Oleh Imam Shamsi Ali*
TANGGAL 21 September adalah hari pertama Sidang Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New York. Acara yang lebih dikenal dengan United Nations General Assembly (GA) ini menghadirkan kepala-kepala negara, Kepala pemerintahan atau yang mewakilinya termasuk Menlu dari negara-negara anggota PBB.
Pada hari yang sama juga diperingati apa yang disebut dengan International Day of Peace at UN. Atau peringatan hari perdamaian PBB. Kegiatan ini tentu diinisiasi oleh berbagai organisasi non pemerintah atau NGO (Non Governmental Organizations) yang berafiliasi dengan PBB.
Kebetulan hari ini kegiatan itu dipusatkan di Interchurch Center at UN. Sebuah gereja mungil tapi mashur (populer) yang terletak persis di seberang gedung pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di kota New York. Kebetulan sejak awal ketibaan saya di kota New York saya telah beberapa kali diundang menjadi pembicara tamu di gereja ini.
Siang ini saya kembali akan hadir menjadi salah satu pembicara tamu pada acara tersebut di atas. Menghadirkan tokoh-tokoh agama senior di kota New York acara ini sekaligus menjadi pengganti acara “Breakfast Prayer” yang menjadi tradisi diplomatik sebelum pembukaan Sidang Majelis Umum PBB.
Dalam presentasi singkat saya, sebelum menyampaikan doa secara Islam, saya memulai dengan cerita kejadian ketika terjadi serangan 9/11 di kota New York 20 tahun silam.
Bagaimana seorang sopir yang tidak mengenal saya memaki-maki Islam. Dan bagaimana pula seorang tetangga yang telah mengenal saya datang dan memeluk saya seraya berkata: “Saya tidak percaya jika serangan ini dilakukan oleh orang-orang Islam seperti Anda”.
Kisah ini menyampaikan pelajaran penting betapa “ignorance” (ketidaktahuan) menjadi dasar utama kebencian bahkan kekerasan yang terjadi dalam hidup manusia. Karenanya ketidak tahuan atau ignorance harusnya menjadi musuh bersama manusia. Apalagi dalam konteks media yang kerap tidak jujur dalam menyampaikan realita.
Salah satu wujud kebodohan manusia itu adalah ketidaktahuan tentang dirinya. Manusia pada umumnya salah defenisi atau mendefenisikan dirinya secara salah atau minimal secara parsial. Seolah manusia itu adalah wujud material atau fisikal (material atau physical being) semata. Dan karenanya manusia kemudian menjadikan materi dan jasad sebagai pusat kehidupannya.