OKLAHOMA| DutaIndonesia.com – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semakin gencar membasmi imigran ilegal. Sejak dilantik pada 20 Januari 2025, Trump telah menangkap 8.000 imigran dan melakukan deportasi secara bertahap. Termasuk di antara imigran tersebut, ada 4 Warga Negara Indonesia (WNI) yang turut ditangkap. Salah satunya yang tinggal di San Francisco sudah dideportasi.
Berdasarkan laporan per 24 November 2024, ada 4.276 WNI tercatat dalam daftar “final order of removal” Imigrasi dan Bea Cukai AS atau ICE. Mereka berisiko dideportasi dari AS.
Dr Natarianto Indrawan, diaspora Indonesia yang sekarang tinggal di Oklahoma, Amerika Serikat, kepada DutaIndonesia.com, Kamis (27/3/2025), mengatakan, bahwa melihat situasi serba sulit ini WNI di AS harus saling membantu, termasuk membantu meringankan beban WNI yang berstatus ilegal tersebut.
“Kalau ada yang berstatus ilegal apa yang bisa dibantu untuk meringankan situasi mereka. Sebagai minoritas di Amerika ini hendaknya kita lebih guyup, saling membantu agar meringankan WNI yang lain,” katanya.

Dia mengatakan, tidak semua negara bagian setuju dengan kebijakan anti-imigran dari Pemerintahan Trump. Biasanya negara bagian ini merupakan basis pendukung Partai Demokrat. Nah ada WNI yang tinggal di wilayah negara bagian yang memiliki kebijakan melindungi imigran tersebut.
“Tidak semua negara bagian setuju dengan Trump, dari 50 state ada yang pro-imigran. Misalnya New Jersey atau New York, di mana walikotanya sempat mengimbau agar imigran tidak keluar dari wilayah tersebut sebab bila keluar dari wilayah itu maka akan lebih riskan terkena sweeping. Dan bila tetap di wilayah negara bagian itu pemerintah lokal akan berusaha mengayomi semampunya. Jadi kebijakan negara bagian di Amerika sini berbeda-beda. Hal sama dilakukan California. Sebagan besar negara bagian yang menjadi basis Partai Demokrat cenderung memproteksi imigran,” katanya.
Untuk itu dia mengimbau agar WNI yang akan masuk Amerika lebih berhati-hati. Harus masuk secara legal. Bukan memakai visa turis, misalnya, untuk selanjutnya dipakai bekerja.
“Harus lebih siaga, berangkat ke AS harus dengan status yang baik, legal, jangan ilegal, studen atau mahasiswa ya untuk sekolah, visa turis ya melakukan kunjungan yang betul. Sangat riskan, bila kena sweeping akan kena blacklist dan selanjutnya akan sulit masuk lagi ke AS,” ujarnya.
Saat ini Pemerintahan Trump sangat konsen memerangi imigran gelap. Bahkan, imigran yang sudah memiliki social security number yang artinya dianggap legal juga terancam deportasi.
“Umumnya kalau sudah punya nomor keamanan sosial, mereka bisa membayar pajak, menjadi legal, bisa bekerja dengan hal itu. Hal itu menjadi proteksi dari negara. Tapi sekarang tidak, bisa kena deportasi juga. Banyak yang kena sweeping. Paling banyak kena sweeping dari China dan India. Ini bukan kebijakan baru sebab dalam masa kepresidenan sebelumnya, Trump sama. Kini semakin ketat setelah masuknya Elon Musk dalam jajaran pemerintahan yang dipimpin Trump,” katanya.
Elon Musk bos Twitter atau X yang juga pendiri SpaceX itu sekarang memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah (US Department of Government Efficiency atau DOGE)) bersama mantan kandidat presiden dari Partai Republik, Viviek Ramaswamy.
“Ini unik kita amati sebab Elon Musk otaknya bisnis, Trump juga bisnis, sehingga keduanya melakukan sapuh bersih. Bagi mereka yang tidak produktif dipensiunkan, sehingga banyak pengangguran akibat banyak pegawai pemerintah pensiun,” ujarnya.
Hal ini, kata dia, membuat lapangan pekerjaan di AS semakin sulit sebab juga jadi rebutan para eks pegawai pemerintah ini. “Alhamdulillah saya sudah mundur dari lingkungan pemerintah sejak tahun 2022. Jadi wiraswasta murni sekarang, tapi bagi mereka yang baru menjalani ini tentunya akan sedikit sulit, masa transisi, tidak mudah mendapat pekerjaan sekarang,” ujarnya.
Seperti diketahui Pemerintahan Trump meluncurkan aplikasi baru untuk imigran ilegal di AS agar bisa melakukan deportasi mandiri (self-deport) sehingga mereka tidak perlu menghadapi penangkapan dari petugas untuk dideportasi secara paksa. Aplikasi bernama ‘CBP Home’ tersebut menawarkan opsi bagi para imigran gelap untuk melaporkan diri dan mengemukakan niat mereka untuk pulang ke negara asal secara sukarela.
“Aplikasi CBP Home memberikan opsi bagi para ‘alien’ untuk pergi dan melakukan deportasi mandiri. Dengan begitu, mereka memiliki peluan untuk kembali ke AS secara legal di masa depan dan menjalani hidup impian di AS,” kata Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem dalam pernyataan yang dikutip dari Reuters.
“Jika mereka tidak [melapor dan mengajukan diri], kami akan menemukan mereka, melakukan deportasi, dan tidak akan membiarkan mereka kembali,” katanya menambahkan.
Regulasi yang ditetapkan pemerintahan Trump akan berlaku pada 11 April 2025. Kebijakan itu akan membuat orang-orang yang tidak memiliki status legal untuk tinggal di AS menghadapi ancaman denda dan penjara.
Aplikasi CBP Home menggantikan aplikasi CBP One yang diluncurkan pada pemerintahan Joe Biden. CPB One memiliki fitur yang memungkinkan sekitar satu juta migran di Meksiko untuk menjadwalkan janji temu guna meminta masuk di perbatasan resmi. Politisi Republik mengkritisi program Biden. Mereka menilai program itu memfasilitasi migrasi massal ke AS dan tidak memeriksa migran secara memadai.
Trump pun menonaktifkan CBP One beberapa jam setelah masuk ke Gedung Putih. Hal ini membuat banyak perjanjian yang diajukan imigran tertunda dan tak jelas nasibnya.
Trump juga akan mencabut status hukum sementara 530 ribu warga Kuba, Haiti, Nikaragua, dan Venezuela di negaranya. Informasi resmi Federal Register, keputusan ini adalah perluasan kebijakan kerasnya terhadap imigrasi dan akan berlaku mulai 24 April. Trump mengatakan pada 6 Maret lalu bahwa ia akan segera memutuskan pencabutan status pembebasan bersyarat dari sekitar 240 ribu warga Ukraina yang melarikan diri ke AS selama konflik dengan Rusia. (gas/rtr)