Kendaraan listrik mulai booming di Indonesia. Pemerintahan Presiden Jokowi juga gencar menggalakkan ekosistem kendaraan berbasis listrik. Mulai mobil listrik, sepeda motor listrik, hingga kapal listrik. Banyak pihak berharap agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen kendaraan listrik, tapi juga menjadi produsennya. Untuk mengetahui masalah ini, berikut wawancara DutaIndonesia.com dan Global News dengan Noval Dias, putra Indonesia, alumni Technische Hochschule Ingolstadt Jerman yang bekerja sebagai Tim Riset Mobil Listrik BMW di negara tersebut.
Oleh Gatot Susanto
Mobil listrik menjadi kendaraan resmi KTT G20. Tentu ini gelagat baik bagi kendaraan ramah lingkungan di negera kita. PLN juga membangun 21 SPKLU di Bali untuk pengisian listrik mobil tersebut. Menurut Mas Noval, bagaimana perkembangan kendaraan listrik di tanah air bila dibanding negara lain, khususnya di ASEAN?
Menurut saya perkembangan kendaraan listrik sudah menuju ke penerimaan di masyarakat, dalam arti bahwa masyarakat sudah kenal adanya kendaraan listrik dan manfaatnya, lalu saat ini masyarakat mulai mempertimbangkan untuk memilikinya. Hal ini didorong pula dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan SPKLU dan penyesuaian regulasi kendaraan listrik dari pemerintah. Contoh insentif tarif PPnBM.
Negara-negara di ASEAN juga sudah mulai memiliki strategi-strategi untuk memopulerkan kendaraan listrik — walaupun masih belum seragam. Seperti contohnya pembangunan charging stations, insentif pajak, bahkan meniadakan kendaraan dengan internal combustion engine pada waktu tertentu (bisa dilihat dari tabel di bawah, sumber Nikkei Asia). Vietnam juga punya strategi sendiri yaitu dengan membuat kendaraan listrik dari merek lokal agar harganya lebih terjangkau.
- Momen KTT G20 menurut saya penting dijadikan trigger untuk promosi mobil listrik kita, bagaimana menurut Mas Noval? Apa yang perlu dilakukan agar efektif dan momen itu tidak berlalu begitu saja.
Momen ini memang seharusnya digunakan sebaik mungkin oleh pemerintah Indonesia ke pemimpin negara G20 lain bahwa Indonesia juga turut mendukung program penghijauan mobilitas (green mobility) dalam rangka pelestarian lingkungan. Harus ditekankan oleh pemerintah Indonesia ke pemimpin G20 bahwa kita serius membangun ekosistem kendaraan listrik agar investor juga tertarik menanamkan investasinya di Indonesia.
Belajar dari Eropa, khususnya Jerman, apa yang perlu segera dilakukan agar ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) di Indonesia bisa diterima masyarakat. Apa soal harga? Tingkat keamanan dan keandalan? Atau soal SPKLU atau pom listriknya belum banyak?
Tidak bisa dipatok apa yang harus segera dilakukan karena ekosistem tersebut harus berjalan seiringan, mulai dari regulasi dan peraturan dari pemerintah, keseriusan pemerintah untuk mendukungnya, pembangunan infrastruktur, riset dan pengembangan dan sebagainya. Bila itu sudah berjalan maka produk akan improve dengan sendirinya, maka produk juga akan lebih andal dan aman. Akan lebih bagus lagi bila kita dapat memroduksi sendiri agar harga dapat lebih terjangkau, setidaknya produksi baterai sebagai komponen utama kendaraan elektrifikasi.
Sama dengan mobil BBM, kita menjadi pasar saja untuk mobil listrik. Menurut Kementerian Perhubungan terdapat beberapa perusahaan yang sudah melaksanakan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) dengan jumlah kendaraan sebanyak 7.526 tahun 2021 masing masing Hyundai Ioniq EV, Hyundai Kona Elektrik, All New Nissan Leaf, DFSK Glory E, MG 5 EV, apa tidak mungkin kita jadi produsennya? Apa kendalanya?
Pabrikan kendaraan tersebut sudah besar dan memiliki bagian riset dan pengembangan yang maju, sementara di Indonesia belum banyak dan belum sebesar mereka. Apabila Indonesia sudah punya kemampuan untuk membangun bagian riset dan pengembangan maka bukan tidak mungkin kita bisa menjadi produsen juga. Contohnya Gesits yang riset dan pengembangannya dilakukan mahasiswa ITS. Apabila yang seperti itu ada banyak pasti kita juga bisa memroduksi sendiri.
Bagaimana dengan teknologinya. Dulu KTT APEC di Bali 2013, kita pamerkan mobil listrik pertama karya Ricky Elson seperti Selo, dan Tucuxi, mengapa sekarang seakan mandek? Apa solusinya agar kita bisa maju dalam hal ini?
Waktu itu mobil listrik belum se-booming sekarang dan masih belum adanya regulasi dan aturan-aturan yang mendukung. Seakan-akan pemerintah juga tidak serius menggarapnya. Namun dengan adanya keseriusan pemerintah saat ini maka seharusnya proyek kendaraan listrik pasti akan berjalan.
Yang menggembirakan kita berhasil ekspor motor listrik karya ITS, Gesits, ke Senegal. Artinya, kita bisa jadi produsen kendaraan listrik. Tinggal menggenjot saja. Saran Mas Noval agar kita bisa menyamai negara maju seperti Jerman misalnya.
Sebuah kabar menggembirakan bahwa produk Indonesia telah sampai di negara yang sangat jauh. Pelan-pelan produk Indonesia ada di mana-mana, memang butuh konsistensi dalam hal ini. Kita harus tetap fokus memberikan yang terbaik, seperti memroduksi kendaraan yang reliable, terjangkau, aman, juga pelayanan purnajual yang dapat diandalkan. Momen ini menunjukkan bahwa Indonesia bisa ekspansi bisnis kendaraan listrik ke seluruh dunia.
Oh ya, bagaimana peran riset dan universitas dalam hal ini, seperti Mas Noval kuliah Jerman.
Riset dan pengembangan sebuah perusahaan umumnya selalu melibatkan universitas. Hal ini didorong oleh sistem perkuliahan di Jerman yang lebih practice oriented dibanding teori, dalam arti mahasiswa dan pengajar selalu diberikan kesempatan untuk membangun risetnya.
Bisa diceritakan selama kuliah Perguruan Teknik Ingolstadt? Apa setelah lulus, balik ke Indonesia atau menetap di sana?
Saya bersyukur mendapatkan kesempatan mengenyam bangku kuliah di sana dan juga mendapatkan kesempatan kerja di sana yang juga masih di bidang otomotif. Tentu ada rasa keinginan untuk kembali ke Indonesia dan mengembangkan industri otomotif nasional. Khususnya kendaraan listrik. (*)