Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mendeportasi massal imigran tidak resmi membuat para pendatang cemas. Termasuk pendatang dari Indonesia. Salah seorang diaspora asal Indonesia di Kota Philadelphia, Syarif Syaifulloh atau biasa dipanggil Pak Tani Philadelphia, menyarankan agar WNI di negeri Paman Sam tidak panik berlebihan meski tetap perlu selalu waspada. Pak Tani sendiri pernah mengalami kondisi semacam itu saat pertama datang ke Amerika pasca-tragedi WTC 11/9/2021.
Oleh Gatot Susanto
SAAT ini, para diaspora dan WNI di Amerika Serikat, sedang heboh merespon dua isu krusial. Pertama, kebijakan Presiden Donald Trump yang mendeportasi secara besar-besaran pendatang ilegal. Kementerian Luar Negeri RI mencatat ada 4.276 WNI di AS yang bakal terdampak sebab masuk daftar deportasi akibat kebijakan Trump tersebut.
Kedua, terkait Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 8 Tahun 2014 tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). Kebijakan ini dinilai tidak masuk akal dan cenderung memberatkan para diaspora atau WNI di luar negeri (baca juga artikel Imam Shamsi Ali).
Dalam waktu hampir bersamaan, muncul tagar #KaburAjaDulu, sebuah ajakan untuk hijrah ke negeri orang, yang sempat trending di media sosial.
Syarif Syaifulloh mengaku merasakan kekhawatiran para imigran asal Indonesia itu sebab dia pernah mengalami situasi mencekam saat pertama masuk Amerika 25 tahun silam. Pak Tani ketika itu juga merasa was-was. Apalagi pasca-tragedi WTC pengamanan sangat-sangat ketat.
Namun berbeda dengan sekarang banyak informasi di banyak platform media sehingga WNI tinggal memilih memilah saja berita yang mereka butuhkan, sedang saat itu informasi sangat minim. Syarif benar-benar seperti memasuki belantara beton di negeri Paman Sam.
“Yang sedih, ada senior diaspora malah menakut-nakuti, memberi informasi yang cenderung membuat kami ketakutan. Padahal, sesama pendatang, mestinya saling membantu, saling mendukung,” kata Syarif kepada DutaIndonesia.com dan Global News, Rabu (19/2/2025).
Namun Syarif bersikap “ndablek”. Dia tidak panik. Petani organik di Haiqal’s Garden–mengolah lahan kebun di sekitar rumahnya di Philadelphia– ini tidak takut secara berlebihan tapi tetap selalu waspada. Namun demikian, dia pasrah saat akhirnya harus menghadapi situasi yang sangat buruk.
Misalnya, dia sempat dikejar-kejar aparat, ditangkap, dipenjara, hingga dirampok. Namun semua itu harus dia lalui sebagai proses alami seorang pendatang di negeri orang. Dan secara alami pula, semua itu bisa diselesaikan dengan baik.
“Harus siap dengan risiko terburuk. Jadi, tidak perlu takut berlebihan. Bukan karena saya sekarang sudah memiliki surat resmi tinggal di AS, tapi berdasarkan pengalaman saya dulu, ketakutan berlebihan bukan solusi. Mungkin solusinya ya tiarap. Sebab itu tidak terhindarkan,” ujarnya.
Maksudnya, kata dia, kalau biasanya habis kerja mampir ke mana-mana, sekarang langsung pulang saja. Artinya, dalam situasi seperti sekarang ini, jangan bepergian terlalu jauh seperti keluar kota. Harus pula berusaha menghindari pemeriksaan-pemeriksaan random yang dilakukan aparat.
“Selain itu juga berdoa dan kita fokus pada tujuan utama merantau di Amerika ini. Mencari nafkah untuk keluarga, membantu orang tua, dan masa depan. Toh situasi seperti ini tidak selamanya, akan segera mereda secara alami. Tentu saja, selanjutnya dokumen harus segera diurus sehingga tidak jadi pendatang ilegal,” kata pria yang juga menjadi Youtuber ini.
Sedang soal SPLP, Syarif melihat sangat tergantung kepentingan masing-masing. Pemerintah RI memiliki alasan tersendiri terkait aturan Kemenkum HAM tersebut, sementara para diaspora atau WNI di negara lain juga membutuhkan perlindungan dan kemudahan saat mengurus dokumen yang mereka butuhkan. “Jadi, tinggal menjelaskan saja masalahnya masing-masing,” ujarnya.
Yang jelas, kata dia, terkait #KaburAjaDulu, dia tidak setuju dengan pernyataan pejabat di Jakarta yang menyebut bahwa WNI di luar negeri tidak nasionalis. Sebab, banyak diaspora dan WNI di luar negeri yang tetap cinta Indonesia. Bahkan, seperti dirinya, tetap memilih menjadi warga negara Indonesia.
“Kita tetap mengikuti upacara Hari Kemerdekaan RI. Bahkan ada yang menangis. Terharu. Kita memperkenalkan tradisi budaya Indonesia di sini. Kita terus mengajarkan kepada anak-anak kita, termasuk yang lahir di sini, memiliki dua warga negara, AS dan RI, dengan tradisi budaya bahasa adat istiadat Indonesia. Mereka cinta Indonesia. Seperri saya, tetap ingin mati dan dikubur di Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI, Judha Nugraha, mengatakan ribuan warga negara Indonesia masuk daftar Final Order of Removal. “Dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan informasi yang diterima oleh perwakilan RI per tanggal 24 November (2024), ada 4.276 WNI yang tercatat dalam Final Order Removal,” kata Judha.
Final Order of Removal atau perintah pengusiran terakhir merupakan putusan hukum yang memerintahkan seseorang meninggalkan suatu negara. Tahun 2024 lalu ada WNI berstatus undocumented dan kemudian masuk dalam list namanya noncitizen, nondetain dengan final order removal.
Judha menyebut ribuan WNI yang masuk dalam daftar itu tidak ditangkap maupun ditahan. Meski demikian perwakilan RI dan Kemlu terus memantau situasi di Amerika Serikat. Dia memastikan jika ada WNI yang ditangkap pihak berwenang AS agar segera menghubungi pihak perwakilan KBRI.
Selain itu, pihak Kemlu juga menegaskan bahwa para WNI wajib memahami hak-hak yang dimiliki dalam sistem hukum AS di antaranya tak menyampaikan keterangan tanpa pendampingan pengacara, berhak mendapatkan pendampingan pengacara, dan berhak menghubungi perwakilan RI.
Sejak dilantik sebagai Presiden ke-47 AS pada Januari 2025 lalu, Presiden Trump mengumumkan serangkaian perintah eksekutif terkait imigrasi, termasuk deportasi massal dan penangkapan imigran ilegal. Dalam perintah terbaru Trump itu, “pengusiran” imigran ilegal dapat dilakukan di mana saja di AS dan akan berlaku bagi imigran yang tidak berdokumen, yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah berada di negara tersebut selama lebih dari dua tahun. (*)