MOJOKERTO| DutaIndonesia.com – Sekitar 100 lebih anggota Perpadi (Persatuan Pengusaha Beras dan Penggilingan Padi) di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, kini dalam kondisi sekarat. Mereka terancam mengalami kebangkrutan. Bahkan diperkirakan hal ini juga dialami oleh banyak pengusaha beras dan penggilingan padi di kabupaten lain di Jawa Timur (Jatim).
Beberapa pengusaha beras dan penggilingan padi saat ditemui DutaIndonesia.com di wilayah Mojokerto, menunjukkan fakta tersebut. Mereka mengaku rata-rata dalam sebulan pabriknya hanya beroperasi 5-7 hari. Setelah itu menganggur. Penyebabnya, pasokan padi yang mereka produksi menjadi beras turun drastis gegara hadirnya sebuah perusahaan besar yang membuka usaha penggilingan padi. Bahkan perusahaan besar ini sekaligus membuka bisnis perdagangan beras.
Perusahaan tersebut membuka penggilingan dan penyelepan padi skala besar di kota Mojokerto dan Ngawi. Kabarnya juga membuka usaha di 2 kota di Jateng dan Jabar.
Sistem operasinya, perusahaan tersebut “merebut” hasil panen padi petani dengan cara, para petani diberi pinjaman modal untuk bibit, pupuk dan obat hama. Selanjutnya saat panen, para petani harus menjual hasil panennya kepada perusahaan tersebut dengan harga lebih tinggi dibanding harga dari penggilingan padi lokal.
Yang mengkhawatirkan perusahaan besar tersebut juga menguasai pasar beras, dengan cara memberikan reward pada agen-agen / toko-toko beras, di mana hal tersebut sulit dilakukan oleh pengusaha beras lokal. Dengan demikian, petani dan pengepul padi, ramai-ramai menjual padinya pada perusahaan besar yang induknya berpusat di Singapura.
Ujung-ujungnya pengusaha beras dan penggilingan padi lokal mulai gigit jari.
Namun mereka tak berani bersuara apalagi berteriak. “Kami sebagai pengusaha, khawatir dampaknya terhadap usaha kami malah lebih buruk,” kata salah satu pengusaha penggilingan padi yang tak bersedia disebutkan namanya, Selasa (16/5/2023). Bahkan menyebut nama perusahaan besar itu pun dia tidak berani.
Saat ini, kata dia, para pengusaha beras dan penggilingan padi lokal hanya mampu menggiling padi sekitar 15-30% dari kapasitas produksi sebelumnya. Hal ini sudah dialami sekitar 2-3 tahun ini.
Perjuangan Perpadi
Saat dikonfirmasi Ketua Perpadi Kabupaten Mojokerto, Agus Mulyohadi, yang semula enggan akhirnya bersuara. Agus membenarkan fakta tersebut. Lalu apakah sudah menyampaikan permasalahan tersebut ke pemerintah ? Agus mengatakan, bahwa dia dan pengurus Perpadi Mojokerto sudah sambat ke Kadis Pertanian Kabupaten Mojokerto. Kemudian minta beraudiensi dengan Bupati Mojokerto, Ikfina Fahmawati, namun sulit menemuinya.
Akhirnya Agus menemui Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, dan sudah disampaikan kesulitan yang dialaminya tersebut. Bahkan juga sudah disampaikan ke Menteri Pertanian. Dan hasilnya turun SK Menpan tentang batasan harga.
“Namun SK soal batasan harga tersebut hanya berlaku 2 minggu. Setelah itu, tidak berlaku diganti peraturan yang baru, yang tak kondusif bagi para pengusaha beras dan penggilingan padi lokal,” katanya.
“Teman-teman sudah kesulitan cari bahan baku padi dari petani, karena harga beli tinggi. Sudah itu, ketika beras dijual ke pasaran, harganya pun rendah, sehingga keuntungan amat sangat tipis. Bahkan tak jarang merugi,” kata Agus yang anggotanya sekitar 100 perusahaan.
Dikatakan oleh Agus, ketika dia bertemu dengan pengurus Perpadi di daerah Ngawi dan kabupaten-kabupaten lain, ternyata mereka juga mengalami hal yang sama.
Akibat hal tersebut, perusahaan penggilingan padi harus mem-PHK karyawannya, menurunkan KVA listrik, dan mencari usaha lain yang tak jauh dari perberasan (sembako).
Agus misalnya, dari kapasitas mesin 450 ton per bulan, sekarang mesinnnya hanya menggiling tak sampai 50 ton saja.
Mesin yang sebelumnya memakai 500 KVA daya listrik dengan besar pembayaran rata-rata Rp 90 juta ke PLN, kini dia turunkan menjadi hanya 250 KVA. Ini artinya ada mesinnya yang berhenti beroperasi.
“Kami juga harus mem-PHK sekitar 20 orang, belum lagi kuli dan tenaga transportasi,” katanya.
Sementara untuk mengisi kekosongan, Agus membeli sekam (kulit padi) dari penggilingan lain, untuk kemudian digiling hingga menjadi bubuk, lalu dijual untuk campuran pakan ternak.
“Ya untung tipis-tipis, daripada mesinnya nganggur,” katanya.
Dikatakan bahwa perusahaan kapitalis dari luar negeri itu, strateginya mungkin tahap awal membakar uang. Membantu memberi pinjaman modal ke petani dan pengepul pedagang beras. Namun perlu diwaspadai, bila nanti perusahaan besar itu sudah menguasai penuh dari hulu hingga hilir perberasan, karena anggota Perpadi banyak yang gulung tikar, maka perusahaan besar itu pasti akan memainkan harga.
“Pada saat itulah, perusahaan itu akan memainkan harga beras seenaknya. Ingat peristiwa bahan pokok minyak goreng, pemerintah tak mampu mengendalikan harga ketika minyak goreng dinaikkan dari Rp 27.000/kg menjadi Rp 50.000/kg,” kata Agus.
Hal itu, diprediksi oleh Agus, juga akan terjadi pada bahan pokok perberasan. “Kalau mereka mengusai 30% saja beras nasional, maka mereka sudah bisa mempermainkan harga,” jelas Agus.
Kabupaten Mojokerto kemarin, saat panen raya, sukses besar. Tapi Mojokerto mengalami inflasi yang tinggi yang diakibatkan oleh padi/beras. Apa artinya, ada yang menjual beras ke luar Kabupaten Mojokerto.
Derita anggota Perpadi Mojokerto ini ditambah lagi dengan derasmya impor beras masuk ke pasar Indonesia, termasuk Mojokerto dan sekitarnya.
“Masalah ini, kami tak mampu menyelesaikan. Kami perlu kehadiran pemerintah yang mampu memberikan kebijakan yang adil. Sehingga memberikan kesempatan yang sama pada yang besar mau pun yang kecil untuk berusaha. (Moch. Nuruddin)