PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Jawa Timur (UID Jatim) sudah melaksanakan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) melalui PLN Peduli di 8 lokasi. Salah satunya di Kampung Lali Gadget (KLG), Dusun Bendet, Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Saat memimpin konvoi motor listrik (molis) para awak media yang mengikuti Press Tour Inspection Day dan Apel Siaga Kelistrikan Menjelang Nataru, Rabu (4/12/2024), General Manager PLN UID Jatim, Ahmad Mustaqir, mengajak rombongan konvoi molis mampir ke KLG yang dikitari persawahan dan rindangnya pepohonan.
Oleh Gatot Susanto
ACHMAD IRFANDI, pendiri Kampung Lali Gadget, dan kru, tampak sumringah kala menyambut para rombongan dari kalangan media dan pimpinan PLN Jatim. Setelah menikmati sajian polo pendem--makanan tradisional khas Jawa berupa umbi-umbian dari dalam tanah yang direbus– dan minuman tradisional, Irfandi menjelaskan sekilas sejarah dan profil KLG sambil duduk lesehan di pendopo KLG.
Setelah itu, semua peserta diberi mainan anak-anak berupa kitiran (kincir angin bunyi), yang bunyinya membuat suasana semakin meriah, lalu berjalan menuju sebuah kebun yang cukup luas, tempat pendidikan dan pelatihan anak-anak dengan metode bermain permainan tradisional.
Yang unik, sejak masuk gang, sudah disediakan terompah ukuran agak panjang, yang bisa dipakai berdua. Sesampai di lokasi, tampak puluhan anak-anak dari Kelompok Bermain Al Abror Sidoarjo, tengah meramaikan suasana. Mereka memainkan berbagai macam permainan tradisional mulai egrang, dakon, membatik, hingga bersama-sama menceburkan diri di kolam untuk menangkap ikan. Mereka sungguh menikmati suasana kebersamaan khas desa tersebut.
Setelah itu, giliran rombongan media dan kru PLN Jatim berkesempatan menjajal permainan anak-anak itu, seperti egrang hingga mendapat pelatihan membatik jumputan pada kain tas. Irfandi dan petugas KLG pun dengan telaten memberi pengarahan pada semua peserta termasuk General Manager PLN UID Jatim, Ahmad Mustaqir, membatik jumputan untuk menghiasi tas kain tersebut.
Usai membatik, semua peserta menyantap menu masakan khas KLG berupa nasi jagung ampok, urap-urap, ikan asin, tahu tempe, kerupuk, dan sejenisnya. Sungguh lezat! Sementara di bawah rimbun pohon bambu, sejumlah stan PKL makanan minuman milik warga sekitar terlihat melayani sejumlah pengunjung, baik dari rombongan media dan PLN maupun dari Al Abror serta pengunjung lain.
Kampung Lali Gadget sekarang sudah menasional. Sejumlah daerah mulai mereplikasi pendidikan alam ala KLG ini, seperti Tangerang Selatan dan Demak Jawa Tengah. Bahkan, stasiun televisi Belanda membuat liputan khusus soal kisah bocah sembuh dari ketergantungan pada gadget setelah mendapat pendidikan di KLG. Artinya KLG sudah go international.
Sejumlah lembaga pemerintah dan swasta serta publik figur lain pun turut membantu KLG agar semakin berkembang dan memberi manfaat lebih banyak lagi pada pendidikan budi pekerti, kepemimpinan, dan karakter anak. Misalnya sejumlah artis dan selebritas tertarik mengunjungi KLG. Salah satunya aktris, produser dan sutradara film Luna Maya, yang menikmati bermain lumpur di sawah sekitar KLG. Sedang perusahaan yang memberi bantuan pada KLG salah satunya PT PLN (Persero) melalui program TJSL PLN Peduli.
“Ini tahun pertama kami masuk bersama KLG. Tujuannya memberi ruang atau wadah bagi anak-anak, mulai TK, SD, SMP untuk mengurangi interaksi mereka pada gadget, sebab anak-anak sekarang sudah sangat masif bermain gadget. Di sini anak-anak tidak bermain gadget, digantikan permainan tradisional. Ada egrang, klompen, bakiak. Anak-anak juga menangkap lele di kolam, belajar membatik jumput khas KLG, dan lainnya,” kata Ahmad Mustaqir, General Manager PLN UID Jatim, usai mengikuti kegiatan di KLG.
Kedua, kata dia, memberdayakan masyarakat sekitar KLG. Ada sekitar 50-an kepala keluarga yang mendapat dampak dari aktivitas KLG ini. “Mereka berjualan di sekitar lokasi. Lalu ada para relawan, pemandu, dan lain-lain,” katanya.
Dia pun berharap agar KLG terus berkembang. Untuk itu PLN akan memberikan bantuan dan pendampingan selama tiga tahun hingga 2026. “Ada 8 lokasi TJSL, ada yang seperti ini (KLG), ada desa wisata, ketahanan pangan, kesehatan, dan lain-lain. Tahun 2025-2026 mendampingi dan mengembangkan yang sudah ada ini. Jadi, tidak hanya melistriki pelanggan, tapi juga pemberdayaan masyarakat,” katanya.
Pengorbanan
Ditemui DutaIndonesia.com di sela-sela mendampingi pengunjung, Achmad Irfandi, pendiri KLG, mengaku, bahwa merintis KLG hingga terkenal seperti sekarang bukan perkara mudah. Dia membenarkan bantuan dari PLN membuat KLG semakin berkembang.
“Tentu kami menunggu ada bantuan-bantuan selanjutnya,” kata Irfandi.
Selain itu, kata pria yang sudah beberapa kali mendapat penghargaan ini, untuk memajukan KLG harus ada yang dikorbankan. Maka, sejak awal pun dirinya sudah harus siap berkorban agar bisa sepenuhnya mengembangkan KLG.
Lalu apa saja yang sudah dia korbankan? Salah satunya karier. Selain itu, sambil bercanda, dia menyebut hingga saat ini tidak kunjung menikah lantaran asyik menggeluti dunia pendidikan anak-anak di KLG. “Karier dan sampai sak iki gak rabi-rabi (karier dan sampai sekarang belum menikah, Red.),” katanya sambil tertawa.
Irfandi sampai harus menunda menyelesaikan kuliah S2 di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. “Molor menjadi 4 tahun,” ujarnya.
Namun demikian, saat lulus dia juga tidak ingin menjadi dosen. Mengapa? Ya, karena telanjur asyik di dunia pendidikan anak di KLG ini. “Saya sudah menemukan ini (KLG) dan akhirnya asyik di sini. KLG seperti ini tak ada yang mengurusi. Isu-isu soal anak juga tidak ada yang mengurusi,” katanya.
Apalagi saat dia tahu hasilnya sangat menggembirakan. Sebab banyak orang tua yang memasukkan anaknya ikut pendidikan non-formal di KLG ternyata kaget atas perubahan perilaku dan karakter anaknya.
“Ada perubahan perilaku dan karakter anak, sehingga saya pun merasa bahagia. Orang tuanya juga kaget. Bahkan ada orang tua yang hendak memasukkan anaknya untuk mondok (di pesantren), sebelumnya itu dimasukkan dulu di sini. Setelah di sini selama tiga bulan, baru mondok. Padahal di pesantren tidak boleh bawa HP. Anak-anak di sini itu belajar bersosialisasi, tidak egois, belajar kepemimpinan. Dulu jijik-an setelah mencebur di kolam atau lumpur kini berubah tidak jijik-an. Mereka juga berubah bisa memimpin adiknya, atau temannya, dan lain-lain. Semua keberhasilan itu sejatinya peran utamanya ada pada orang tua, kami hanya pemantik saja,” kata Irfandi.
Lalu apakah anak-anak sepenuhnya tidak boleh membawa gadget saat masuk KLG? “Tidak harus. Tidak keras, seperti sini kamu yang bawa HP! Tidak begitu. Tapi bagaimana anak-anak bisa luluh hatinya, diajak ngomong, kami harus bisa masuk ke dunia mereka. Kita ngalah. Kami memposisikan sama dengan anak-anak. Jadi, tidak bisa egois,” ujarnya.
Kini kerja keras Irfandi sudah membuahkan hasil. Selain berbagai penghargaan, juga dia sangat bahagia dan bangga ketika direcoki anak-anak desa yang mengajaknya bermain.
“Saya bangga saat banyak warga butuh kita. Atau setiap pagi anak-anak desa mengobrak-obrak mengajak bermain. Mereka bertanya, hari ini temanya apa? Ya, mereka antusias,” ujarnya.
Bahkan, anak-anak SD dulu pernah dia beri tugas menulis nama dan cita-citanya saat besar nanti. Lalu apa yang mereka tulis? Salah satu anak ternyata menulis begini: “Cita-cita saya ingin jadi seperti Mas Irfandi!” Nah! (*)