Baru-baru ini Singapura melaporkan semakin banyak usia muda yang terkenal kanker kolorektal, yakni penduduk dengan usia 50 tahun ke bawah, termasuk kelompok milenial hingga generasi Z. Apa itu kanker kolorektal dan mengapa semakin banyak terjadi pada kalangan muda.
Bukan hanya Singapura, di Indonesia sendiri angka kanker kolorektal juga banyak terjadi pada mereka yang muda usia. Data International Agency for Research on Cancer (IARC) menyebut, lebih dari 25 ribu warga Indonesia terkena kanker kolorektal pada 2022. Dari 1.400 pasien berusia di bawah 40 tahun, 968 di antaranya berusia 30 hingga 39 tahun. Sementara pada usia 20 hingga 29 tahun tercatat 446 kasus yang mengidap kanker kolorektal.
Apa itu kanker kolorektal? Kanker kolorektal adalah jenis kanker yang terjadi ketika sel-sel di usus besar (kolon) atau rektum tumbuh secara tidak terkendali. Kanker kolorektal biasanya dimulai dengan pertumbuhan jaringan, yang disebut polip, pada lapisan dalam usus besar atau rektum, yang dapat berkembang menjadi kanker seiring waktu. Mengingat lokasinya yang di usus besar, kanker ini juga kerap disebut sebagai kanker usus besar.
Sejumlah dokter mengaku khawatir melihat tren kasus kanker kolorektal yang meningkat usia muda termasuk generasi Z, milenial, hingga generasi X. Adalah kelompok dewasa muda berusia pertengahan 20 hingga akhir 50 tahun. Meskipun kenaikan kasus kanker kolorektal pada kelompok tersebut masih didalami, ada kemungkinan pemicunya berkaitan dengan pola makan dan gaya hidup.
Menurut laporan American Cancer Society 2023, kanker kolorektal di antara orang dewasa yang berusia di bawah 55 tahun meningkat dari 11% atau 1 dari 10 orang pada 1995, menjadi 20% atau dialami 1 dari 5 orang pada 2019.
Faktor risiko yang terkait dengan meningkatnya insiden kanker usus besar di kalangan orang dewasa muda meliputi riwayat keluarga kanker usus besar dan rektum pada kerabat tingkat pertama (yaitu, orang tua, anak, atau saudara kandung) tanpa mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, kolesterol atau trigliserida tinggi, dan konsumsi alkohol yang meningkat.
Dosen Fakultas Kedokteran IPB University, dr Sulpiana Mbiomed, mengatakan, ancaman kanker kolorektal bisa disebabkan faktor genetik maupun gaya hidup yang tidak sehat. Risiko kanker kolorektal semakin besar pada individu dengan riwayat keluarga pengidap kanker.
“Gaya hidup yang tidak sehat, termasuk kurangnya aktivitas fisik dan pola makan yang tidak seimbang, juga berkontribusi signifikan dalam meningkatkan risiko kanker kolorektal pada usia muda,” ujarnya dalam laman IPB University.
Sulpiana menyebut gejala awal kanker kolorektal meliputi perubahan pola buang air besar, darah dalam feses, nyeri atau kram pada perut, penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas, serta kelelahan.
Asisten profesor Dawn Chong, konsultan senior di divisi onkologi medis salah satu klinik Singapura, mengungkap, pasien lebih muda seringnya terlambat terdiagnosis, tidak disadari sudah di stadium lanjut, dibandingkan pada kelompok lebih tua.
Ini pula yang dialami salah satu warga Singapura, Tan yang didiagnosis kanker sebelum usia 50 tahun. Ia menyadari adanya darah dalam tinja, tetapi menganggap keluhan tersebut sebagai gejala wasir, karena memiliki riwayat penyakit demikian.
Ia menunggu dua hingga tiga bulan sebelum menemui dokter umum, yang meresepkan obat wasir. Awalnya pengobatan tersebut tampak berhasil, tetapi perdarahan kembali terjadi setelah seminggu. Beberapa kali mengunjungi dokter umum dan tidak ada perbaikan, Tan –yang kini berusia 45 tahun– kemudian menemui dokter spesialis di klinik swasta. Dari kolonoskopi diketahui adanya tumor di rektumnya. Untuk mengobati kanker tersebut, ia menjalani operasi pengangkatan tumor.
Mendasarkan pengalamannya, Tan menyarankan orang-orang untuk tidak mengabaikan gejala. “Saya mengabaikan gejala darah dalam tinja,” ujarnya dikutip dari Straits Times.
Ia mendorong mereka yang ragu untuk membicarakan masalah kesehatan dengan keluarga atau teman untuk mencari informasi dari sumber yang dapat dipercaya, dan berkonsultasi dengan dokter.
Mengapa bisa terjadi?
Ada berbagai kebingungan di balik peningkatan tren kasus kanker kolorektal, terlebih beberapa pasien muda tampak sehat tanpa riwayat penyakit dalam keluarga, melakukan olahraga teratur, dan mengonsumsi makanan sehat. Faktanya, banyak pasien yang juga tidak mengalami obesitas, ikut mengidap kanker kolorektal. Padahal, sebelumnya obesitas dianggap sebagai faktor risiko utama kanker kolorektal di kalangan orang dewasa yang berusia di bawah 55 tahun.
“Dalam operasi kolorektal, kami terbiasa melihat orang yang lebih muda-tetapi hampir selalu ada alasan untuk itu karena kondisi yang mendasarinya seperti kolitis ulseratif atau sindrom kanker yang diturunkan,” kata Steven D. Wexner MD, FACS, Direktur Ellen Leifer Shulman dan Steven Shulman Digestive Disease Center di Cleveland Clinic Florida di Weston.
Dr Sulpiana menyebut, peluang kesembuhan pasien kanker kolorektal lebih tinggi bila ditemukan pada stadium awal. Agar menghindari risiko tersebut, dia menyarankan untuk melakukan skrining dengan kolonoskopi sebelum usia 40 tahun. Terutama pada mereka dengan riwayat kanker kolorektal dalam keluarga, juga individu dengan riwayat Irritable Bowel Syndrome (IBS).
Hal senada diungkap dr Lionel Chen, konsultan di departemen bedah kolorektal Singapore General Hospital. Dia menyebut peningkatan kasus di usia muda menandakan perlunya skrining dilakukan lebih awal. Terutama pada mereka yang memiliki risiko genetik, riwayat kanker di keluarga. Mengingat, saat ini kewajiban skrining masih berfokus pada usia di atas 50 tahun.
Selain darah dalam tinja, pasien kanker kolorektal kerap mengeluhkan nyeri perut, mengalami anemia, dan mendadak memiliki perubahan kebiasaan buang air besar. Sayangnya, banyak pasien yang terlambat mendapatkan diagnosis, hingga telanjur lebih sulit diobati.
Menyadari adanya keluhan seperti di atas yang disertai penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas — yang menjadi tanda kanker kolorektal– jadi penting karena dapat menyelamatkan nyawa. Mengapa, karena penyakit ini dapat dicegah dengan skrining. ret