Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat: Preseden Hukum atau Anomali Yudisial?

oleh

Oleh: Ludfi, S.H.I, M.H (Pengacara dan dosen di STAI Al Mujtamak Pamekasan)

Pendahuluan

Fenomena pembekuan berita acara sumpah advokat oleh Pengadilan Tinggi Banten dengan nomor: 52/KPT.W29/HM.1.1.1/II/2025 terhadap Advokat Firdaus Oiwobo, S.H. dan Pengadilan Tinggi Ambon dengan nomor: 44/KPT.W27/HM.1.1.1/II/2025 terhadap Advokat Razman Arif Nasution, S.H telah menimbulkan perdebatan serius dalam lanskap hukum Indonesia.

Keputusan ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan menyentuh aspek mendasar terkait otoritas peradilan, independensi advokat, serta keseimbangan antara etika profesi dan kewenangan yudisial.

Peran advokat dalam sistem peradilan tidak hanya terbatas sebagai pembela kepentingan hukum klien, tetapi juga sebagai penegak hukum yang memiliki peran krusial dalam menjamin keadilan. Oleh karena itu, setiap tindakan yang membatasi ruang gerak advokat harus dilakukan dengan hati-hati dan berlandaskan hukum yang jelas.

Pembekuan berita acara sumpah advokat menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai dasar kewenangan pengadilan dalam menentukan kelayakan seseorang untuk menjalankan profesi advokat setelah memenuhi semua persyaratan hukum yang telah ditetapkan.

Selain itu, tindakan ini juga menimbulkan dampak psikologis dan profesional bagi advokat yang terkena kebijakan tersebut. Seorang advokat yang telah mengucapkan sumpah di hadapan pengadilan tinggi tentunya telah melalui berbagai tahapan seleksi dan pelatihan profesi yang ketat.

Jika kemudian pengadilan memiliki kewenangan untuk membekukan sumpah tersebut tanpa proses hukum yang jelas, maka hal ini berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum serta mengganggu stabilitas profesi advokat di Indonesia.

Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan pembekuan sumpah ini juga berisiko menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum. Masyarakat akan mempertanyakan independensi dan profesionalisme institusi hukum jika tindakan semacam ini dilakukan tanpa dasar hukum yang kokoh.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam untuk memahami apakah pembekuan sumpah advokat ini merupakan langkah yang sah dan berlandaskan hukum, atau justru merupakan bentuk anomali yudisial yang berbahaya bagi keberlanjutan profesi advokat di Indonesia.

Relevansi dan Dasar Hukum

Sebagai bagian dari sistem peradilan, advokat memperoleh legitimasi melalui berita acara sumpah yang diambil di hadapan pengadilan tinggi.

Hal ini berlandaskan pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.

Sumpah ini merupakan bentuk pengakuan resmi yang memberikan advokat kewenangan penuh untuk menjalankan tugas profesinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Namun, tindakan pengadilan dalam membekukan atau membatalkan berita acara sumpah menimbulkan perdebatan yuridis terkait batas kewenangan institusi peradilan terhadap profesi advokat.

Jika pembekuan ini dilakukan tanpa mekanisme hukum yang jelas, maka tindakan tersebut berpotensi melanggar prinsip fairness dan rule of law.

Prinsip ini menuntut bahwa setiap kebijakan yang membatasi hak individu harus memiliki dasar hukum yang tegas serta melalui proses hukum yang akuntabel. Selain itu, pembekuan sumpah advokat dapat dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap independensi profesi advokat.

Profesi advokat secara hukum memiliki posisi yang sejajar dengan aparat penegak hukum lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat.

Oleh karena itu, setiap upaya untuk membatasi legitimasi advokat harus dilakukan dengan prosedur yang ketat dan berbasis pada hukum yang berlaku agar tidak merusak keseimbangan dalam sistem peradilan.

Implikasi lainnya adalah bahwa pembekuan sumpah advokat berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum, baik bagi advokat yang bersangkutan maupun masyarakat yang membutuhkan layanan hukum.

Jika pengadilan dapat secara sepihak membekukan sumpah advokat, maka hal ini dapat menjadi preseden bagi tindakan serupa di masa mendatang, yang pada akhirnya dapat merusak tatanan hukum yang selama ini telah dibangun berdasarkan prinsip keadilan dan kepastian hukum.

Implikasi terhadap Independensi Profesi Advokat

Dalam doktrin hukum modern, advokat dipandang sebagai salah satu pilar penegakan hukum yang independen dan tidak berada di bawah subordinasi lembaga peradilan. Pasal 5 ayat (1) UU Advokat secara eksplisit menegaskan bahwa advokat berstatus sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, pembekuan berita acara sumpah dapat berimplikasi pada delegitimasi profesi advokat serta berpotensi menciptakan preseden yang mengancam kemandirian advokat dalam sistem peradilan.

Jika pengadilan memiliki kewenangan absolut dalam menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menjadi advokat, maka hal ini dapat membuka ruang bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat menghambat keberlanjutan profesi ini.

Pembekuan sumpah advokat juga dapat merusak hubungan keseimbangan antara advokat, pengadilan, dan institusi penegak hukum lainnya. Profesi advokat, yang seharusnya berperan sebagai mitra strategis dalam menegakkan keadilan, justru berpotensi menjadi objek kontrol yang tidak proporsional oleh lembaga peradilan.

Hal ini tentu berlawanan dengan semangat konstitusional yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan hukum dan akses terhadap keadilan.

Selain itu, ketidakpastian hukum yang diakibatkan oleh pembekuan sumpah advokat dapat berdampak langsung pada klien yang tengah berperkara.

Masyarakat yang mencari keadilan akan semakin sulit memperoleh kepastian dalam memilih advokat yang sah untuk mewakili kepentingan hukumnya.

Jika advokat yang telah diangkat secara sah kemudian kehilangan legitimasi hanya karena keputusan administratif yang tidak berdasar hukum kuat, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum itu sendiri.

Dalam jangka panjang, pembekuan sumpah advokat yang tidak berlandaskan mekanisme hukum yang jelas dapat menyebabkan erosi terhadap nilai-nilai independensi dalam profesi advokat.

Advokat dapat menjadi semakin rentan terhadap tekanan eksternal yang mengancam kebebasan mereka dalam menjalankan tugasnya.

Oleh karena itu, perlu ada kajian ulang terhadap kebijakan ini agar tidak menciptakan preseden yang merugikan sistem peradilan secara keseluruhan.

Diskursus Etika vs. Otoritas Yudisial

Argumen yang sering digunakan dalam pembekuan sumpah advokat adalah persoalan etika dan integritas individu. Dalam kasus ini, pembekuan sumpah Advokat Firdaus Oiwobo, S.H. dan Advokat Razman Arif Nasution, S.H. dilakukan atas dasar dugaan kegaduhan yang mereka timbulkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis, 6 Februari 2025 dalam perkara nomor: 1057/Pid.B/2024/PN.Jkt.Utr.

Pengadilan beranggapan bahwa tindakan mereka telah berimplikasi pada citra, marwah, dan wibawa lembaga peradilan. Namun, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah pengadilan memiliki kewenangan untuk membatalkan sumpah advokat tanpa adanya mekanisme peradilan yang jelas?

Jika persoalan etik menjadi dasar utama, seharusnya ada mekanisme etik internal dalam organisasi advokat yang lebih berwenang dalam melakukan evaluasi etik dan memberikan sanksi profesional.

Advokat yang diduga melanggar kode etik seharusnya mendapatkan kesempatan untuk membela diri melalui mekanisme yang telah diatur dalam kode etik profesi dan Dewan Kehormatan Advokat, bukan melalui tindakan sepihak dari pengadilan.

Dalam prinsip due process of law, setiap tindakan hukum yang bersifat sanksi harus melalui proses yang transparan, akuntabel, dan berbasis aturan hukum yang tegas.

Pembekuan sumpah tanpa putusan pengadilan yang sah dapat menimbulkan kekacauan hukum serta membuka ruang bagi intervensi yang dapat menggerus supremasi hukum.

Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar dalam sistem peradilan, di mana hukum harus diterapkan secara adil dan prosedural terhadap semua pihak, termasuk terhadap advokat.

Jika pengadilan memiliki kewenangan untuk secara sepihak membekukan sumpah advokat, maka advokat kehilangan haknya untuk memperoleh perlakuan yang adil dalam sistem hukum.

Selain itu, advokat merupakan bagian dari pilar utama penegakan hukum yang kedudukannya sejajar dengan lembaga peradilan lainnya.

Jika pembekuan sumpah dapat dilakukan tanpa proses hukum yang memadai, maka ini menjadi indikasi adanya upaya pelemahan terhadap profesi advokat yang independen.

Advokat seharusnya berada di bawah pengawasan organisasi advokat dan Dewan Kehormatan yang memiliki wewenang untuk mengadili dan menjatuhkan sanksi berdasarkan pelanggaran kode etik yang jelas.

Oleh karena itu, pembekuan sumpah yang dilakukan oleh pengadilan tanpa proses hukum yang transparan justru dapat berpotensi menciptakan ketidakadilan dan melahirkan preseden yang tidak sehat dalam sistem peradilan.

Implikasi lebih jauh dari fenomena ini adalah munculnya ketidakpastian hukum dalam profesi advokat. Jika pembekuan sumpah advokat dapat dilakukan dengan alasan yang tidak jelas, maka hal ini dapat berdampak negatif terhadap calon advokat yang sedang dalam proses pengangkatan dan terhadap advokat yang telah menjalankan profesinya selama bertahun-tahun.

Keputusan ini bisa menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk membungkam advokat yang kritis atau berseberangan dengan kepentingan tertentu, sehingga mengancam independensi profesi advokat sebagai penegak hukum yang mandiri.

Oleh karena itu, perlu ada penguatan regulasi yang memastikan bahwa pembekuan sumpah advokat hanya dapat dilakukan melalui mekanisme hukum yang transparan dan adil.

Preseden atau Anomali?

Jika pembekuan berita acara sumpah ini dibiarkan menjadi praktik yang lumrah, maka hal ini dapat membentuk preseden hukum yang “berbahaya”. Pengadilan Tinggi, yang seharusnya bertindak sebagai penjamin keadilan, justru dapat berperan sebagai aktor penentu kelayakan profesi advokat di luar batas kewenangannya.

Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak kredibilitas sistem hukum Indonesia serta menghambat regenerasi advokat yang kompeten.

Jika pengadilan diberi kewenangan mutlak untuk menilai kelayakan sumpah advokat, maka advokat berisiko kehilangan kebebasannya dalam menjalankan tugas profesinya.

Sebaliknya, jika tindakan ini merupakan anomali, maka perlu ada evaluasi mendalam terhadap motif dan implikasi hukumnya agar tidak mencederai sistem hukum nasional.

Pengadilan harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berpotensi menghambat akses terhadap keadilan dan independensi profesi advokat.

Peran organisasi advokat dalam mengawasi dan menindak advokat yang melanggar kode etik harus lebih diperkuat agar pengadilan tidak mengambil alih kewenangan yang seharusnya berada di ranah profesi advokat itu sendiri.

Lebih jauh, fenomena ini juga dapat menimbulkan efek domino dalam sistem hukum Indonesia. Jika praktik pembekuan sumpah advokat dilakukan tanpa mekanisme hukum yang jelas, maka bukan tidak mungkin hal ini menjadi alat untuk mengontrol atau menekan advokat yang tidak sejalan dengan kepentingan tertentu.

Oleh karena itu, sistem hukum yang ada harus mampu menjamin bahwa advokat tetap dapat menjalankan perannya tanpa takut akan intervensi dari pihak manapun, termasuk dari pengadilan yang seharusnya hanya berfungsi sebagai pengawas dalam lingkup yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Selain itu, pengadilan sebagai institusi yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan objektivitas seharusnya lebih selektif dalam mengambil langkah-langkah yang berkaitan dengan legitimasi profesi advokat.

Setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan, serta memberikan kesempatan kepada pihak yang terdampak untuk melakukan pembelaan.

Tanpa adanya mekanisme yang adil, maka keputusan tersebut hanya akan melahirkan ketimpangan dalam sistem peradilan.

Kesimpulan

Pembekuan berita acara sumpah advokat oleh pengadilan tinggi adalah fenomena yang problematis dan menimbulkan polemik yuridis. Jika tindakan ini dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa melalui mekanisme peradilan yang fair, maka ia dapat dikategorikan sebagai anomali yudisial yang mengancam independensi profesi advokat.

Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi kebijakan hukum yang memastikan bahwa setiap tindakan terhadap advokat tetap berada dalam koridor hukum yang sah dan sesuai dengan prinsip due process of law serta supremasi hukum.

Dalam rangka memperbaiki sistem hukum yang lebih adil dan transparan, perlu ada sinergi antara pengadilan dan organisasi advokat dalam menegakkan kode etik profesi tanpa melanggar prinsip independensi advokat.

Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan hukum, perlindungan profesi, dan akses terhadap keadilan bagi masyarakat. Dengan sistem hukum yang adil dan transparan, supremasi hukum dapat ditegakkan secara konsisten dan berkelanjutan. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.