Urgensi Tawadhu’ dalam Dakwah

oleh
Imam Shamsi Ali (Foto: CNNIndonesia)

Oleh Imam Shamsi Ali* 



SERINGKALI kata tawadhu’ dimaknai dengan ketidakinginan tampil atau menampakkan diri dan karya dalam kebaikan. Padahal tampaknya atau tampilnya seseorang dalam kebaikan dan karya tidaklah selalu bermakna keangkuhan. Tidak juga selalu bermakna dan dimaknai sebagai riya’ (show off). 

Dalam kebaikan dan karya dua kata sensitif (angkuh dan riya’) itu perlu diselami, dihayati, dan disikapi secara jeli dalam penghakiman. Jika tidak, kemungkinan besar kita akan terjatuh ke dalam perilaku keangkuhan (dan riya’). Atau sebaliknya terperangkap dalam “penghakiman negatif” terhadap orang lain yang justeru sedang membangun kebaikan dan karya. 

Karakter terbalik dari angkuh dan riya’ adalah tawadhu’ dan ikhlas. Keduanya adalah dua karakter manusia yang bernilai tinggi dan (valuable) mulia (noble). Walau memang sering menjadi tipuan yang tidak disadari dalam kehidupan manusia. 

Masalahnya ada pada “perasaan”. Orang yang “merasa” paling tawadhu’ justeru itu sudah merupakan keangkuhan. Atau seseorang “merasa” ikhlas justeru bisa jadi bagian dari riya’. 

Masalahnya memang “perasaan” manusia itu sering menipu. Merasa tawadhu’, merasa ikhlas, merasa pintar, merasa hebat, merasa mampu, merasa kuat, dan berbagai “perasaan” telah banyak menipu manusia. Dan karenanya Sesungguhnya yang terbaik dalam menyikapi semua itu adalah biarkanlah Dia Yang “Ahkamul Hakimin” (Allah) menghakimi. Karena Dia lebih tahu tentang diri kita dari kita sendiri. 

Tawadhu’ dalam dakwah 

Salah satu hal yang menuntut sikap dan karakter tawadhu’ (pastinya ikhlas) adalah kerja-kerja dakwah yang kita lakukan. Hal itu penting karena secara prinsip dakwah itu adalah ajakan kepada nilai (ilaa sabiili Allah). Dan tawadhu adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup manusia. Sehingga ajakan kepada nilai mulia (Dakwah) tapi tidak bernilai mulia (berkarakter) adalah “self paradox” (kontras pada dirinya). 

Ketawadhuan dalam dakwah hendaknya bermula dari karakter sang da’i yang mengakui ketidaksempurnaan dan ragam kekurangan dalam berislam. Bahwa Islam itu dalam keyakinan kita sempurna. Tapi manusia yang berusaha mengikutinya, termasuk mereka yang di jalan Dakwah ini (para da’i) jauh dari kesempurnaan. 

Kesadaran akan kekurangan kita dalam berislam itu menjadi motivasi untuk kita bermujahadah lagi dalam menambah kwalitas keislaman itu. Yang dengannya akan menjadi jalan untuk meningkatnya kwalitas Dakwah. Karena memang kwalitas Dakwah itu ada pada “ketauladanan” dalam berislam itu sendiri. 

Sebaliknya bahaya dan malapetaka terbesar dalam dakwah ada pada karakter da’i yang angkuh. Merasa sempurna, merasa mampu, merasa superman. Mungkin ini pulalah salah satu makna ketika Rasulullah SAW justeru diperintah meminta “Istigfar” di akhir hayatnya. Setelah kesuksesan Dakwah beliau justeru diperintah meminta ampun (lihat Surah An-Nasr Al-Quran). 

Tawadhu’ dalam dakwah juga ada pada bagaimana melihat “obyek Dakwah” itu sendiri. Bahwa siapapun dan bagaimanapun keadaannya semua orang memiliki sisi kebaikan dalam dirinya. Bahwa pada manusia itu ada jati diri yang paling mendasar yang tidak akan berubah. Itulah fitrah manusia. 

Maka da’i yang tawadhu akan melihat semua orang dengan pandangan positif. Tidak menghakimi siapapun karena apapun dan bagaimanapun keadaannya. Tentu hal ini juga berarti bahwa da’i yang tawadhu’ akan selalu memandang obyek Dakwah dengan mata positif. 

Ada sebuah pepatah terkenal yang mengatakan: “nahnu du’aatun, lasna qudhootun” (kita adalah du’at dan bukan qadhi atau hakim). 

Ketawadhuan pada sisi ini (memandang obyek Dakwah dengan mata positif) sesungguhnya menjadi peringatan kepada Rasulullah SAW berkali-kali dalam Al-Quran. Satu contoh di antaranya ketika Allah berfiman: “Sesungguhnya engkau tidak mampu memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau cintai. Tapi Allah memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”. 

Ayat ini dan banyak lagi ayat lain Al-Quran menggambarkan bahwa konsep hidayah dalam dakwah itu ada di tangan Allah. Ini sekaligus bermakna bahwa kemungkinan untuk seseorang mendapat hidayah itu selalu ada. 

Maka di satu sisi seorang da’i akan positif dalam melihat obyek dakwah (orang yang di dakwahi). Di sisi lain pandangan ini akan menjadikannya optimistik dalam menjalankan amanah dakwahnya.

Ketawadhuan (pandangan positif) kepada obyek Dakwah juga menyadarkan kita bahwa Dakwah itu tidak pernah, dan pastinya dilarang agama, untuk memaksakan Dakwah kepada orang lain. “Tiada pemaksaan dalam agama” (Al-Baqarah 256) adalah ayat yang sangat masyhur. 

Pada akhirnya poin yang ingin saya sampaikan adalah biarkanlah perjuangan dakwah itu mengalir bagaikan air sejuk. Mengalir secara alami tanpa perasaan hebat (angkuh atau riya’). Tapi juga mengalir sesuai ajaran dan ridho Allah. Dijalankan dengan mata positif, baik kepada obyek Dakwah, terlebih lagi kepada “hidayah” yang memang ketentuannya ada di tangan Pencipta hamba-hambaNya. 

Semoga Allah menjaga hati kita, dan menjaga kita selalu di jalanNya. Amin!  (*)


NYC, 28 September 2021 
* Presiden Nusantara Foundation

No More Posts Available.

No more pages to load.