Laporan dari Jerman: Culture Shock Hijrah ke Kota Kecil

oleh
Anggit Zaqi bersama suami dan anaknya saat momen perayaan Natal.
Anggit Zaqi bersama suami dan anaknya saat momen perayaan Natal.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Peribahasa itu menggambarkan perbedaan tradisi, budaya, hingga bahasa di banyak negara. Karena itu, bila seseorang pendatang baru di sebuah negara tidak mampu beradaptasi memahami makna peribahasa itu, pasti akan mengalami gegar budaya. Anggit Zaqi, diaspora Indonesia di Jerman, pernah merasakannya.  
Oleh Gatot Susanto

SAAT ini Anggit Zaqi sekeluarga tinggal di kota kecil. Namanya Schwäbisch Hall. Dia sekeluarga sebelumnya tinggal di kota metropolitan Munich. Hijrah dari kota besar yang serba gemerlap ke kota kecil yang sunyi sepi sempat membuatnya syok.

“Culture shock buat saya (pindah ke kota baru), meskipun masih di Jerman. Di sini masyarakatnya sangat konservatif, kebanyakan Protestan dan pelit. Bahasa beda, jam buka toko juga beda. Dan di kota kecil ini kebanyakan orang punya rumah, sedangkan di kota (Munich), mayoritas tinggal di apartemen,” kata Anggit Zaqi kepada DutaIndonesia.com dan Global News.

Culture shock yang dimaksud adalah perasaan di mana seseorang merasa tertekan dan terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan dan budaya baru. Anggit berasal dari Indonesia dengan budaya guyup gotong royong. Pindah ke Munich yang metropolitan dan sekarang tinggal di kota kecil dikitari desa-desa tapi warganya cenderung individualistis.

“Jadi di kota kecil, fasilitas publik gak terlalu dipakai. Playground gitu kosong, mereka lebih senang main di halaman rumah masing-masing,” kata Anggit.

Wanita asal Pontianak Kalimantan Barat ini sejak 2015 sampai 2023 tinggal di Munich. Dia pun bertemu dan berkenalan dengan beberapa orang Indonesia di kota ini. “Di sini ada beberapa orang Indonesia yang saya kenal,” ujarnya.

Namun kemudian keluarganya pindah ke kota baru tersebut. Lalu apa alasan mereka pindah ke kota kecil itu?

“Saat di Munich kami tinggal di apartemen kamar 3. Tahun 2021 anak pertama kami lahir dan 2023 lahir anak kedua, dan suami kerjanya 100% Home Office. Jadi kami butuh tempat tinggal yang lebih besar,” jelasnya.

Secara kebetulan, kata dia, sang mertua  tinggal di Schwäbisch Hall. Karena itu, supaya anak-anak bisa tumbuh dekat dengan keluarga, Anggit Zaqi bersama suami dan anak-anaknya  pun memutuskan untuk pindah ke kota tersebut.

“Lagi pula harga sewa rumah di sini jauh lebih murah. Namun kondisi kami saat ini bisa tinggal di mana saja, karena suami kerja full time dari rumah dan saya masih cuti melahirkan plus membesarkan anak (Elternzeit) selama 6 tahun untuk 2 anak,” katanya.

Anggit bekerja sebagai perawat di klinik universitas di Munich dan suaminya seorang Ingenieur bagian Automobile. Karena itu dia pun akhirnya harus bisa menyesuaikan diri tinggal di tempatnya yang baru.

“Saya sekarang belum banyak kenal orang Indonesia di sini karena gak ada perkumpulannya. Masjid Indonesia terdekat juga di Stuttgart. Insha Allah Sabtu tanggal 4 Mei ada Halal bi Halal,” katanya.

Schwäbisch Hall adalah salah satu kota di negara bagian Baden-Württemberg, Jerman. Kota tradisional yang kaya akan peninggalan sejarah. Memang sunyi dan sepi, namun indah nan cantik.

Di kota ini mengalir salah satu sungai yang bernama Sungai Kocher. Schwäbisch Hall adalah kota kecil dengan sekitar 37.000 penduduk. Sektor ekonomi ditopang utamanya bidang perdagangan dan jasa.

Schwäbisch Hall dikenal pula sebagai salah satu kota tempat kursus Bahasa Jerman terbaik, sehingga banyak pelajar dari luar Jerman menimba ilmu dan kursus bahasa di kota ini.

Terdapat pula banyak bangunan-bangunan dengan gaya arsitektur tradisional. Bangunan-bangunan bersejarah sisa Perang Dunia tetap dilestarikan sebagai magnet wisata.

“Wisata di sini memang lebih ke bangunan bekas Istana, gereja tua, naik parahu di Sungai Kocher, hiking ke hutan, gitu-gitu aja sih,” ujarnya.

Nah, kota ini memang cocok bagi mereka yang menginginkan ketenangan, suasana yang nyaman dan asri. Cocok bagi mereka yang menggemari sejarah masa lalu. Tapi bagi yang biasa tinggal di kota besar memang terasa sunyi.

“Karena mungkin saya lama tinggal di Munich, terus kami pindah ke kota kecil. Yang beda banget kulturnya. Tapi ya nerimo aja mas (Menerima saja). Pelan-pelan adaptasi di kota kami yang sekarang ini,” katanya.

Anggit lalu membandingkan antara Kota Munich dan Schwäbisch Hall. Misalnya saat Idul Fitri. Saat Idul Fitri, kata dia, di Munich biasanya meriah sebab ada komunitas muslim Indonesia yang banyak anggotanya di kota tersebut. Bahkan mereka di sana sudah bisa menyewa ruangan yang digunakan sebagai masjid.

“Bahkan selama Ramadan mereka juga aktif, pengajian untuk ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak juga ada. Sering buka puasa bersama, setiap hari sih kayaknya bahkan kalo weekend itu rame banget yang datang. Ada sholat Subuh berjamaah yang dilanjutkan dengan kajian juga,” katanya.

Sementara di desa, di kotanya yang baru, karena mayoritas juga non-muslim, tidak terasa sama sekali baik Ramadhan maupun Lebaran Idul Fitri.

“Dan mereka masih sangat kuat beragama, ya gak berasa kalau Ramadan atau Idul Fitri. Tapi kalau di kota besar seperti Munich penduduknya sudah multikultural. Lebih open minded, beda dengan di sini (Schwäbisch Hall),” katanya.

Anggit  menikah dengan pria Jerman. Saat itu tahun 2016, dia dan calon suaminya bertemu di U-Bahn Subway di Kota Munich. “Lalu kenalan. Dan kami menikah di Jerman tahun 2020. Sekarang alhamdulillah, sudah empat tahun, dan  sudah ada anak 2 orang,” katanya. (*)

 

 

 

No More Posts Available.

No more pages to load.