SURABAYA | DutaIndonesia.com — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah daerah, khususnya Pemkab Pacitan, Jawa Timur, untuk bersiap menghadapi potensi gempa dan tsunami besar yang mengintai pesisir pantai selatan Jawa. Potensi bencana ini bisa terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia.
Pakar geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Ir Amien Widodo MSi, mengatakan, pemodelan yang dilakukan BMKG yang menyebutkan gempa besar berpotensi mengguncang Jatim diprediksi bakal berkekuatan magnitudo 8,7 disertai tsunami setinggi 29 meter, merupakan langkah awal yang tepat.
BMKG bukan tanpa alasan menyebutkan skenario terburuk yang mungkin menimpa pantai selatan Jawa.
Daerah Jawa Timur terbentuk karena adanya tumbukan lempeng Eurasia dan Indo-Australia, sehingga menjadi suatu keharusan untuk meneliti bab kegempaan di Jatim.
Terlebih lagi, tambah Amien, tumbukan lempeng yang menyusun Jawa Timur ini jaraknya sekitar 250 sampai 300 kilometer ke garis pantai. Hal itu menunjukkan gempa sangat mungkin terjadi di berbagai titik, di wilayah yang ada di sekitar zona subduksi, yakni zona tempat terjadinya tumbukan itu.
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS ini mengungkap, worst scenario itu diumumkan karena frekuensi gempa yang terjadi di Jatim terbilang sangat tinggi.
Tingginya intensitas terjadinya gempa ini patut dicurigai, belajar dari gempa besar Yogyakarta pada 27 Mei 2006 silam. Salah satu yang menjadi pertanda sebelum gempa Yogya itu terjadi adalah terekam aktivitas kegempaan yang semakin sering.
Amien juga menyebut, setiap terjadi bencana selalu ada desa terisolir. Gempa, tsunami, dan likuifaksi Palu menyebabkan banyak desa terisolir karena banyak infrastruktur yang rusak tidak bisa dilewati kendaraan. Tsunami Banten kembali menyebabkan banyak desa terisolir. Jadi sudah waktunya desa memberdayakan diri agar bisa survive, katanya.
Dicontohkan, hasil survei warga yang selamat dari gempa Kobe 1995 menunjukkan, pertolongan diri sendiri 35%, keluarga 32%, tetangga 28%, sisanya dari luar (BPBD/SAR/PMI).
Oleh karenanya, lanjut Amien, masyarakat harus memberdayakan diri agar tangguh dengan jalan, setiap penduduk harus berusaha tahu dan memahami ancaman apa yang ada di sekitarnya serta tahu apa yang akan_dilakukan saat darurat.
Mengingat pantai-pantai tersebut banyak penghuninya, untuk itu ada tips mengurangi risiko bencana tsunami yaitu segera mempelajari kejadian bencana di masa lampau. Juga belajar dari bencana serupa di tempat lain serta membentuk Masyarakat Tangguh Tsunami di tingkat RT.
Tujuannya agar terkoordinasi dengan baik dengan anggota RT yang lain maupun dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan bencana tsunami seperti BNPB, BPBD, BMKG, PMI, Perguruan Tinggi, dan lain sebagainya, ujar Amien.