Pertama Kali Desainer Indonesia Tembus FIT New York: Bukan Hanya Fashion Show, tapi Juga Edukasi Publik Amerika

oleh
Vanny Tousignant NYIFW
Vanny Tousignant bersemangat menumbuhkan bibit baru dalam dunia fashion. Selain itu juga berusaha mengedukasi masyarakat Amerika tentang fashion dan tekstil Indonesia.
YouTube player

Tujuh desainer Indonesia akan tampil di New York Indonesia Fashion Week (NYIFW) pada 8 September 2023. Salah satu desainer itu berasal dari Kota Pahlawan yakni Stephanie Zhang. Namun demikian, desainer asal Kota Surabaya ini tidak membawa batik asal Jawa Timur ke Amerika melainkan tenun asal Nusa Tenggara Timur (NTT).

Oleh Gatot Susanto

SELAIN Stephanie Zhang, desainer lain yang tampil di NYIFW 2023 adalah Fridaulia dari Bogor, Dr Rosaline Rumaseuw asal Papua, Riszasao dari Kendari Sulawesi Tenggara, Theodora Matrutty De Lima dari Kota Ambon, Herman Prasetyo juga dari Kendari, dan Zuebarqa by Benz dari Bandung. Sedang dua desainer lain, yakni Natasha Khan dan Troy Anthony, dari Amerika Serikat sendiri.

Founder sekaligus produser NYIFW, Vanny Tousignant, kepada DutaIndonesia.com dan Global News, Rabu (23/8/2023), mengatakan, bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah fashion Indonesia, empat dari tujuh orang desainer yang tampil di NYIFW kali ini juga mendapatkan kesempatan tampil showcase di Fashion Institute of Technology (FIT)–kampus fashion ternama di Kota New York.

Desainer NYIFW
Para desainer yang akan tampil di Kampus FIT dan NYIFW 8 September 2023.

“NYIFW kali akan diadakan tanggal 6 – 10 September 2023. Acaranya dimulai tanggal 6 September di mana semua desainer akan mengadakan pertemuan dengan pihak KJRI New York. Lalu tanggal 7 September showcase di Fashion Institute of Technology. Ini pertama kalinya Indonesia tembus showcase di sekolah fashion ternama ini dan melalui kita NYIFW. Kita melakukan lobi sekitar 3 bulan hingga bisa masuk kampus fashion tersebut. Kita mengikuti prosedur dari institut ini,” katanya.

YouTube player

Salah satu prosedurnya, kata Vanny, seleksi ketat. Pihak FIT minta desainer yang memang menguasai benar soal wastra nusantara, seperti batik atau tenun.

“Jadi memilih dari 7 desainer hanya bisa mengambil 4 desainer saja. Yang dilihat ini bukan soal kepintaran mendesain busana tapi penguasaannya atas kekayaan wastra nusantara. Apakah kain nusantara yang mereka bawa ke New York? Itu kriteria untuk masuk Fashion Institute of Technology during NYIFW ini. Tadinya saya ingin lima desainer tapi ternyata hanya empat desianer yang qualified sesuai kriteria FIT ini. Empat desainer ini bukan dilihat bagaimana dia mendesain busana tapi apa yang mereka bawa dari Indonesia ke New York. Dari daerah mana tenun itu berasal dan originalitasnya, keasliannya seperti apa. Jadi sudah kelihatan jati diri NYIFW ini, bahwa kita tidak hanya membawa desainer untuk fashion show di New York saja lalu pulang lagi ke Indonesia, tapi kita juga ingin mengedukasi masyarakat Amerika soal kekayaan wastra nusantara, batik dan tenun Indonesia. Ini kesempatan emas mempromosikan wastra nusantara ke dunia,” kata Vanny Tousignant kepada DutaIndonesia.com dan Global News.

Vanny mengatakan pihaknya ingin memperkenalkan langsung Indonesia textile, budaya kita, karya bangsa Indonesia, ke masyarakat Amerika, khususnya New York. “Kita memberikan apa itu Indonesia. Jadi bukan hanya membawa desainer terkenal atau yang punya uang banyak masuk New York, tapi kita fokus mengedukasi masyarakat Amerika yang mau mengenal tradisi budaya, khususnya tenun dan batik, Indonesia,” katanya.

Misalnya Batik Bogor. Kain ini merupakan batik tulis yang menceritakan tradisi budaya masyarakat Jawa Barat. Empat desainer dan batik Bogor ini yang nanti ditampilkan di kampus FIT.
“Kita bersama para desainer akan menceritakan soal batik itu kepada para profesor dan mahasiswa di institut tersebut. Kita diberi waktu tidak terlalu lama tapi saya kira cukup untuk memberikan edukasi mereka soal wastra nusantara,” ujarnya.

Dengan waktu yang minimal itu, kata Vanny, bagaimana para desainer bisa maksimal mempromosikan wastra nusantara ini di depan profesor dan mahasiswa FIT.

Sementara untuk NYIFW sendiri akan digelar tanggal 8 September di Manhattan. “Salah satu dari 7 desainer itu asal Surabaya, yakni Stephanie Zhang. Tapi Stephanie tidak membawa batik dari Surabaya atau Jawa Timur melainkan, kalau tidak salah, dari NTT. Lalu ada dari Papua, Bogor, Kendari dua desainer, kemudian Zuebarqa by Benz dari Bandung tapi membawakan tenun dari Kalimantan. Pada tanggal 8-9 September kita akan mengadakan sesi foto untuk semua desainer,” katanya.

YouTube player

Lalu tanggal 10 September kita akan mengikuti Indonesia Festival di Philadelphia, yang mana tujuannya selain kita memperkenalkan textile dan desainer kita, juga menjual hasil karya desainer agar saat pulang ke Tanah Air ada hasil penjualan. Kita memberi kesempatan untuk berjualan melalui NYIFW, sebab kita kan punya legalitas, memang boleh menjual produk dari Indonesia. Ini satu-satunya peluang untuk desainer Indonesia. “Tidak hanya fashion show, juga mengedukasi, sekaligus mencari pasar untuk desainer dan network internasional, baik dari Amerika maupun Eropa. Sebab tamu kita, sengaja kita undang dari berbagai kalangan fashion, termasuk profesor textile, artinya pelaku utama dalam industri fashion,” ujarnya.

Karena itu, kata Vanny, harus ada hasil karya original dari Indonesia. “Saya juga ingin paparkan bahwa menjadi jati diri sendiri itu penting, tidak mengekor orang lain. Selama 13 session yang sudah saya kerjakan, menggeluti NYIFW, kita tunggang langgang, jungkir balik, membawa nama Indonesia. Tapi kita tidak sekadar membawa nama Indonesia saja, tanpa masyarakat Amerika mengerti apa itu tenun dan batik Indonesia, bahannya apa, proses kreatifnya seperti apa, asalnya dari mana?,” katanya.

“Kalau kita lihat selama ini yang sudah ditampilkan di sini, itu kan tidak pernah ada yang berupaya mengedukasi masyarakat Amerika soal apa itu tekstile dan budaya Indonesia? Walaupun banyak yang ikut festival, terbuka untuk umum, tapi fokusnya apa? Tergantung tema yang kita bawakan apa? Kalau untuk menjual, ya penjualan saja. Tapi harus ada yang edukasi. Jadi kita masuk institut itu terobosan kita, kita tidak hanya mengikuti orang lain, tapi mempunyai ide sendiri,” ujarnya.

Yang dimaksud Vanny, bukan hanya membawa artis terkenal untuk tampil di NYFW seperti dilakukan sejumlah orang, lalu sudah tanpa ada dampak apa-apa. Untuk itu NYIFW membuat terobosan dengan masuk kampus FIT ini supaya para profesor dan mahasiswanya mendapat pengetahuan tentang batik atau tenun Indonesia dan selanjutnya ikut pula mempromosikannya ke publik Amerika.

“Jadi kita berusaha memiliki bobot kualitas di acara ini. Itu misi kita. Akhirnya apa yang kita cita-citakan itu tercapai. Masuk FIT ini terobosan baru dan mungkin saja besok ada juga yang mengikuti jejak dari NYIFW ini. Sebelumnya kita fokus mengembangkan UMKM Indonesia di Amerika khususnya New York, juga ada yang mengikuti. Padahal, mungkin di belakang, mereka mencemooh, apa itu fashion week, panggungnya tidak mewah? Tapi saya tekankan kita memang tidak mewah, sebab kita hanya membutuhkan bagaimana bisa membawa tekstile asli Indonesia, budaya dan seni asli Indonesia ke New York. Lalu kita terapkan fashion, yang utama seni budaya kita,” katanya.

Vanny menegaskan dunia fashion di New York itu sangat besar. Berbagai desainer ternama dari berbagai negara berdatangan untuk tampil di New York, sehingga harus tepat memilih momen agar batik dan tenun Indonesia bisa maksimal segera dikenal di dunia internasional. Para desainer Indonesia yang masuk New York tentu punya bekal kemampuan dan uang tapi harus digunakan secara efektif dan efisien. Tidak hanya satu kali tampil, atau satu malam, lalu selesai. Harus ada kesinambungan sesuai visi dan masinya.

Contohnya ada desainer yang sudah lama mengikuti fashion ini tapi baru sekarang bisa masuk NYIFW. Ternyata mereka mengaku masih menabung dulu.

“Menabung bertahun-tahun sehingga saat bisa masuk NYIFW ada kepuasan tersendiri. Ada kebanggaan tersendiri. Mereka benar-benar mencari budaya yang asli dan khas Indonesia untuk diketahui publik internasional. Hasil pencariannya itu lalu dituangkan dalam selembar kain menjadi ciri khas tekstile nusantara. Itulah yang kita bawa, seperti batik dari Bogor ini,” katanya.

Desainer Fridaulia dari Bogor termasuk yang sudah lama menabung hingga akhirnya bisa menampilkan Batik Angklung dari Bogor ke Amerika. Sebelumnya tidak ada yang terpikirkan bahwa musik Angklung yang sudah mendunia itu bisa ditampilkan dalam sebuah kain tenun atau batik.

“Frida ini sudah lama ingin menuangkan musik Angklung ini ke seni batik, yang nanti kita bawa ke Amerika, kita ceritakan proses kreatifnya ke publik Amerika, ke para profesor dan mahasiswa di FIT. Batik itu punya pakem, ini batik dengan motif Angklung khas dari Jawa Barat. Corak Indonesia tergambar di situ. Cerita soal Indonesia sudah dikenali di selembar kain batik itu,” katanya. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.