Barat Vs China: Indonesia Harus Genjot Pendidikan dan Riset Proyek Strategis Agar Tak Dicaplok Negara Lain

oleh
Agoes Aufiya dan keluarga saat ini tinggal di New Delhi India. (Foto: Dok. Agoes Aufiya)

Perang dingin sekarang tidak lagi hanya antara Rusia (dulu Uni Sovyet) dan Amerika Serikat serta sekutunya. Tapi lebih dominan antara Barat (Amerika dan sekutunya) dengan China. Indonesia menjadi strategis karena politik luar negerinya NonBlok. Namun demikian, sebagian negara Barat melihat Indonesia lebih condong ke China. Benarkah demikian? Berikut wawancara dengan Mohd Agoes Aufia, dosen Universitas Muhammadiyah Malang yang kini menempuh studi doktor ilmu Hubungan Internasional di Jawaharlal Nehru University New Delhi India. Berikut petikannya:

Melihat perebutan pengaruh antara negara-negara Barat dengan China ini,apa yang harus dilakukan Indonesia agar tidak “dicaplok” negara lain? 

Era saat ini, dunia termasuk Indonesia, dihadapkan dengan rivalitas era baru Amerika Serikat dan RRC, terlebih RRC mengalami perkembangan ekonomi yang pesat yang tentu diikuti semakin kuatnya kapasitas militernya. Dua aspek tersebut memiliki pengaruh kuat pada tataran regional di Asia Tenggara, Indo-Pasifik bahkan dunia di mana RRC mulai banyak menebarkan pengaruhnya di beberapa negara tak terkecuali Indonesia, terkhusus melalui pengaruh ekonomi dan tak jarang “militernya” di Laut Natuna yang saat ini ramai dibicarakan. 

Situasi seperti ini kembali mengingatkan kita pada era perang dingin pasca kemerdekaan kita di mana Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moch. Hatta akhirnya memilih jalan diplomasi tengah yaitu menerapkan kebijakan luar negeri Bebas-Aktif.

Bebas aktif mungkin dulu diterjemahkan salah satunya bahwa Indonesia tidak akan bergabung pada salah satu blok atapun aliansi baik blok AS atau Uni Soviet sehingga direalisasikan dalam gerakan non-blok.

Berita Terkait: Isu Ribuan Kapal Asing Berkeliaran di Laut Natuna

Saya berpendapat untuk konteks posisi Indonesia dalam realitas perang dingin Barat vs China masa kini, politik luar negeri Bebas-Aktif masih sangat relevan namun perlu diimprovisasi dan adaptif sesuai tuntutan era globalisasi yang begitu kompleks dan saling ketergantungan antar negara saat ini sehingga kita tetap bisa mengedepankan kepentingan nasional Indonesia dalam diplomasi kita (mendapatkan keuntungan dan menghindari kerugian).

Kita sadar, bahwa RCC adalah mitra dagang terbesar kita dan investasinya tumbuh begitu pesat di Indonesia. Namun di satu sisi ada kekhawatiran ketergantungan yang tinggi sekaligus juga adanya ancaman bagi integritas nasional pada aspek keamanan terkhusus pada klaimnya di Laut Cina Selatan yang tumpang tindih pada wilayah Laut Natuna yang masih terus terjadi dalam kegiatan illegal fishing oleh para nelayannya bahkan dijaga langsung oleh China Coast Guard.

Dalam konteks ini, kebijakan Bebas-Aktif yang dipraktikkan tentu yaitu menjaga hubungan bilateral yang seimbang namun cermat.