SURABAYA | DutaIndonesia.com — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah daerah, khususnya Pemkab Pacitan, Jawa Timur, untuk bersiap menghadapi potensi gempa dan tsunami besar yang mengintai pesisir pantai selatan Jawa.
Potensi bencana ini bisa terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia.
Namun kapan bencana itu terjadi memang tak bisa dipastikan, tapi sejauh ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur terus melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang potensi dan ancaman serta bagaimana mengantisipasinya.
Bukan hanya di Pacitan, tapi di 8 kabupaten wilayah pesisir selatan. Selain itu pihak BPBD Jatim juga mengupayakan melengkapi sarana prasarana dengan rambu-rambu, alat deteksi dini, papan informasi, dan papan imbauan.
“Kami juga melakukan penguatan ketangguhan masyarakat dengan membentuk desa tangguh bencana (destana), mengadakan pelatihan-pelatihan, simulasi, serta rapat koordinasi, kata Kepala Pelaksana BPBD Jatim, Budi Santoso, saat dihubungi Rabu (15/9/2021).
“Penguatan pesisir juga sudah kami laksanakan dengan mengadakan penghijauan,” tambahnya.
Zona Bahaya
Dalam keterangan resminya yang dirilis Senin (13/9/2021), Kepala BMKG mengatakan, Pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu tiba sekitar 29 menit. Adapun tinggi genangan di darat berkisar sekitar 15-16 meter dengan potensi jarak genangan mencapai 4-6 kilometer dari bibir pantai.
Dwikorita yang sebelumnya telah melakukan verifikasi zona bahaya dan menyusuri jalur evakuasi bencana di Pacitan bersama Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji, mengatakan, masyarakat yang berada di zona bahaya perlu berlatih rutin untuk melakukan langkah evakuasi mandiri bila mendapatkan Peringatan Dini Tsunami maksimum lima menit setelah gempa terjadi.
Masyarakat, khususnya yang berada di wilayah pesisir pantai, harus segera mengungsi ke dataran yang lebih tinggi jika merasakan guncangan gempa yang besar.
“Untuk masyarakat yang berada di pantai, tidak perlu menunggu perintah, aba-aba, atau sirine, segera lari karena waktu yang dimiliki hanya sekitar 29 menit, sedangkan jarak tempat yang aman yang lebih tinggi cukup jauh,” katanya.
Ditegaskan, skenario yang dimaksud itu artinya masih bersifat potensi yang bisa saja terjadi atau bahkan tidak terjadi. Namun, masyarakat dan pemerintah daerah harus sudah siap dengan skenario terburuk tersebut.
Artinya jika masyarakat dan pemerintah daerah siap, maka jumlah korban jiwa maupun kerugian materi dapat diminimalisasi. Dengan skenario terburuk ini pemerintah daerah bersama-sama masyarakat bisa lebih maksimal mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih komprehensif.
“Jika masyarakat terlatih maka tidak ada istilah gugup dan gagap saat bencana terjadi. Begitu gempa terjadi, baik masyarakat maupun pemerintah sudah tahu apa-apa saja yang harus dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas tersebut,” ujar Dwikorita.
Dia menegaskan, hingga saat ini tidak ada teknologi atau satu pun negara di dunia yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa dan tsunami secara tepat dan akurat. Lengkap dengan perkiraan tanggal, jam, lokasi, dan magnitudo gempa. Semua masih sebatas kajian yang didasarkan pada salah satunya adalah sejarah gempa di wilayah tersebut. (Bersambung)