SURABAYA| DutaIndonesia.com – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Jawa Timur sepakat untuk membuat Gerakan Stop Kejahatan Berbasis Gender Online (KBGO). Ide gerakan ini tercetus dari pembahasan dan diskusi atas studi kasus yang dimunculkan dalam workshop KBGO ditambah pengalaman yang dialami beberapa jurnalis perempuan yang menjadi peserta workshop.
KBGO adalah kekerasan yang terjadi atas dasar kuasa relasi gender antara korban dan pelaku yang terjadi di ranah online dan menggunakan teknologi digital sebagai medium. Kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi ini sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata. Tindakan tersebut harus memiliki niatan melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual.
Yang menjadi korban bisa mulai anak-anak hingga dewasa.
“Dari laporan Regional Aliance for Free Expression and Information UN Women pada 2022, KBGO lebih rentan dialami oleh perempuan terutama mereka yang memiliki suara publik, misal jurnalis, komunikator dan Pembela HAM,” kata Ketua FJPI, Uni Lubis dalam workshop KBGO di Hotel Regantris, Jumat (10/5/2024).
Gerakan Stop KBGO ini sebagai upaya membangun kesadaran, mengingat beberapa faktor terjadinya dan dampak KBGO yang belum banyak disadari masyarakat. Dari kasus yang ditampilkan untuk dibahas, para peserta diminta menyebut dampak dari KBGO yang dialami korban, yang salah satunya bisa bunuh diri. “Kekerasan atau pelecehan seksual secara online ini adalah masalah yang serius,” kata Uni.
Mendasarkan studi kasus yang dibahas dalam workshop tersebut dan dampaknya serta pengalaman peserta dalam berurusan dengan hukum, para peserta workshop berinisiatif FPJI ikut aktif membantu dan melakukan pendampingan korban KBGO melalui akses yang dimiliki sebagai jurnalis seperti ke LBH, polisi, psikolog.
Inisiatif ini berlatar belakang perempuan yang menjadi korban perundungan/pelecehan tidak mendapat penanganan yang semestinya dan cenderung sendirian dalam mencari penyelesaian masalahnya. Dengan pendampingan itu mereka diharapkan tidak lagi merasa sendirian. Gerakan Stop KBGO ini dinilai penting karena dampak KBGO bisa sampai seumur hidup korban.
“Masalah kesehatan mental korban ini menjadi masalah yang penting. Karena yang kerap terjadi, sudah menjadi korban masih pula disalahkan. Kita harus berpihak pada korban dan tidak boleh menyalahkan,” tandas Uni.
Beberapa aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai KBGO antara lain pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi atau kredibilitas, pelecehan (yang dapat disertai dengan pelecehan offline), ancaman dan kekerasan langsung, serangan yang ditargetkan ke komunitas tertentu. Dampak KBGO adalah korban mengalami kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, mobilitas terbatas dan sensor diri.
Komnas Perempuan mencatat, kasus KBGO pada 2018 sebanyak 97 kasus dan pada 2022 sebanyak 4.736 kasus. Sementara SAFENet mencatat sebanyak 60 kasus pada 2019, dan naik menjadi 2.055 pada 2021.
Uni mengingatkan, bila ada kasus KBGO, bisa meminta bantuan ke Komnas Perempuan di nomor 021-3903963 dan 021-80305399.
Ketua FJPI Jawa Timur Tri Ambarwati menambahkan, KBGO menjadi isu global yang harus dicegah, karena itu perlu sosialisasi dan pemahaman bersama terutama bagi jurnalis perempuan.
“Pemahaman itu kami lakukan melalui pelatihan dan workshop yang dilaksanakan secara tatap muka selama dua hari penuh dengan berbagai metode dan aktivitas pembelajaran,” katanya.
We Work Too
Selain workshop FJPI juga menggelar pameran foto tentang perempuan karya 5 jurnalis foto perempuan. Ke-15 karya foto yang dipamerkan menampilkan sisi humanis perempuan. Di antaranya Nurni Sulaiman, kontributor The Jakarta Post (Sumatera Utara) memotret seorang perempuan memilih menjalankan kewajiban ibadah salatnya di tepi jalan karena juga harus menjaga rombong dagangannya.
Ketua DPD Wanita Katolik Jatim, Mariana, mengaku takjub pada karya-karya foto para jurnalis perempuan yang ditampilkan dalam pameran foto bertajuk We Work Too tersebut
“Tadinya saya pikir pameran foto biasa, ternyata yang ditampilkan foto-foto yang sangat humanis,” kata perempuan yang juga aktivis Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Surabaya ini.
Sementara founder Ikatan Perempuan Indonesia Peduli (IPPI) Asrilia Kurniati, bahkan mengaku sempat merinding saat melihat beberapa foto yang dipamerkan. Banyak momen mengharukan yang berhasil diabadikan.
“Melalui hasil jepretan para jurnalis foto perempuan ini, kami yang tidak bisa melihat langsung kejadian tersebut, bisa melihatnya melalui foto-foto tersebut,” katanya. (ret,tis)