JAKARTA | DutaIndonesia.com – TNI Angkatan Darat (AD) resmi menghapus tes keperawanan bagi calon Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad) dan calon istri prajurit. Begitu Polri sudah menghapus tes keperawanan bagi polisi wanita (Polwan). Pasalnya, pemeriksaan hymen atau selaput dara untuk membuktikan keperawanan wanita sudah tidak diberlakukan karena dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).
Kepala Pusat Kesehatan TNI AD (Kapuskes AD), Mayjen TNI dr Budiman, menyatakan, penghapusan tes keperawanan calon Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad) telah dituangkan dalam dokumen Petunjuk Teknis (Juknis) Pemeriksaan Kesehatan Badan TNI AD Nomor B/1372/VI/2021. Juknis terbaru itu diterbitkan 14 Juni 2021.
“Ini sudah dituangkan dalam penyempurnaan Juknis Pemeriksaan Kesehatan Badan TNI AD Nomor B/1372/VI/2021 tanggal 14 Juni 2021. Ini referensi yang terbaru. Sesuai dinamika perubahan yang terjadi, hymen atau selaput dara tidak lagi menjadi tujuan pemeriksaan uji badan personel TNI AD,” kata Budiman dalam diskusi daring yang digelar Change.org, Rabu (1/9/2021).
Polri juga menghapus tes keperawanan bagi Polwan. Ada sosok yang getol memperjuangkan dihapusnya tes keperawan bagi polwan. Dialah Brigjen (Purn) Sri Rumiyati. Pensiunan perwira tinggi Polwan Polri ini menceritakan perjuangannya menyuarakan agar tes keperawanan sebagai syarat seleksi masuk pendidikan Bintara maupun Akademi Kepolisian (Akpol) dihapus. Dia mengaku sempat dirundung sesama perempuan yang bertolak belakang dengan pemikirannya.
“Tahun 2006, kebetulan saya mendapat kesempatan mewakili kabag (kepala bagian) saya dalam penentuan penerimaan seleksi baik untuk Bintara Polri maupun Akpol. Di salah salah satu klausul itu kami membicarakan persyaratan untuk menjadi anggota Polri, baik dari Bintara maupun yang akan masuk ke Akpol. Salah satunya dari kesehatan,” kata Sri dalam diskusi daring yang digelar Change.org, Rabu (1/9/2021), seperti dikutip dari detik.com.
Saat rapat Sri menemukan salah satu persyaratan adalah kondisi hymen yang utuh. Sri pun menanyakan maksudnya kepada peserta rapat lainnya.
“Saya melihat di situ ada kata-kata ‘hymen yang utuh’. Saya bertanya maksudnya apa. Karena ini memang dalam rangka menentukan persyaratan. Jadi, sebelum diketuk menjadi persyaratan yang harus dipenuhi, kita akan diskusikannya pada saat itu,” cerita Sri.
Kemudian dijelaskan oleh dokter bahwa itu adalah masalah keperawanan.Sri langsung mengkritik tes keperawanan. Dia menyindir soal tes keperjakaan.
“Kemudian saya tanyakan ke situasi tes itu, kalau perempuan diperiksa masalah keperawanannya, bagaimana dengan yang laki-laki? Kenapa ini hanya perempuan saja? Kalau laki-laki katanya ini tidak bisa dilakukan,” ujar Sri menirukan diskusi dalam rapat 15 tahun silam itu.
Sri mengaku terus mengorek soal dasar persyaratan tes keperawanan. Dia mendapat jawaban dari peserta rapat lainnya jika ini menyangkut masalah moral.
“Kaitannya apa ini harus dilakukan? Kemudian dijawab itu masalah moral. Saya tanyakan balik, kalau seandainya itu masalah moral, ketika seseorang menjadi polisi, baik laki-laki maupun perempuan, harus bermoral baik, bagaimana dengan laki-laki yang keluar-masuk pelacuran? Apakah dia bisa dikategorikan sebagai laki-laki yang bermoral baik?” tutur Sri.
Sri mengaku menentang adanya tes tersebut di antaranya karena pengalamannya selama bertugas di Kepolisian kerap menangani korban perkosaan. Dia mengatakan saat melontarkan pertanyaan tersebut banyak yang menentangnya. Dia seperti dibully. Yang membuatnya semakin sedih adalah mereka yang menentang bukan hanya dari laki-laki melainkan juga dari kaum perempuan.
“Ya akhirnya saya menjadi dibully-lah waktu itu. Nanti kalau ada tes keperjakaan, Bu Sri yang meriksa ya? Oh boleh saja, Pak. Saya tidak mau menanggapi itu, tapi kita dalam forum supaya bagaimana caranya usul kita diterima,” kata dia. (det)