Tanggal 24 Juli ditetapkan sebagai Hari Kebaya Nasional oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2023. Sejumlah diaspora Indonesia di luar negeri menjadi pegiat kebaya dengan cara mempromosikan ke warga negara tempat mereka tinggal. Misalnya, desainer yang juga founder New York Indonesia Fashion Week (NYIFW) Vanny Tousignant dan penata rias Merry Salmery. Selain itu juga Atie Nitiasmoro di Italia. Atie bersama Indiah Marsaban, Rini Kusumawati, Tingka Adiati, dan Elvy Yusanti juga menulis buku bertajuk Kebaya Kaya Gaya yang dipublikasikan pada Selasa (23/7/2024).
Oleh Gatot Susanto
SEBAGAI perempuan asal Indonesia, Vanny Tousignant yang sudah 31 tahun tinggal di New York, wajib bangga dengan budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya. Maka, dia dan para diaspora lain pun merasa mempunyai kewajiban untuk melestarikannya. Salah satu budaya itu adalah kebaya.
“Kebaya yang kita kenal sebagai salah satu pakaian nasional para wanita Indonesia yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri mensupport semua wanita Indonesia untuk berkebaya dan kebaya Indonesia pun diakui oleh Unesco sebagai salah satu budaya bangsa kita,” kata Vanny kepada DutaIndonesia.com dan Global News, Rabu (24/7/2024).
Saat di Amerika pun, Vanny sejak tahun 2017 mendirikan organisasi berkebaya dalam bentuk pageant, yaitu Miss Kebaya Indonesia USA. Bahkan sempat membuat beberapa kompestisi tapi tersendat saat pandemi Covid-19.
“Dan karena kesibukan kami di dalam fashion. Doakan untuk next year, kami dapat menggelar kembali acara Miss Kebaya kami di America,” ujarnya.
Tujuan utama event ini, kata dia, selain memperkenalkan kebaya kepada dunia internasional, khusus America, juga untuk mengajarkan kepada anak-anak diaspora kelahiran luar negeri, khusus para wanitanya, untuk dapat mencintai kebaya sebagai budaya Indonesia yang sangat berharga. “Selamat hari Kebaya Indonesia,” katanya.
Sehari-Hari Berkebaya
Atie Nitiasmoro juga salah satu pegiat kebaya. Sehari-hari sejak belasan tahun lalu dia juga mengenakan kebaya. Sampai saat ini, dia masih menggunakan kebaya meski sudah tidak menetap di Tanah Air.
Atie menceritakan bahwa kebaya yang digunakan setiap hari sering mengantarkannya pada pujian yang diberikan oleh warga negara asing (WNA). Kebetulan, saat ini dia menetap di Roma, Italia, mengikuti suaminya, Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci (Vatikan) Michael Trias Kuncahyono.
Mereka suka lihatnya, dan justru datang menghampiri untuk tanya saya pakai baju apa, namanya baju apa, malah mereka ajak foto, ungkap Atie, beberapa waktu lalu, dikutip dari kompas.com.
Sejauh ini, para bule tersebut selalu tertarik melihat kebaya yang digunakan oleh Atie. Mereka memang jarang bertanya lebih jauh seputar lokasi untuk membeli kebaya di Roma. Mereka lebih sering menanyakan asal-usul kebaya, dan Atie dengan senang hati menjelaskan bahwa kebaya adalah baju tradisional Indonesia.
Mereka bilang, bagaimana (bisa pakai kebaya), saya bilang bawa dari Indonesia. Biasanya, setelah mengajak ngobrol, mereka pergi. Ada juga kami ngobrol sebentar, nanti mereka tanya-tanya (soal kebaya), tutur dia.
Di Roma tidak ada toko yang menjual kebaya. Saya memang spesial membawanya dari Jakarta. Bawa banyak, sudah pasti, karena saya pakai kebaya untuk sehari-hari, bukan hanya acara resmi saja, sambung Atie.
Orang asing yang turut penasaran dengan kebaya milik Atie mencakup para istri dari kedutaan besar masing-masing negara yang berlokasi di Vatikan. Dalam setiap acara formal yang dihadiri Paus Fransiskus, para Duta Besar dan pasangannya wajib mengikuti kebijakan menggunakan pakaian khas masing-masing negara dan berwarna hitam.
Kalau acara dengan Paus, sering sekali saya didatangi sama istri dari Duta Besar mana, untuk tanya baju saya apa, namanya apa, seperti itu, ungkap Atie.
Sempat Dicemooh
Pernah dilirik aneh Atie memang sudah menggunakan kebaya sejak sebelum tahun 2014, tepatnya sebelum dia mengikuti komunitas berkebaya. Namun, kebaya belum digunakan sehari-hari dan bawahannya masih berupa rok atau celana jins. Bukan kain seperti saat ini.
Kala itu, tidak jarang Atie dicemooh oleh beberapa orang. Seiring berjalannya waktu, Atie mulai menggunakan kebaya dan kain. Meski orang-orang di sekelilingnya telah terbiasa melihat Atie, bukan berarti orang asing familiar dengan penampilannya.
Saya kan sering ke Singapura untuk urusan, saya juga pakai kebaya. Kalau di pesawat atau di Jalan Orchard, memang orang lihatnya agak aneh, terang dia.
Sebab, bisa dikatakan bahwa Atie hanyalah satu-satunya yang menggunakan kebaya dan kain di tengah orang-orang dengan pakaian modern. Orang-orang pakai rok, celana jeans, tiba-tiba ada yang pakai kain jarik dengan kebaya. Tapi, belakangan saya justru menuai pujian. Jadi, saya (memakai kebaya) sekaligus mengkampanyekan Indonesia, bahwa ini baju tradisional Indonesia, ucap dia.
Buku Kebaya Kaya Gaya antara lain bercerita tentang perjalanan panjang menjadikan hari berkebaya sebagai perayaan nasional. Bagi Atie sendiri, perjalanan dimulai pada akhir 2014 ketika dia diajak berkumpul dengan pegiat kebaya lainnya.
Ketika teman saya ajak ikut mereka bikin gerakan berkebaya, untuk masuk komunitas, itu dengan senang hati saya menyambut ajakan dan berkomitmen sampai sekarang, ucapnya.
Sejak saat itu, Atie dan kawan-kawannya selalu memberi contoh kepada masyarakat tentang penggunaan kebaya sebagai pakaian sehari-hari. Melalui proses panjang, kampanye menjadikan kebaya sebagai pakaian sehari-hari masif berkat peran dari ratusan pegiat kebaya di Indonesia.
Menurut Atie, mereka pada awalnya mengenakan kebaya ketika beraktivitas sehari-hari, seperti ke kantor atau sekadar hangout. Komunitas itu perlahan berkembang pesat, termasuk dengan menonjolkan relevansi kebaya di tengah zaman yang modern. “Efek teman-teman di komunitas berkebaya itu sangat besar, ucap Atie. (*)