti Hollywood tersebut.
Diaspora Indonesia yang juga peneliti energi baru terbarukan di AS, Dr Natarianto Indrawan, kepada Global News dan DutaIndonesia.com, mengatakan, bahwa sebenarnya kebakaran di California sudah biasa terjadi sebab peristiwa ini hampir setiap tahun. Namun kali ini yang mungkin tidak lazim karena terjadinya di musim dingin, di mana di negara bagian lain mengalami winter dan salju. Selain itu kawasan yang terbakar kali ini dihuni oleh kalangan kelas menengah atas.
“Seperti di Oklahoma tempat tinggal saya, sekarang musim dingin dan bersalju. Biasanya kalau musim dingin di wilayah lain, di California angin sangat kencang, yang apabila terjadi kebakaran cepat membesar. Negara Bagian California termasuk tropis, musim dingin tidak sampai bersalju cuma anginya kencang. Dan kebakaran di sana sudah setiap tahun terjadi, paling sering terjadi pada musim panas dari Mei hingga awal Oktober,” kata peneliti hidrogen asal Belitung ini.

Hasil penelitian Tim BBC Earth soal penyebab kebakaran Los Angeles begitu dahsyat dan cepat menyebar sangat mengerikan antara lain terkait kecepatan angin Santa Ana yang sangat kencang dengan kecepatan 160 km/jam. Angin jadi pemicu kebakaran saat memutus kabel listrik yang menimpa dedaunan kering di hutan hingga api bisa berkobar. Angin juga membawa bara api yang membakar kawasan lain hingga permukiman penduduk.
Maka, penduduk California pun terperangah. Betapa tidak, pada pagi hari tanggal 7 Januari 2025, penduduk kawasan Pacific Palisades di sebelah barat Los Angeles melihat asap mengepul dari perbukitan di seberang rumah mereka.
Dalam waktu kurang dari setengah jam, luas kebakaran menyebar dari 4 hektare menjadi lebih dari 80 hektare. Lalu
pada pagi hari tanggal 9 Januari 2025, kebakaran Palisades telah melalap lahan seluas 6.974,35 hektare atau 69,7 kilometer persegi atau hampir 1,5 kali luas wilayah Jakarta Pusat.
Kebakaran juga terjadi di seluruh wilayah LA. Kepala ahli meteorologi AccuWeather, Jonathan Porter, mengatakan ini adalah salah satu kebakaran terburuk dalam sejarah kota di California itu.
Perkiraan awal menaksir kerugian akibat kebakaran di angka US$52 miliar – US$57 miliar (Rp864 triliun – Rp928 triliun).
Sebagai peneliti dan pengusaha hidrogen, Natarianto Indrawan menjelaskan hikmah dari tragedi kebakaran Los Angeles yang bisa dijadikan pelajaran bagi Indonesia. Sama dengan California, Indonesia banyak memiliki hutan yang juga sering terbakar saat musim kemarau.
“Seringnya kebakaran hutan di California, hampir setiap tahun, dimanfaatkan oleh beberapa praktisi industri termasuk Green Science Inc., partner usaha FlexiH–perusahaan produsen hydrogen bersih milik Natarianto Indrawan–untuk membangun fasilitas yang memanfaatkan produk hutan, seperti ranting-ranting dan kayu-kayu yang banyak sekali di California, untuk dijadikan hidrogen atau produk turunan nya seperti metanol, dan amonia. California merupakan satu dari tujuh hidrogen hub yang memperoleh funding dari Federal, pemerintah pusat, sekitar 1 billion dolar atau sekitar Rp 15 triliun untuk membangun hidrogen hub,” katanya.
Lalu apa fungsi hidrogen hub dibangun di kawasan hutan?
Menurut Natarianto, dibangunnya hidrogen hub dan produk turunan hidrogen di beberapa tempat yang sering terjadi kabakaran hutan itu bertujuan untuk melakukan dekarbonisasi di wilayah tersebut. Pasalnya, bila hutan sudah terbakar akan melepas sangat banyak karbondioksida atau CO2 serta berbagai polutan lain ke atmosfer yang sangat membahayakan kehidupan manusia.
“Untuk mengembalikan kondisi tersebut, dibangunlah fasilitas-fasilitas dekarbonisasi agar dapat mengurangi atau menyerap CO2 dari atmosphere,” katanya.
Hal ini, kata Natarianto, tentunya dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia yang wilayah hutan nya masih cukup luas dan mudah terbakar di musim kemarau. Melalui kolaborasi internasional, saat ini saya dan tim di Indonesia, juga sedang mencoba membangun fasilitas serupa di beberapa titik di tanah air, yang nantinya semoga dapat menjadi model dan mendukung upaya dekarbonisasi di Indonesia.
“Prinsipnya, semua sumber daya alam adalah anugerah dan bernilai ekonomis untuk kemakmuran masyarakat, tinggal pengelolaannya yang difokuskan untuk kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang notabene merupakan mandat dari Sang Pencipta,” kata pria yang pernah berkontak langsung dengan mantan Presiden AS Joe Biden terkait isu Palestina ini. (gas)