Oleh Prof Nur Syam
MENJADI public figure di era media social seperti ini memang rumit. Sedemikian besarnya pengaruh media sosial tersebut, sehingga apa saja yang dinyatakan oleh public figure tersebut akan menuai pro-kontra. Ada yang sependapat dan tentu juga ada yang tidak sepakat. Semuanya tergantung pada konten yang dibicarakan oleh public figure dimaksud. Era yang ditandai oleh media social ini memang menuai banyak persoalan. Hal tersebut tentu terkait dengan begitu massifnya informasi tersebut datang kepada public dan juga cepatnya informasi tersebut sampai ke masyarakat.
Ada banyak public figure yang terjerembab di dalam kubangan media sosial, karena ungkapannya. Mereka merupakan public figure yang bersengaja agar ungkapannya dapat memperoleh respon publik berupa viewer atau like dan subscribe. Tetapi juga ada yang slip of the tongue. Keseleo lidah. Keduanya akan menuai respon yang sama, sebab netizen tidak akan memahami apakah sebuah pernyataan tersebut asli disengaja dan tidak disengaja atau kesalahan lidah. Bagi pembaca media sosial semuanya dianggap sebagai tayangan informasi yang harus direspon. Baik yang pro maupun kontra.
Tidak hanya politisi dan selebriti yang terjebak di dalam kasus bullying, akan tetapi juga para ulama atau pendakwah. Semuanya disebabkan oleh ucapan atau ungkapan yang terunggah di media sosial, khususnya youtube. Di antara pendakwah yang terkena masalah adalah Cak Nun, sahabat saya, terkait dengan ucapannya yang dianggap “menghina” presiden melalui ungkapan penyamaan antara Presiden Jokowi dengan Fir’aun (17/01/2023). Ungkapan ini menjadi viral di media sosial dalam beberapa pekan. Di antara selebriti yang terkena kasus ini adalah Nikita Mirzani yang terkait dengan cuitannya di media sosial tentang Najwa Sihab. (25/09/2022). Di antara politisi yang pernah viral adalah ungkapan Arteria Dahlan dua tahun yang lalu terkait dengan umpatannya kepada Kemenag. (23/11/2021). Semuanya disebabkan oleh ungkapannya yang tersaji di media sosial.
Pada beberapa pekan ini, yang menuai bullying adalah Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden RI ke 5, Ketua Umum PDI-P, yang terkait dengan konsep agama, yaitu pengajian. Di dalam salah satu pidatonya pada acara yang digelar oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Beliau menyatakan: “kenapa to seneng banget ikut pengajian ya, ini lho maaf beribu maaf, iki lho pengajian ini sampae kapan, anake arep dikapake, boleh saya pernah ikut pengajian, tolong bikin manajemen rumah tangga”. (16/02/2023).
Ini adalah cuplikan yang saya dengarkan dari acara Perempuan Bicara pada TVOne, yang dipandu oleh Maria Assegaf dengan menghadirkan narasumber Chusnul Mar’iyah dan Ika Dalimunthe, dan Anggota Komisi Dakwah MUI, Ustazah Yati Priyati serta Kepala Divisi Riset Media, Fani, dengan Tema yang dibicarakan adalah tentang “kenapa tho sekarang seneng banget ngikut pengajian”.
Jika orang hanya mendengar potongan pidato ini, dipastikan akan memberikan justifikasi bahwa Megawati itu anti pengajian atau ingin memberhentikan pengajian. Coba cek lagi tentang pidatonya yang begitu transparan “ini lho pengajian iki sampe kapan”. Kalimat ini seakan memberikan justifikasi bahwa Megawati menanyakan “kapan ibu-ibu berhenti mengikuti pengajian”. Pemahaman seperti itu tentu tidak bisa disalahkan. Makanya, menjadi sangat pantas jika ungkapan tersebut menjadi viral di media social dan memperoleh respon negative dari para netizen.
Dari ungkapan ini, maka menghasilkan justifikasi bahwa Megawati bukanlah seorang negarawan, sebab ungkapannya tidak berdasar atas fakta atau realita adanya koherensi antara pengajian, ibu-ibu dan mengatasi stunting. Bagi sebagian orang, seorang negarawan adalah seseorang yang bisa mempertanggungjawabkan apa yang diungkapkannya berdasar atas data di lapangan berdasar atas pertanyaan apakah ada relasi antara pengajian, ibu-ibu yang terlibat di dalam pengajian dengan stunting.
Ketiganya bukanlah variabel yang saling berhubungan. Jadi penyebab stunting bukanlah karena ibu-ibu mengikuti pengajian tetapi karena faktor gizi dan kesehatan. Meskipun ibu-ibu setiap hari mengikuti pengajian tetapi jika gizi keluarganya baik, maka peluangnya untuk menjadi anak yang normal tentu besar sekali. Mungkin yang dimaksudkan adalah agar ibu-ibu memperhatikan keluarganya dengan menerapkan manajemen rumah tangga atau household management.
Hanya sayangnya bahwa contoh yang dijadikan angle adalah pengajian yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan pemahaman agama yang dijamin oleh undang-undang. Mengikuti pengajian itu merupakan suatu upaya untuk memperkuat pemahaman dan pengamalan agama dan bukan sebagai penyebab terjadinya stunting.
Oleh karena itu , tanpa ada keinginan untuk ikut menyalahkan atau membenarkan ucapan Megawati, maka saya berpikir bahwa: pertama, sebagai public figure, siapapun, harus benar-benar berpikir ulang tentang apa yang akan diucapkan di ranah publik. Apalagi jika hal tersebut terkait dengan dunia keyakinan beragama, yang memiliki sense pemihakan yang tinggi. Agama adalah kebenaran yang asasi, sehingga di kala pemahaman dan pengamalan beragamanya direndahkan, maka akan bisa menimbulkan masalah horizontal.
Kedua, para public figure harus benar-benar memahami bahwa yang diungkapkannya itu tidak menyinggung siapapun, baik Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Semuanya merupakan hal yang sensitive kala disinggung terkait dengan hal-hal negative atasnya. Oleh karena itu selayaknya jika para figure public berhati-hati atas hal-hal yang mengandung sensitivitas tersebut.
Ketiga, di tengah media social sebagai panglima, maka orang bisa sesukanya untuk memotong unggahan di Youtube ataupun informasi dari manapun dan kapanpun. Dan bahkan netizen juga bisa menafsirkannya dengan tafsirannya sendiri dengan mengeksegeresi atau menghiperbolakan pernyataan yang sensitive dimaksud sehingga akan memperkeruh masalahnya. Lalu, kala ada netizen lain yang mendengar atau membacanya, maka langsung memberi koment atau like and dislike. Jika semakin banyak yang dislike maka dapat dipastikan akan menjadi koment negative yang viral di media sosial.
Mengamati atas hal ini, maka siapapun yang sedang berada di dalam kategori public figure haruslah benar-benar berhat-hati atau ekstra hati-hati di tengah konten media social yang menjadi sumber informasi yang paling dipercaya dan massif sifatnya. Masih banyak anggapan bahwa informasi yang diterimanya adalah kebenaran dan bukanlah sebuah hoaks. Wallahu a’lam bi al shawab. (nursyamcentre.com)