Kisah Perjalanan Diplomat Muda Indonesia (Bagian 1): Cita-cita dan Cinta

oleh
Arya Daru Pangayunan, Sekretaris Ketiga Fungsi Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Buenos Aires.

Oleh: Arya Daru Pangayunan*

SAYA INGIN MENJADI DIPLOMAT

Apa Cita-Citamu?

DI awal masa Sekolah Menengah Atas (SMA) saya di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, saya selalu kesulitan menjawab ketika memperoleh pertanyaan, “Apa cita-citamu?”

Saya senang terbang dan dunia aviasi, sehingga ingin rasanya menjadi pilot. Namun, saya menyadari bahwa saya sangat lemah di mata pelajaran matematika dan fisika. Bagaimana mungkin saya bisa menjadi seorang pilot? Belum lagi ketika mengetahui mahalnya biaya sekolah penerbangan.

Saya juga senang dengan dunia otomotif, mengendarai mobil, dan suka sekali menonton balap Formula 1. Namun saya menyadari, dengan modal yang terbatas, apakah mungkin saya menjadi pembalap?

Saya sudah mulai cukup dewasa untuk menyadari bahwa cita-cita menjadi pilot dan pembalap bagi saya hanyalah sebuah mimpi. Sayapun tidak berusaha untuk mewujudkan cita-cita itu karena saya anggap mustahil. Karenanya, hingga saat itu saya belum memiliki cita-cita yang merasa harus saya perjuangkan dengan sungguh-sungguh.

Menemukan Cita-Cita

Ketika duduk di bangku kelas 2 SMA, saya cukup dekat dengan seorang adik kelas yang duduk di bangku kelas 1 bernama Marisa Surya. Di hari pertama masuk sekolah setelah libur Lebaran, dia menghampiri saya.
“Kak, mau coklat ga?”
“Wah, mantep nih, dari mana ini Dek?” tanya saya sambil membuka bungkus coklat.
“Risa habis dari Paris Kak, liburan di tempat Papa. Mau liat foto-fotonya Kak?”

Marisa mengeluarkan foto-foto yang dicetak ukuran 4R dan menunjukkannya satu per satu.
“Kemarin jalan-jalan pakai mobil Papa Kak.” Marisa menunjukkan foto di mana ia berdiri di depan sebuah New Beetle yang tampak masih baru.
“Trus kemarin sempat jalan ke Monako juga Kak”, sambil menunjukkan foto Marisa dan Papanya berdiri di depan terowongan legendaris yang menjadi bagian dari sirkuit jalan raya F1 Monako.

“Glek”, saya sebagai penggemar otomotif dan balap Formula 1 dibuatnya iri bukan main. “Enak banget bisa punya mobil bagus dan jalan-jalan ke sirkuit F1 di Monako”, dalam hati saya.

Saya pun bertanya, “Papa kerja apa Dek? Kok sampai Paris?”.
“Papa diplomat, Kak.” Kalimat itulah yang membentuk masa depan saya. “Papa diplomat, Kak.”

Saya pun ingin mengetahui lebih jauh mengenai Ayah Marisa. Ternyata Ayah Marisa adalah Bapak Aji Surya yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Pertama di KBRI Paris.

Marisa menceritakan banyak mengenai pekerjaan Ayahnya dan saat itu juga, dengan pikiran yang sangat pendek, namun yakin, saya bertekad ingin menjadi diplomat, dengan alasan yang cukup sepele, agar bisa sering terbang, bisa mengemudikan mobil-mobil bagus di luar negeri, dan mengunjungi sirkuit-sirkuit F1.

Tapi tidak disangka, pikiran yang sangat pendek itu bisa mengubah jalan hidup saya dan menjadi cita-cita yang benar-benar niat untuk saya perjuangkan.

Saya kemudian mencari tahu dan mendapatkan informasi bahwa untuk menjadi diplomat, harus pandai di bidang ilmu hubungan internasional. Karenanya, saya fokus untuk belajar bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) agar nantinya dapat diterima di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional.

Dengan adanya dorongan yang kuat untuk menjadi seorang diplomat, ketika duduk di bangku kelas 3 SMA, secara akademis saya cukup sukses. Saya mendapatkan nilai tertinggi ujian nasional bidang studi IPS di sekolah saya dan diterima sebagai mahasiswa S1 di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Di HI UGM ini justru niat dan tekad saya diuji. Ilmu HI tidak semudah yang saya bayangkan. Terlebih lagi, saya berada di salah satu kampus terbaik di Indonesia, di salah satu jurusan yang paling menjadi incaran, dimana teman-teman saya adalah orang-orang hebat pilihan yang berasal dari seluruh Indonesia.

Seharusnya ini membuat saya semakin semangat berada di antara mahasiswa yang bisa disebut sebagai best of the best. Tetapi tidak, justru mental saya menjadi ciut. Saya tidak percaya diri. Mengenai cita-cita menjadi diplomat, ketika itu saya jadi sering berpikir, bagaimana bisa saya masuk Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bersaing dengan teman-teman yang jauh lebih pintar daripada saya?

Di masa-masa kuliah inilah justru passion saya sempat hilang, tidak lagi memiliki dorongan dan cita-cita. Bangku perkuliahan saya jalankan sekedar “autopilot”, dengan output nilai yang tidak bagus, juga tidak buruk, bisa dibilang average. Saya tidak aktif berorganisasi dan tidak pula memiliki kegiatan produktif di luar kuliah.

No More Posts Available.

No more pages to load.