Laporan dari Drama Penjemputan Anak-anak PMI Overstayer di Taiwan (3): Drama Menegangkan di Langit Taipei – Jakarta

oleh
Anak anak PMI Taiwan
Suasana saat anak-anak di pesawat terbang ke Indonesia.

Arya Daru Pangayunan, Fungsional Diplomat Ahli Muda di Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), mendapat tugas khusus dari negara. Kali ini bukan berdiplomasi, tapi bersama tim dari Kemenlu dan Kemensos, Arya Daru Pangayunan menjemput anak-anak Pekerja Migran Indonesia Overstayer (PMIO) di Taiwan. Berikut Bagian 3 (Terakhir) laporan pemulangan anak-anak tersebut yang cukup dramatis:

Laporan: Arya Daru Pangayunan

KETIKA hari-H keberangkatan, saya bangun pukul 4 pagi, karena pada pukul 5 bus sudah siap menjemput kami untuk menuju panti kemudian ke bandara untuk mengejar pesawat kami yang akan take off pukul 9 pagi.

Pagi itu saya cukup terkejut karena setibanya di panti, Rafi samasekali tidak mau dengan saya. Asumsi saya karena selama saya mendampingi dia selama ini, saya selalu menolak ketika dia meminta gendong. Bukan karena saya tidak ingin dekat dengan dia, tapi karena dia sudah berusia 6 tahun dan berat badannya cukup membuat saya kewalahan.

Rafi duduk sendiri di bus dan tidak ingin ditemani siapa-siapa. Namun ketika saya akan duduk sendiri di bus, tiba-tiba Gibran alias Siao Mao, anak berusia 3 tahun yang selama ini didampingi oleh Mas Ronny, meminta untuk duduk di sebelah saya. Saya dan Mas Ronny kemudian sepakat untuk bertukar anak dan saya meminta Mas Ronny untuk mengawasi Rafi.

Mendampingi anak umur 6 tahun kemudian beralih ke anak umur 3 tahun ternyata sangat berbeda penanganannya. Selama ini, meski tidak menggunakan bahasa Mandarin, saya tidak mengalami kesulitan mengarahkan Rafi.

Lain halnya dengan Gibran. Anak umur 3 tahun lebih sulit untuk diatur, terlebih Gibran memiliki watak yang sedikit emosional dan suka memukul jika keinginannya tidak terpenuhi. Gibran selalu meminta untuk digendong.

Selama proses check in, imigrasi hingga masuk pesawat, saya selalu menggendong Gibran. Hal ini tidak dapat dihindarkan, terlebih Gibran samasekali tidak mau didudukkan di troli dan jarak ke gate pesawat sangatlah jauh. Tidak mungkin anak umur 3 tahun harus jalan sejauh itu. Meski demikian, proses hingga boarding berjalan lancar, berkat koordinasi erat sebelumnya antara KDEI dengan pihak imigrasi bandara dan pihak maskapai.

Tempat duduk Tim dan anak-anak sudah kami atur sedemikian rupa di pesawat sehingga kami duduk berderet dan bersebelahan di row 36-38 pesawat Airbus A330-300 EVA Air. Saat proses take off, Gibran cukup mudah diatur dan mau mengenakan sabuk pengaman. Suasana mulai agak tegang bagi saya ketika snack dan minuman mulai disajikan oleh pramugari.

Saya memesankan air putih untuk Gibran dengan pertimbangan akan aman jika tidak sengaja tumpah. Namun ternyata Gibran tidak mau air putih dan meminta jus apel. Segelas penuh jus apel pun dipegang oleh Gibran. Kami dibagikan snack berupa mixed nuts.

Ketika saya sedang membukakan bungkus mixed nuts tersebut, benar saja, Gibran menumpahkan jus apel yang dia pegang sehingga bangkunya menjadi basah. Saya dengan sigap mengangkat Gibran agar tidak basah terkena tumpahan jus apel.

Saya menitipkan Gibran sebentar ke Mbak Dian sementara saya membersihkan tumpahan jus apel di bangku Gibran. Tidak dapat dihindarkan, tempat duduk berikut sabuk pengaman di bangku Gibran menjadi lengket karena tumpahan jus apel.

Drama berlanjut ketika makan siang disajikan. Gibran tidak mau makan main course yang disajikan dan hanya mau makan makanan penutup berupa kue coklat. Ketika Gibran sedang makan, saya cepat-cepat makan makanan saya agar bisa lekas kembali fokus pada Gibran.

Namun ketika saya sedang makan, tiba-tiba, braakkk!!! Gibran menumpahkan seluruh tray makanan ke lantai. Ya Tuhan, dalam hati saya mau menangis. Untung Mbak Dian dengan sigap kembali membawa Gibran sementara saya membersihkan tumpahan makanan di lantai. Beruntung setelah kejadian itu Gibran bisa tidur meski kurang dari 2 jam.

Drama terakhir muncul ketika akan landing. Gibran meminta untuk dipangku dan tidak mau mengenakan sabuk pengaman hingga saya ditegur oleh pramugari. Sontak saya paksa Gibran untuk duduk di bangkunya dan dengan paksa saya pasang sabuk pengamannya.

Gibran pun berteriak histeris dan memukul-mukul saya. Itu adalah 10 menit terlama saya di dalam pesawat, harus memegangi anak kecil ini hingga pesawat merapat ke gate. Walaupun sempat marah dan memukul-mukul saya, ketika turun dari pesawat, Gibran tetap meminta saya untuk menggendongnya.

Beruntung rekan Tim yang lain tidak mengalami permasalahan yang berarti dengan anak yang didampinginya selama perjalanan. Hanya Daffa yang sempat muntah karena mengalami mabuk udara.

Setelah menginjakkan kaki di Bandara Soekarno Hatta, saya baru merasa lega ketika selesai melewati pemeriksaan imigrasi menuju tempat pengambilan bagasi dan disambut oleh rekan-rekan saya dari Direktorat PWNI, Mbak Ratih dan Mbak Rima yang kemudian membantu membawakan tas saya dan mengambilkan bagasi Tim dan anak-anak, sementara saya bisa duduk dan memangku Gibran.

Setelah seluruh bagasi Tim dan anak-anak sudah keluar, kami keluar terminal bandara dan di luar sudah dijemput oleh petugas dari Sentra Handayani Kemensos. Sesampainya di Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta Timur, saya menyerahterimakan anak-anak tersebut kepada rekan-rekan di Sentra Handayani.

Setelah beberapa hari anak-anak tersebut berada di Sentra Handayani, saya dikirimkan foto anak-anak tersebut dengan wajah ceria yang membuat saya lega mengetahui bahwa anak-anak tersebut diperlakukan dengan penuh kasih sayang selama berada di Sentra Handayani.

Demikian tugas kami dari Kementerian Luar Negeri dalam melakukan pemulangan terhadap ketujuh anak-anak PMIO telah selesai. Kegiatan pemulangan ini dapat memberikan gambaran bahwa tugas seorang diplomat tidak hanya duduk di ruang sidang bernegosiasi dengan counterpart dari negara-negara lain, namun harus dapat terjun ke lapangan melakukan kerja nyata pelindungan WNI. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.